Melampaui Ideologi dan Fikih: Kritik atas Tulisan Ulil Abshar Abdalla soal Tambang

Melampaui Ideologi dan Fikih: Kritik atas Tulisan Ulil Abshar Abdalla soal Tambang

Tulisan ini merupakan kritis atas tulisan Ulil Abshar Abdalla di Kompas bertajuk Isu Tambang, antara Ideologi dan Fikih

Melampaui Ideologi dan Fikih: Kritik atas Tulisan Ulil Abshar Abdalla soal Tambang
Gedung PBNU di Jakarta. (Dok NU Online)

Catatan ini merupakan kritis atas tulisan Ulil Abshar Abdalla di Kompas.id bertajuk Isu Tambang, antara Ideologi dan Fikih

Dalam hal apapun, bukan hanya dalam hal tambang, kita tetap punya konklusi keberpihakan. Jangan sampai kritik hanya berlaku bagi orang lain, sementara tumpul untuk diri kita sendiri, organisasi atau kelompok sendiri.

Oleh karena itu, lebih dari itu,  apa yang menjadi sikap kita bukan sekadar mengumpulkan banyak pendapat dari berbagai pihak atau ahli, ini soal sikap “adil sejak dalam pikiran” dan kemanusiaan. Siapapun bisa beralibi dan berargumentasi menerima atau menolak tambang dengan menggunakan pendekatan epistemologi ideologi, fikih, tasawuf atau lainnya.

Tapi tolong, lihat  konteksnya, cermati mindset dan budaya organisasi keagamaan yang bersangkutan. Persoalan-persoalan itu akan jadi pertimbangan yang menyeluruh.

Kemanusiaan lebih mahal dari sekadar ideologi dan fikih. Ideologi, fikih dan disiplin ilmu apapun yang bertentangan dengan kemanusiaan adalah terlarang dan layak untuk dilaknat. Jadi jangan berkelit dalam narasi, epistemologi atau apapun, jika nyatanya hanya alibi untuk melegitimasi tambang batubara. Melawan kemanusiaan berarti melawan kehidupan.

Seperti yang telah saya katakan di awal bahwa ada mindset dan budaya organisasi keagamaan yang akan menjadi bagian penting dalam sikap menolak tambang. Dan itu dikonfirmasi langsung oleh Gus Yahya sendiri selaku Ketua Umum PBNU, di mana selama ini PBNU berikut turunannya ke bawah tidak mampu memberdayakan dan memandirikan kebutuhan finansial organisasi.

Berbeda dengan PP Muhammadiyah yang belum lama ini melakukan tindakan yang tegas terhadap salah satu Bank Syariah ihwal kekuatan finansial organisasi yang nilainya tidak kurang dari 15 triliun, belum lagi aset-aset organisasi dalam bentuk lainnya.

Pemberian tambang ini juga didasari oleh motif yang tidak elok dan bijak.

Sebagaimana dimafhumi bersama bahwa sejak awal PBNU memang “bermain” dengan Pemerintah Joko Widodo, selain melakukan pengkarbitan kader berupa Erick Thohir sebagai Ketua Lakpesdam dan masih banyak lagi peristiwa-peristiwa lain yang mengitari.

Baca juga: Jaringan Gusdurian Tolak Keras Tambang untuk Ormas Keagamaan, Kebijakan Pemerintah Perlu Etika

Saya sangsi dengan PBNU masa awal, masanya KH. Hasyim Asy’ari apakah beliau melakukan sikap organisasi yang sama dalam membangun kedekatan dengan Pemerintah saat itu. Sebab sependek yang saya tahu, dengan mental entrepreneurshipnya, Mbah Hasyim yang justru berjibaku membiayai PBNU. Bukan dengan ketergantungan terhadap Pemerintah.

Sebagaimana telah saya sampaikan dalam tulisan sebelumnya “Menimbang Tambang Bagi Kemaslahatan Rakyat”, bahwa andai saja PBNU mau, bahwa NU itu jauh lebih mahal dan berharga dari sekadar satu jenis tambang. NU bahkan jauh lebih mahal dari Pemerintah, Negara dan segala sumber daya alam yang ada. Patut disayangkan, keahlian dalam bernalar fikih kali ini, terutama dalam fikih tambang ini, PBNU melabrak sisi paling inti dari kehidupan yakni kemanusiaan.

Ulil Abshar Abdalla dalam tulisannya pada paragraf ke enam sebetulnya mengafirmasi para aktivis dan pecinta lingkungan di seluruh dunia, bahwa tambang ini bukan persoalan biasa, yang bukan hanya dijadikan ajang untuk mencari finansial untuk membiayai sebuah organisasi keagamaan. Selain naif, alibi ini dangkal sekali.

Ada baiknya, PBNU dengan kekayaan sumber daya manusia dan keilmuan yang berlimpah, agar fokus pada pemberdayaan internal organisasi yang ada. Berdayakan dahulu internalnya, sebelum merambah eksternal. Ketidakmampuan memberdayakan internal organisasi akan menjadi preseden buruk tersendiri.

Pada paragraf ke sepuluh, untuk melegitimasi keberpihakan PBNU menerima tambang, Gus Ulil sampai tega mengutip atau lebih tepatnya memaksakan salah satu kaidah ushul fikih: Idza ta’arradlat al-mafsadatani ru’iyat akhaffuhuma, apabila ada dua mafsadah (kerusakan/ancaman), harus diusahakan sebuah langkah yang mengandung mafsadah yang paling minimal. Jelas-jelas tambang ini telah merusak alam dan rakyat sekitar, mengacaukan iklim dan masih banyak lagi, buat apa dipertahankan, apalagi diterima?

NU dalam Pusaran Tambang: Untung atau Buntung?

Bukankah ada kaidah ushul fikih lain yang lebih tepat dan memanusiakan: dar’ul mafasid muqaddamu ‘ala jalbil mashalih, mencegah kerusakan (yang terbukti fatal) lebih diutamakan ketimbang mengambil kemaslahatan. Inilah amanat kemanusiaan sebagai ruh dari ideologi, fikih maupun disiplin ilmu lainnya.

Apalagi kita tahu bahwa tambang yang akan diberikan kepada Ormas keagamaan ini adalah tambang bekas yang sangat berbahaya. Tidak ada khilafiah dalam kejahatan dan kezaliman oligarki tambang. Masih banyak hal yang bisa digarap PBNU ketimbang terjerumus pada kejahatan kemanusiaan tambang. Jangan gegabah dan menyepelekan persoalan tambang