Masih segar dalam ingatan, Desember 2016, lalu Indonesia digegerkan dengan berkumpulnya ribuan orang di Monas, Jakarta. Mereka berkumpul atas nama solidaritas ukhuwah Islamiyah yang merasa terhina atas pernyataan eks Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Ribuan kalimat umpatan kasar bernada fitnah dan ujaran kebencian, tak jarang SARA dan dibumbui narasi-narasi religius mewarnai hari-hari baik di dunia nyata maupun di media sosial hingga sidang putusan Ahok pada Mei 2017 lalu ditetapkan dan ia masuk penjara karena dianggap menodai agama.
Agama menjadi salah satu ciri paling identik dengan mayoritarianisme. Meskipun mayoritarianisme kesukuan juga banyak, namun mayoritarianisme agama lah yang acapkali kita temukan di negeri ini.
Banyaknya kejadian intoleransi selain karena salah paham dalam mempelajari agama, juga karena merasa mayoritas baik dalam beragama maupun dalam bersuku.
Mayoritarianisme mulanya digunakan sebagai filosofi politik di mana kalangan mayoritas berhak menentukan keputusan yang berpengaruh terhadap nasib keseluruhan masyarakat. Sering kali kebijakan yang diputuskan tidak sesuai kebutuhan dan keadaan, sehingga keberadaan kelompok-kelompok kecil dalam masyarakat acap kali terabaikan dan terbengkalai. Dalam kata lain, mayoritarianisme disebut juga sebagai “hukum rimba”.
Tercatat hingga saat ini, sebagian besar masyarakat Indonesia masih “menuhankan” filosofi mayoritarianisme. Tak heran jika terjadi banyak penolakan terhadap tindakan yang dilakukan kaum di luar mereka (minoritas).
Banyaknya penolakan pendirian rumah ibadah di Indonesia tak lain juga sebab masyarakat setempat masih menganut mayoritarianisme. Dimana mayoritas berkuasa, disitulah hukum tunduk patuh kepadanya, demikian kira-kira.
Nyatanya, filosofi mayoritarianisme tidak sesuai dengan asas Pancasila sila kedua, “Kemanusiaan yang adil dan beradab” serta sila kelima “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Pada hakikatnya, hukum di Indonesia tidak mengenal mayoritas-minoritas, akan tetapi hukum hanya mengenal dua istilah: benar atau salah. Namun pada praktiknya, seringkali hukum di intervensi oleh kalangan yang jumawa dan masih menuhankan cara pandang mayoritarianisme. Sehingga mereka yang semula tak bersalah, diputus bersalah akibat adanya upaya intervensi hukum.
Jika kita kaji lebih dalam, sebetulnya Pancasila sendiri telah meniadakan paradigma mayoritas-minoritas dengan menganggap semua warga negara –apapun perbedaannya– adalah sama dan setara di hadapan hukum. Sehingga jika kita berbicara masalah kebangsaan, sepatutnya tak lagi menyinggung paradigma mayoritas-minoritas karena asas Pancasila sendiri sudah jelas dan final: “Persatuan Indonesia”.
Akan tetapi dirasa masih sulit mengkampanyekan narasi-narasi persatuan secara lebih luas di tengah masyarakat yang masih berpegang pada cara pandang (mindset) mayoritarianisme.
Selama ini yang penulis amati, kampanye-kampanye persatuan kebanyakan hanya berhenti di ruang obrolan, belum pada aksi nyata. Tentu jika masyarakat telah sadar pentingnya bersikap adil dan memprioritaskan persatuan, mindset mayoritarianisme perlahan akan surut, dan tentu saja disusul rumah-rumah ibadah kaum minoritas yang disegel dan dihancurkan akan dibuka dan dibangun kembali atas nama persatuan.
Kalau sudah begitu, makin terasa harmonisasi Pancasila dalam kehidupan berbangsa secara lebih nyata, bukan sekadar narasi atau imajinasi belaka.
Bagaimana, sudah terbayang kah bagaimana indahnya Indonesia tanpa mayoritarianisme? Begitulah poin yang sebenarnya ingin disampaikan oleh Pancasila: tak boleh ada sekat-sekat yang memperjauh hubungan antar elemen bangsa. Dan, sayangnya, presiden Jokowi masih tenang-tenang saja dan seperti wawancara di BBC, tidak menganggap persoalan intoleransi dan mayoritarianisme ini menjadi hal utama.