Sekelompok anak muda memakai setelan gamis berwarna putih berkumpul di teras sebuah langgar. Mereka datang ke sana karena diminta oleh panitia pelaksana peringatan hari besar Islam langgar tersebut. Kelompok anak muda tersebut adalah sebuah ‘Grup Maulid’. Sebutan lain mereka adalah “Rombongan Maulid”. Ini cukup familiar di kalangan anak muda Banjar dalam dua atau tiga dekade terakhir ini.
Jauh sebelumnya, pelaksanaan peringatan hari besar Islam, diantaranya Maulid Nabi, yang cukup meriah adalah fakta bahwa masyarakat Banjar memiliki ikatan cukup kuat dengan agama Islam. Ia tidak saja mewarnai, namun menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam identitas masyarakat Banjar. Perayaan hari besar Islam, seperti Maulid Nabi, menjadi bagian dalam kehidupan sehari-hari mereka.
Di antara tradisi masyarakat Banjar yang populer di bulan Rabiul Awal adalah pembacaan syair Maulid. Memang, tradisi yang sama dapat dijumpai di berbagai kelompok masyarakat lain luar tanah Banjar. Akan tetapi, perkembangan pembacaan teks syair Maulid tersebut di tanah Banjar telah mengalami perkembangan yang cukup pesat. Bahkan, tradisi tersebut banyak sekali menghadirkan aneka model aktivitas keberagamaan baru.
Sebelumnya, teks bait-bait syair Maulid Diba’ dan Barzanji sudah menjadi bagian dalam kehidupan masyarakat Banjar. Saya sendiri memiliki pengalaman masa kecil yang berkelindan dengan teks syair-syair tersebut. Dulu, saya selalu ikut kakek menghadiri perkumpulan masyarakat yang dilakukan rutin mingguan di malam Jumat. Dalam pertemuan rutin tersebut, Maulid Diba dan Barzanji dibaca bersama-sama.
Dulu pembacaan maulid lebih banyak dibaca bersama-sama, baik oleh laki-laki atau perempuan. Masyarakat pun merasakan “berkah” dalam ritual pembacaan Maulid tersebut. Sebab, tidak saja senang karena dalam rumah mereka dibacakan syair Maulid, namun pada saat tersebut juga biasanya dihadirkan air dalam berbagai wadah. Dan air tersebut kemudian dipakai dalam berbagai maksud oleh tuan rumah.
Masyarakat Banjar dikenal sebagai penganut Islam yang taat. Sebagaimana pernah ditulis Hairus Salim bahwa Urang Banjar adalah etno-religius, di mana antara suku dan identitas agama bagai dua sisi mata uang yang saling terkait. Namun, Alfani Daud dalam buku Islam dan Masyarakat menegaskan bahwa Islam bukan satu-satunya faktor dalam identitas masyarakat Banjar, tapi keislaman mereka berkelindan dengan tiga sistem kepercayaan sekaligus, yakni Islam, bubuhan (semacam model relasi keluarga), dan relasi dengan alam.
Oleh sebab itu, beberapa ritual di masyarakat Banjar tidak saja berwarna Islam saja, namun di sana juga diwarnai dengan tradisi lokal, yang lekat dengan kepercayaan pada relasi bubuhan atau dengan alam. Tempat, waktu, dan keadaan yang sakral dalam agama Islam banyak yang terhubung dengan berbagai tradisi masyarakat Banjar, seperti Baayun Maulid, Batumbang, atau Lawang Sekepeng.
Adapun pembacaan syair Maulid tidak sekedar membaca pujian, sirah, dan kisah tentang Nabi Muhammad bagi masyarakat Banjar. Di dalam tradisi tersebut juga terdapat kepercayaan bahwa Rasulullah selalu “hadir” dalam setiap pembacaan syair Maulid. Kepercayaan inilah yang kemudian melahirkan berbagai aktivitas-aktivitas menaruh botol air dan lain-lain, sebagaimana disebut di atas.
Setelah popularitas syair Maulid Habsyi mulai naik, di saat yang bersamaan melahirkan berbagai aktivitas keagamaan baru, salah satunya adalah grup Maulid. Kehadiran Grup Maulid Nabi menjadi bagian dari tradisi pembacaan maulid, khususnya syair Maulid Habsyi. Mereka biasanya hadir untuk membacakan syair-syair Maulid Habsyi di berbagai kesempatan dan acara.
Terlebih, akhir-akhir ini hampir seluruh ritual keagamaan masyarakat Banjar menyertakan pembacaan syair Maulid Habsyi di dalamnya. Akibatnya, pembentukan grup-grup pembaca syair Maulid Nabi sangat subur dalam tiga atau dua dekade terakhir. Ada yang dibentuk dari komunitas Langgar atau Masjid, sekolah, tempat tinggal, bahkan ada yang lahir dari kelompok pertemanan.
Tumbuh bagai jamur di musim hujan, geliat grup Maulid di tanah Banjar tidak hanya mengandalkan anak-anak, remaja, atau pemuda. Tidak sedikit para orang tua paruh baya yang turut aktif dalam sebuah grup Maulid.
Dalam grup tersebut biasanya berlatih secara rutin untuk dua peran utama, yakni “Penyairan” (orang yang bertugas membaca syair-syair Maulid), dan “Panarbangan”, mereka yang bertugas menabuh rebana atau tarbang. Selain itu, beberapa teknik menepuk rebana, seperti meningkah atau manaradak, dipelajari secara rutin dalam grup tersebut.
Alat musik bernama ‘Tarbang’ (baca: rebana) jadi sangat populer di masyarakat Banjar. Instrumen musik yang ditabuh dengan telapak tangan tersebut dapat dijumpai di beberapa ruas jalan di kota Martapura dan sekitarnya. Kitab-kitab syair Maulid pun sangat laku keras.
Bahkan, posisi sebagai penyairan atau panarbangan cukup populer di kalangan anak muda Banjar beberapa tahun terakhir ini. Bahkan, saya pernah menjumpai kemampuan membaca syair atau penabuh tarbang tersebut jadi impian pasangan ideal.
Dapat kita lihat dari fenomena pembacaan syair hingga bermunculan grup Maulid di tanah Banjar, bahwa diskursus “Kecintaan kepada Nabi Muhammad” bukan saja sangat populer di masyarakat. Namun, kita juga bisa melihat bahwa beragam model keberagamaan baru yang lahir dari diskursus tersebut.
Di sisi lain, kita juga bisa melihat bahwa “Kecintaan atas Nabi Muhammad” telah berkembang dan bertransformasi lebih dari sekedar konsep abstrak dan umum, sebagaimana kita bisa jumpai di berbagai ceramah atau teks keagamaan yang beredar.
Namun, ia juga hadir dalam berbagai tradisi di masyarakat. Bahkan, masyarakat menghadirkan bukti “Cinta” tersebut lebih jauh, lewat perilaku konsumsi atas barang-barang, aktivitas keagamaan yang khas, hingga perbincangan dalam keseharian. Maulid tidak lagi sekedar bacaan atau ritual. Ia hadir sebagai bagian dari sebuah diskursus besar bernama “Kecintaan pada Nabi Muhammad”.
Sebagaimana kita temui di tanah Banjar, teks syair Maulid Diba, Barzanji, hingga Habsyi telah banyak mempengaruhi kehidupan dan tradisi keagamaan masyarakat. Namun, di saat yang bersamaan, Maulid Nabi Muhammad tidak sekedar upacara peringatan, namun juga hadir aneka aktivitas masyarakat, seperti grup Maulid, atau sajian di tengah acara.
Teks tidak sekedar apa yang tertulis, begitu sebut Pierre Bourdieu, filsuf asal Perancis. Ia juga melahirkan berbagai tindakan, ritual, hingga sticker di belakang motor atau mobil. Syair-syair Maulid yang tertulis dengan sangat indah tersebut tidak lagi hadir hanya dalam bingkai kata-kata pujian kepada Nabi Muhammad, akan tetapi keindahan tersebut juga dirasakan dan diresapi dalam pembacaan lewat suara dan tabuhan tarbang menambah suasana mistis dan keindahan dalam bait-bait syair tersebut. Fatahallahu alaina futuh al-Arifin