Mekkah Tak Seperti Bayangan Orang Zaman Dahulu: Menjadi Pendatang di Makkah Era Modern

Mekkah Tak Seperti Bayangan Orang Zaman Dahulu: Menjadi Pendatang di Makkah Era Modern

Perubahan pola pikir hingga gaya hidup yang ada, tidak lagi seperti cerita yang masyhur didengar. Sebagai pendatang di Mekkah era modern, saya menemukan beragam hal baru.

Mekkah Tak Seperti Bayangan Orang Zaman Dahulu: Menjadi Pendatang di Makkah Era Modern

Modernisme yang diusung oleh putra mahkota Saudi Arabia mengubah banyak hal, dari aturan yang pernah diterapkan sebelumnya, hingga cara bermasyarakat. Perubahan pola pikir hingga gaya hidup yang ada, tidak lagi seperti cerita yang masyhur didengar. Sebagai pendatang di Mekkah era modern, saya menemukan beragam hal baru.

Dahulu, beberapa orang tidak berani menampakkan kecondongan madzhahib-nya. Mereka memilih hidup tenang daripada harus berdebat dengan Askar (keamanan) yang usil dengan beberapa tradisi ibadah tertentu, membawa tasbih misanya. Saat ini, dan seiring berjalannya waktu, perlahan pemikiran moderat semakin berkembang dan diterima.

Tidak hanya itu, tempat-tempat sejarah yang dulunya dijaga ketat oleh keamanan. Kini terbuka bebas untuk para peziarah. Bahkan, pemerintah kini membentuk tim khusus untuk memperbaiki situs-situs sejarah, mulai dari disusunnya keterangan, hingga restorasi tempat sejarah yang ada.

Sekali lagi, modernisme yang diusung oleh putra mahkota Saudi mengubah banyak hal. Saat ini perempuan boleh mengemudi, padahal sebelumnya untuk keluar di beberapa tempat (seperti tempat makan) saja harus dengan mahramnya.

Namun, di balik kebijakan dan perubahan-perubahan modern tersebut, muncul keresahan-keresahan baru. Banyak yang mengatakan jika kebijakan yang ada lebih mengarah ke sekuler atau liberal daripada moderat. Sebagian generasi tua masih tidak bisa membiasakan melihat perempuan berjalan sendiri, hingga meminum kopi di kafe-kafe yang mulai menjamur di daerah Mekkah dan sekitarnya.

Meski perlahan pemikiran ekstrem sudah dipinggirkan, namun pemikiran tradisionalisme juga turut terancam. Mekkah yang dulunya banyak majelis ilmu dari Masyayikh ke Masyayikh seolah hilang. Pasalnya para Masyayikh dilarang untuk membuka pengajian umum. Larangan ini dikarenakan adanya kekhawatirkan akan pemahaman kelompok ekstrem yang telah ada sebelumnya.

Sebagai pendatang di zaman pembangunan modern, penulis merasakan sekali pergeseran pola pikir. Kebanggaan tentang ulama Nusantara di tanah Hijaz kini tertutup. Alih-alih menimba ilmu, kini malah lebih banyak pendatang yang memilih menjadi tenaga kerja. Memang tak bisa disalahkan, sebab kebutuhan hidup juga melonjak drastis, sejak diberlakukannya pajak di Saudi.

Semenjak pandemi, kegiatan belajar mengajar di Saudi dialihkan ke sistem daring, bahkan berlanjut hingga kini. Hal ini menimbulkan keresahan tersendiri, terlebih bagi orang tua murid. Mereka melayangkan banyak kritik, sebab menjadikan murid begitu manja. Sekolah sering diliburkan karena perkiraan cuaca buruk, dan pelajaran diganti dengan sistem daring.

Para orang tua masih meyakini bahwa talaqqi (tatap muka) langsung antara guru dan murid lah yang menyebabkan keberhasilan pendidikan. Sebab adab-adab mencari ilmu akan benar-benar diterapkan ketika ada pertemuan murid dan guru secara langsung. Sedangkan saat daring, tak sedikit pula para murid yang memilih ‘bersekolah’ di tempat kopi, dan hanya formalitas untuk mencari absensi. Bahkan ketika di rumah pun, tak jarang yang hanya masuk dalam forum dan tak mengikuti mata kuliahnya.

Memang benar kita tidak bisa memaksakan pola pendidikan di zaman kita untuk anak anak kita, seperti kata Socrates “Jangan paksakan anak-anakmu mengikuti jejakmu, mereka diciptakan untuk zaman mereka, bukan di zamanmu” tapi peran guru dan orang tua tetap harus ada untuk memberikan batas serta mengarahkan anak-anak zaman baru.

Penulis mengingat candaan ringan dengan salah satu penduduk asli Mekkah saat sedang menunggu pesanan kopi. Laki-laki pribumi itu bertanya, “Apakah orang Indonesia sama seperti Arab?”

Pertanyaan ini hadir karena mereka mengagumi orang Indonesia yang bisa berbicara Arab Fushah lebih lancar daripada penduduk Mekkah sendiri. Pasalnya orang-orang Mekkah lebih banyak menggunakan bahasa Amiyah.

Penulis pun tak mengingkari kejadian yang sama di Indonesia, seperti yang sudah banyak kita tahu di Jawa “Wong Jowo ilang Jawane” dan ternyata orang Arab juga hilang Arabnya. Kami saling tertawa dan tiba-tiba terdiam setelahnya, karena mengetahui ironi yang sama. (AN)