Bulan Rabiul Awal telah tiba. Bulan yang cukup spesial bagi umat Islam sedunia karena pada bulan inilah manusia termulia, Nabi Muhammad SAW, dilahirkan. Tak satu pun umat Islam yang tidak mencintai Nabi Muhammad. Ungkapan rasa cinta itu selalu dikumandangkan dengan melantunkan bacaan shalawat kepadanya. Bukan hanya setiap hari, tapi setiap detik shalawat selalu dikumandangkan. Dalam shalat, umat Islam tidak pernah meninggalkan bacaan shalawat kepadanya. Allahumma shalli ‘ala Sayyidana Muhammad.
Tidak cukup hanya mengumandangkan shalawat di dalam shalat, umat Islam pun merayakan peringatan Maulid Nabi di seluruh penjuru dunia dengan berbagai bentuknya.
“Telah datang kepada kalian seorang Rasul dari jenis kalian. Terasa berat baginya apa-apa yang menyusahkan kalian. Ia sangat berharap kebaikan bagi kalian; sangat bersikap kasih dan sayang terhadap orang-orang yang beriman.” (QS. At-Taubah: 128)
Ada kisah unik yang berhubungan dengan ayat ini. Pada masa Khalifah Abu Bakar, saat panitia pengumpulan Al-Qur’an menjadi satu mushaf mulai bekerja, diperlakukan aturan yang cukup ketat terhadap setiap orang yang datang menyatakan bahwa dirinya pernah hafal satu ayat Al-Qur’an atau mengaku memiliki catatan satu ayat Al-Qur’an.
Umar ibn Khatab menetapkan keputusan bahwa setiap orang yang menyodorkan satu ayat yang diklaim sebagai ayat Al-Qur’an, harus menghadirkan dua orang saksi yang membenarkan pengakuannya. Hal ini dilakukan demi menjaga kemurnian Al-Quran dan menghindari masuknya nash-nash yang bukan bagian dari Al-Qur’an.
Uniknya, ketika Khuzaimah al-Anshari menyodorkan ayat di atas (QS. At-Taubah: 128) dan menyatakannya sebagai bagian dari ayat Al-Qur’an, Umar langsung menerimanya tanpa meminta Khuzaimah menghadirkan dua orang saksi. Umar hanya berkata, “Memang begitulah adanya Rasulullah SAW.” (Tafsir Ath-Thabari jilid 14/588).
Ayat di atas menggambarkan betapa Rasulullah sangat menyayangi umatnya. Ia merasa sangat susah jika tahu ada umatnya yang menderita. Kisah seperti ini sudah sangat jamak diketahui, bahkan menjelang akhir hayatnya, yang terucap dari lisan Rasulullah adalah kalimat “Umatku, umatku!…”
Jika ayat tersebut dikontekstualisasikan dengan kondisi kekinian umat Islam, saya tidak bisa membayangkan, apakah saat ini Rasulullah sedang bergembira atau sedang sangat berduka.
Nabi Muhammad dilahirkan dan diutus ke muka bumi ini sebagai pembimbing umat manusia ke jalan yang lurus. Ada sederet rambu-rambu yang diberikan oleh Rasulullah kepada manusia sepanjang masa. Rambu-rambu paling tegas adalah akhlak yang dalam sebuah hadis ditegaskan bahwa Rasulullah bersabda, “Sungguh, aku diutus hanya untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak.” (Imam Baihaqi, Sunan Al-Kubrâ, jilid 10/192).
Seorang manusia yang ditunjuk oleh Allah sebagai Rasul dengan misi menyempurnakan kemuliaan akhlak tentu dia sosok manusia yang memiliki akhlak yang sangat mulia; tentu ia merupakan sosok manusia yang pantas dijadikan suri tauladan. Tidak mungkin Allah menjadikannya sebagai penyempurna kemuliaan akhlak sementara ia sendiri minus-akhlak.
Dalam pribahasa Arab dinyatakan fâqidu asy-sya’i lâ yu’thîhi, orang yang tidak memiliki sesuatu tidak mungkin dapat memberikan sesuatu itu kepada orang lain.
Seorang sahabat yang bernama Sa’ad ibn Hisyam ibn Amir pernah bertanya kepada Ummul Mukminin Aisyah tentang akhlak Rasulullah. Aisyah lantas menjawab, “Akhlak Rasulullah adalah Al-Quran…” (Musnad Imam Ahmad, jus 50/116)
Banyak ayat Al-Qur’an yang secara eksplisit menegaskan keluhuran dan kemuliaan akhlak Rasulullah. Salah satunya adalah ayat 128 dalam surah At-Taubah yang telah disebutkan di atas. Begitu juga ayat 4 dari surah Al-Qalam, “Dan sungguh engkau berada di atas akhlak yang luhur,” dan ayat lainnya.
Secara umum, jika ingin mengenal akhlak Rasulullah lebih jauh tentu ada di dalam Al-Qur’an, sebagaimana ditegaskan oleh Aisyah dalam hadis di atas.
Inilah yang menyebabkan saya, secara pribadi, sering kali merasa malu ketika membaca Al-Qur’an, bahkan “merasa tersinggung”. Ketika membaca ayat yang menceritakan tentang orang-orang munafik, ternyata tanda-tanda kemunafikan ada pada diri saya. Ketika membaca ayat yang menceritakan tentang kekufuran, ternyata tanda-tanda kekufuran ada pada diri saya. Ketika membaca ayat yang menceritakan tentang orang-orang yang beriman, justru tanda-tanda orang yang beriman tidak ada pada diri saya.
Misalnya membaca ayat 14 surah Al-Hasyr, “…kamu kira mereka bersatu, padahal hati mereka berpecah-belah…” Ayat ini sedang menyatakan tentang kondisi batin orang-orang munafik, tapi tanda-tandanya ada dalam diri saya. Saya malu, bahkan “dibuat tersinggung” oleh Al-Quran.
Ayat lain yang menginformasikan tentang sikap orang-orang yang kufur, misalnya ayat 6 dari surah Al-Baqarah, “Sungguh orang-orang yang kufur itu sama saja; engkau peringatkan atau tidak engkau peringatkan mereka tetap tidak beriman.” Ayat ini menegaskan tentang sikap orang-orang yang kufur. Mereka tidak akan pernah mengindahkan berbagai peringatan dan nasehat. Kritik-kritik yang positif, baik yang berhubungan dengan kehidupan sosial, politik atau agama, tidak akan ada gunanya bagi orang-orang seperti itu. Tapi tanda-tanda itu ada pada diri saya. Saya malu, bahkan “dibuat tersinggung”.
Ketika membaca, misalnya, ayat 71 surah At-Taubah, “Orang-orang yang beriman laki-laki dan orang-orang yang beriman perempuan sebagian mereka adalah kekasih (auliyâ’) bagi sebagian yang lain…” Ayat ini menegaskan bahwa orang-orang yang beriman, baik laki-laki maupun perempuan, adalah orang-orang yang saling mengasihi, saling melindungi kehormatan, dan saling menghargai. Tanda-tanda orang beriman dalam ayat ini justru tidak ada pada diri saya. Saya malu dan “dibuat tersinggung”.
Apa lagi memasuki tahun politik seperti sekarang ini. Kita menyaksikan orang-orang yang seharusnya saling mengasihi justru saling menjatuhkan dan merendahkan karena berbeda warna bendera.
Beruntunglah orang yang tidak pernah membaca Al-Qur’an atau membaca tapi tidak mengerti maknanya; berarti ia tidak pernah malu dan tidak pernah dibuat tersinggung oleh Al-Qur’an.