Ziarah tak sekedar perjalanan fisik mengunjungi tempat-tempat yang dimuliakan oleh pikiran, ia juga menjadi persinggahan batin dari perasaan menuju perasaan lain. Momentum ziarah bukan dimaksudkan memuja yang abstrak, dan melemahkan yang fana. Pengagungan terhadap kemanusiaan adalah idealisme penting ziarah sebagai aktifitas makhluk Tuhan. Ziarah tak didorong oleh rasionalisme menjelma hasrat, ia dikuatkan oleh sejauh mana seseorang merasakan, berdialong dan bergumul dengan alamnya. Maka, perjalanan—yang dikhususkan dalam konteks ziarah—merupakan usaha mendaki lereng-lereng tebing kehidupan batin yang menyatu dalam diri umat manusia [].
Aktifitas batin inilah, yang menjadi ‘nyawa’ dan spirit bagi ruang religiusitas manusia menjadi ada atau cenderung terbangun untuk terus ada. Ziarah, atau ritual spiritualitas lain, dalam pikiran Mircea Eliade (1907-1986) hadir dalam konteks perimbangan yang ideal berayun-ayun antara ‘yang sakral’ dan ‘yang profan’. Dalam segala aktifitas hidup manusia, yang sakral sebenarnya mendapat ruang penuh, sementara yang profan selalu saja meminta tambahan kepercayaan untuk terus memberi kenikmatan, sekalipun itu hanya sementara. Dan aktifitas keseharian manusia ini berpijak pada proporsi antara yang sakral dan profan, dengan segala takaran, pilihan dan ekses resikonya.
Kemanusiaan menjadi nilai fitrah yang ditentukan oleh kemampuan menentukan yang sakral dan profran dalam setiap sikap keseharian. Inilah resapan inti dari sikap batin dan gagasan agung dari aktifis kemanusiaan lintas zaman. Menghargai kemanusiaan tak melulu hanya dengan mengangungkan yang batin, sementara yang fisik dihempaskan. Bukan sepenuhnya benar. Pengagungan yang batin semata tanpa memiki kepekaan terhadap persoalan kemanusiaan, dalam ajaran sufisme Imam Ibnu Athaillah melalui karya agung kitab al-Hikam, hanyalah merupakan syahwat. Sebab, ibadah kemanusiaan dengan memuja yang batin, tanpa memuliakan dan mengurus yang fisik, hanya akan menimbulkan ketidakseimangan. Ia hanya merupakan egoisme spiritual yang meminggirkan tugas mulia manusia untuk mengurus bumi maupun lingkaran kegagalan.
Maka, bisa kita saksikan bagaimana manusia modern tunggang-langgang untuk mengejar kekosongan batin dan spiritualitas yang dilalaikan oleh ketidakmampuan menziarahi perasaan. Rasionalitas diperlukan untuk mengatur hal-hal yang profan, namun tak mampu merasakan energi dari yang sakral. Kekuatan batin Kiai Hamid Pasuruan, kharisma Mbah Abdullah Salam Kajen, kiai-kiai lain dengan energi batin melimpah ataupun fenomena Mbah Maridjan di lereng Merapi merupakan bentuk kelonggaran spiritual untuk mengagungkan yang sakral, namun tak lupa mengurus yang profan. Energi positif puncak spiritual pada akhirnya akan meluber menjadi kisah agung menghargai ‘liyan’ (the other), menghargai sesama sebagai bagian dari diri.
Lihatlah bagaimana manusia modern yang berusaha meminggirkan hal-hal spiritual pada akhirnya terbenam dalam pencarian dunia di luar diri yang mampu mengobati kegersangan. Bagaimana diskotek, hotel maupun ruang karaoke dipenuhi oleh manusia yang dikelilingi masalah? Bahwa, mereka mencari oase di tengah kegersangan dan katarsis yang mampu membersihkan kotoran-kotoran pikiran maupun bercak-bercak nafsu yang selama ini menggempal di hati. Spiritualitas terus dikejar dalam bentuk maupun media yang lain, namun tak sepenuhnya didekap sebab tanpa menggunakan mata hati. Ia hanya pelampiasan tubuh yang ingin melepas penat menggemuruh.
Maka, aktifitas ziarah sebagai bagian dari pemuliaan kemanusiaan sangat perlu menyeimbangkan antara yang rasional dan yang spiritual. Pikiran senantiasa menyatu dengan hati, yang menentukan visi dan langkah hidup manusia. Bahkan, akhirnya puncak rasionalitas pun bersarang dalam lingkaran spiritualitas yang bertumpu pada perasaan. Ilmu pengetahuan pada hakikatnya merasuk dalam batin dan menetap di hati kita masing-masing. Kiai Badruddin, guru saya di kampung, berulang mengungkapkan bahwa ilmu itu ada dalam hati, bukan dalam buku-buku (al-ilm fi al-qulub, laisa fi al-kutuub). Dalam sepanjang sejarah manusia, berapa ribu buku yang telah dibakar dan dihancurkan oleh tangan kotor politik kuasa, bagaimana rezim demi rezim mencoba menyiksa buku dan penulisnya, namun ilmu yang merasuk dalam hati akan senantiasa abadi. Ia akan terus diwartakan, ditulis ulang dan disampaikan sebagai risalah kebenaran untuk mengangungkan kemanusiaan, sebagai manifestasi kekuatan agung di luar diri kita.
Di sepanjang memoar perjalanan hidup, saya merasakan, ziarah merupakan aktifitas lahir-batin untuk menyapa yang lain. Di sesela kehausan spiritual maupun dalam kondisi lapar pengetahuan, ziarah adalah oase paling segar untuk mengembalikan spirit kehidupan. Sebab perjalanan dalam niatan ziarah akan memberi pengalaman bagaimana menghargai yang lain, mengelola yang abstrak, dan menguji kepekaan batin terhadap kehidupan. Komunikasi dengan perasaan dan energi batin inilah yang selama ini menjadi masalah kongkret manusia modern. Biarpun telah dicipta jejaring komunikasi virtual, ruang sosialisasi dunia maya, namun tetap saja ada ceruk menganga yang mengabarkan kekosongan perasaan serta kehampaan komunikasi.
Di hadapan media komunikasi virtual ini, manusia hanya dianggap sebagai komoditas dengan takaran kebendaan untung-rugi. Komodifikasi kemanusiaan inilah yang menyebabkan tingginya teknologi yang diciptakan untuk menyapa yang lain, masih saja menyimpan problem komunikasi antar manusia. Bisa kita saksisakan di atas panggung kekuasaan, bagaiaman politisi terus saja mengirim komentar-komentar tanpa perasaan dan sikap pemerintah tanpa menghargai konteks untuk mengelola energi komunikasi. Lihat saja, bagaimana anggota dewan sering salah memberi peryataan, miskin pertanyaan bermutu dan bagaimana kepala negara sering salah persepsi. Ah, inilah komunikasi rasional tanpa memberi ruang bagi perasaan dan empati.
Semestinya mereka membuka ruang bagi ziarah kemanusiaan maupun komunikasi dengan perasaan. Tak sekedar studi banding untuk mengunjungi tempat-tempat nan jauh, namun bagaimana menangkap energi batin dari ruang-ruang yang disinggahi, merekam perasaan antar subyek dari semua konteks permasalahan. Inilah tanggung jawab manusia modern, dan titik lemah komunikasi antar manusia tanpa menggunakan perasaan. Ziarah, sejatinya perjalanan menghargai kemanusiaan ataupun perjalanan dari perasaan menuju perasaan.