Mbah Cholil Baureno: Ulama Pejuang Kemerdekaan, Perobek Bendera Belanda

Mbah Cholil Baureno: Ulama Pejuang Kemerdekaan, Perobek Bendera Belanda

Mbah Cholil Baureno: Ulama Pejuang Kemerdekaan, Perobek Bendera Belanda
Mbah Cholil Baureno

Mbah Ji Cholil, begitu sapaan akrab dari KH. Cholil bin Abdullah Umar, Seorang ulama kharismatik yang umara’ sekaligus pejuang kemerdekaan. Namanya jarang dikenal oleh khalayak luas. Namun peran dan jasanya tak perlu diragukan lagi.

Kiai Cholil Baureno adalah seorang ulama kharismatik dari Bojonegoro Jawa Timur. Tanggal dan bulan kelahirannya tidak diketahui secara pasti. Ayahnya bernama Kiai Abdullah Umar, tokoh ulama di Baureno pada masanya. Sedangkan ibunya adalah Mbah Nyai Taslimah.

Jika mengacu pada pendapat yang selama ini dipegang oleh keluarga besar, Kiai Cholil dilahirkan menjelang awal abad ke 20. Tepatnya pada tahun 1900 M di Desa Pasinan Kecamatan Baureno, Bojonegoro. Beliau lahir dengan nama kecil Munandar. Namun, ketika dia telah mondok ke berbagai pesantren dan usai melaksanakan ibadah haji, nama Munandar diubah menjadi Cholil.

Sebagai putra seorang Kiai, Munandar dan saudara-saudaranya dibesarkan dalam lingkungan yang agamis. Hal tersebut terbilang langka, karena tidak semua orang mendapatkan pendidikan semacam itu. Apalagi tempat beliau dibesarkan tergolong desa abangan. Hal ini dikarenakan Pasinan menjadi pusat kesenian tayub atau ledhek yang identik dengan minuman keras, perjudian dan prostitusi. Dominasi kaum abangan itu baru surut, seiring dengan berkembangnya pendidikan dan cahaya dakwah Islam yang ditebarkan Munandar yang kemudian hari lebih dikenal dengan Mbah Ji Cholil.

Seperti tradisi ulama zaman dahulu yang tidak hanya belajar kepada kedua orang tua saja, Kiai Cholil menimba ilmu ke berbagai ulama lain di berbagai daerah. KH. Cholil mengawali rihlah ilmiahnya tepat di usia ke 14 tahun. Pesantren pertama yang dituju adalah Pondok Pesantren Langitan Tuban selama 2,5 tahun. Kemudian Kiai Cholil melanjutkan pengembaraan keilmuannya ke berbagai pesantren seperti: Pondok Pesantren Sidoresmo Surabaya, Pondok Pesantren Demangan Bangkalan (2-3 bulan), Pondok Pesantren Siwalan Panji Sidoarjo (3 tahun), Pondok Pesantren Buntet Cirebon, Pondok Pesantren Wanantara Cirebon, Pondok Pesantren Kasingan Rembang (1926-1929 M), belajar di tanah suci sembari melaksanakan haji, Pondok Pesantren Tebuireng Jombang (2 tahun).

Ketertarikan Kiai Cholil akan Syaikh Mahfudz at-Tarmisi  (1863-1920 M) sebagai salah satu ulama Indonesia berkaliber internasional, membawa beliau ke Pondok Pesantren Tremas. Cholil menghabiskan 6 tahun untuk belajar di Pesantren Tremas yang waktu itu diasuh oleh KH. Dimyathi, adik kandung dari Syaikh Mahfudz at-Tarmisi.

Pondok Tremas telah melahirkan banyak ulama di Nusantara seperti; KH. Asy’ari Lempuyangan Yogyakarta, KH. Abdul Hamid Pasuruan, Syaikh Masduki Lasem, KH. Muslih Abdurrohman Mranggen, KH. Umar Mangkuyudan, KH. Makhrus Aliy Lirboyo, KH. Ali Ma’shum Krapyak, Prof. Dr. Mukti Ali.

Selain menimba ilmu di Tremas, Kiai Kholil juga mengajar dan berkdhidmah di sana. Hal ini karena bagi santri yang alim, mereka diberikan kesempatan untuk bisa mengajar para santri. Ketika semakin berkembang dan santri yang mengikuti semakin banyak, maka diperbolehkan mengajar di jerambah asrama. Selanjutnya jika semakin alim, diperkenankan mengajar di serambi masjid.

Kisaran tahun 1936 M, Kiai Cholil boyong dari Pondok Pesantren Tremas, usai menyelesaikan beberapa pengajian kitab yang telah diwasiatkan oleh Kiai Dimyathi. Kiai Cholil kembali ke kampung halamannya di Desa Pasinan, Kecamatan Baureno, Kabupaten Bojonegoro. Setibanya di kampung halaman, hal pertama yang dilakukan oleh Kiai Cholil adalah mendirikan rumah. Selain digunakan sebagai tempat tinggal juga digunakan sebagai tempat mengajarkan ilmu agama. Setelah santri semakin banyak hingga kediamannya sudah tidak muat lagi, pada tahun 1937 M, Kiai Cholil berinisiatif mendirikan pesantren yang kemudian diberi nama Pondok Pesantren Darul Ulum.

Pada masa revolusi fisik, terutama ketika berlangsungnya Agresi Militer Belanda II, pengajian yang telah dirintis dan didirikan oleh Kiai Cholil sempat mengalami kevakuman. Hal ini karena status Kiai Cholil menjadi pejuang yang diburu Belanda. Oleh karena itu Kiai Cholil terpaksa menutup pengajiannya. Beliau lantas berpindah-pindah tempat, dan juga turut bergerilya hingga Kota Pacitan.

Pasca kedaulatan Republik Indonesia, Kiai Cholil memulai kegiatan belajar mengajarnya dan rela meninggalkan dunia militer meskipun menyandang pangkat letnan dua tituler. Dalam surat keputusan No: Skep/860/VII/1892, tentang pengakuan, pengesahan, dan penganugerahan gelar kehormatan veteran pejuang kemerdekaan RI, Kiai Cholil adalah pejuang kemerdekaan golongan A. Sementara dalam struktur organisasi militer, dia terdaftar sebagai Staf I di Resimen 30 Divisi V Brigade Ronggolawe.

Menurut Alif Saifullah penulis buku Mbah Kholil Baureno, Kepahlawanan, Hikmah dan Keteladanan. Kiai Cholil adalah tokoh yang merobek bendera di Hotel Yamato. Sebagaimana yang telah diungkapkan oleh KH. Maimoen Zubair dan KH. Najih Maimoen.

Selain pejuang, beliau juga pernah ditunjuk pemerintah untuk menjadi Asisten Wedono (setingkat kecamatan)  di Kecamatan Kota Bojonegoro kemudian dipindah di Kecamatan Baureno. Selama menjabat sebagai asisten wedana, kondisi rumah Kiai Cholil tidak pernah dikunci. Beliau mengizinkan siapa saja untuk datang ke rumahnya. Rumahnya selalu didatangi oleh berbagai tamu. Di sela-sela menunaikan tugas menjadi pejabat sipil, beliau tetap melaksanakan tugas belajar mengajar di pesantren.

Pada pemilihan umum tahuan tahun 1995 M, Kiai Cholil terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat daerah (DPRD) Bojonegoro mewakili partai NU. Kala itu posisi Kiai Cholil sebagai Rois Syuriah NU Cabang Bojonegoro. Pemilu demokratis yang pertama kali digelar, partai NU Cabang Bojonegoro memperoleh 60 ribu suara, dan menduduki 6 kursi dari 35 kursi yang diperebutkan.

Ulama, pejuang dan umara’ kharismatik ini wafat pada usia 69 tahun pada tanggal 25 Desember 1970 M atau bertepatan dengan 26 Syawal 1390 H di Bojonegoro.

Salah satu wasiat yang masih relevan sampai saat ini adalah “Dadi wong kudu sing nyegoro” (Menjadi orang haruslah seperti lautan). Kiai Cholil menitipkan pesan bagi kita semua agar senantiasa menjadi manusia yang memiliki wawasan luas dalam berinteraksi sesama manusia atau sesama hamba Allah.

(AN)