Mati Ketawa Ala Kiai-Kiai NU

Mati Ketawa Ala Kiai-Kiai NU

Humor turut merawat kesehatan bangsa Indonesia dari terpaan kesulitan-kesulitan hidup yang tak habis-habisnya.

Mati Ketawa Ala Kiai-Kiai NU

Humor tak pernah mati dari kehidupan orang-orang NU. Khazanah humor dalam NU terus-menerus lestari bahkan terus tumbuh tunas-tunas humor baru. Bahkan seorang Gus Baha’, kiai muda ahli tafsir Qur’an yang serius, dalam berbagai ceramahnya tak pernah meninggalkan sisipan-sisipan humor di dalamnya. Tema-tema yang serius dan berat disampaikan dengan penuh canda, tawa dan tentu saja gembira.

Konon katanya, syarat wajib kiai-kiai NU dalam berceramah adalah harus lucu. Kata Gus Dur, kalau ceramah itu tidak lucu, bakalan mirip dengan ceramahnya mantan Danramil (komandan militer). Kultur pendidikan militer yang keras dan penuh tekanan, menjadikan anggotanya memiliki kecenderungan hitam-putih dalam melihat persoalan.

Model demikian itu mungkin cocok untuk kultur militer yang butuh kedisiplinan. Namun kurang relevan jika dipraktikkan dalam kehidupan keagamaan yang segala dinamika persoalannya rumit dan tidak bisa dipandang secara hitam-putih. Kehidupan keagamaan yang penuh relativisme, membutuhkan kesabaran yang panjang dalam menilai persoalan secara obyektif.

Berbicara tentang ceramahnya mantan Danramil, Gus Dur punya cerita lucu. Suatu ketika seorang mantan Danramil diminta untuk menjadi khatib salat Jum’at. Sebagai seorang khatib, tentu saja si mantan Danramil memiliki kewajiban untuk memberi nasihat jama’ahnya untuk bertakwa. Dengan penuh ketegasan, si mantan Danramil memberi petuah kepada jama’ah “Wahai orang-orang yang beriman, senantiasalah bertakwa kepada Allah Swt. Awas kalau tidak!!!.”

Nasihat si mantan Danramil itu dipungkasi dengan kalimat “awas kalau tidak!!!”. Kalimat peringatan tersebut menampakkan betapa kaku dan keringnya kultur dalam beragama jika hanya dipenuhi oleh ancaman dan pemaksaan. Maka kemudian Gus Dur mengatakan bahwa ceramah seyogyanya harus lucu, supaya tidak membikin bosan.

Dalam tradisi ceramah kiai-kiai NU, homor menjadi sebuah kebutuhan. Sebab apa? Kebiasaan pengajian dalam tradisi NU itu umumnya digelar pada siang atau malam hari. Jam-jam seperti itu adalah waktu kritis, di mana konsentrasi manusia sedang mengalami penurunan yang drastis.

Bayangkan saja, di siang hari yang cuacanya sangat terik dan kondisi perut mulai lapar. Dan jika malam hari, stamina sudah terkuras habis oleh pekerjaan dan yang tersisa hanya lelah saja. Terlebih lagi, diperparah dengan tradisi acara NU yang tidak tepat waktu. Bayangkan saja tinggal berapa persen kadar konsentrasi jama’ah ketika datang ke pengajian?

Di tengah kadar konsentrasi yang hampir sekarat itu, jama’ah pengajian NU masih harus mendengarkan ceramah dengan durasi berjam-jam. Rasanya tidak mungkin dapat menginternaslisasi dengan seksama materi ceramah dengan konten yang serius. Maka solusinya adalah dengan humor. Melalui humor, mereka yang sudah mulai lesu dapat tertawa. Mereka kemudian lupa kalau perut sedang lapar atau lelah setelah seharian bekerja.

Kalau demikian ceritanya, maka pengajian bagi kalangan NU tidak hanya sebatas sebagai kegiatan transfer ilmu saja, namun juga menjadi wahana hiburan dan berbagi canda tawa. Maka, lambat laun kebiasaan humor itu menjadi budaya dalam kalangan NU. Dan budaya berhumor inilah yang kemudian turut memengaruhi kultur keislaman NU yang luwes dan penuh toleran.

Kemudian, terkait dengan humor dalam berceramah, Gus Baha’ suatu waktu pernah bercerita bahwa di masyarakat itu banyak orang yang hidupnya memiliki banyak persoalan. Bahkan, untuk mengobati permasalahan hidupnya tersebut, orang-orang tersebut harus mencari hiburan melalui melakukan kemaksiatan.

Banyak orang yang minum-minuman keras ataupun memakai narkoba hanya untuk mengalihkan atau bahkan melarikan diri dari permasalahan hidup yang sedang dihadapi. Mereka mabuk-mabukkan ataupun mengisap narkoba untuk sekadar melupakan masalah besar yang sedang dihadapinya.

Menurut Gus Baha’ bahwa kiai-kiai pesantren zaman dahulu memikirkan betul perihal masalah tersebut. Bagaimana caranya supaya orang-orang yang melakukan kemaksiatan tersebut dapat ikut mengaji dengan sang kiai.

Jika mengajak orang ahli maksiat untuk datang ke pengajian, tentu akan sulit, mereka tidak tertarik atau bahkan tidak nyaman untuk datang dan malu karena merasa banyak dosa. Nah, di tengah kebuntuan tersebut, kiai-kiai pesantren menemukan metode yang jitu untuk berdakwah, yakni melalui humor. Melalui humor, ahli maksiat bisa datang ke pengajian dan sekaligus mendapat hiburan.

Terkait dengan cerita Gus Baha’ ini, saya punya cerita pengalaman pribadi. Beberapa waktu yang lalu keluarga saya sedang menyewa mobil untuk sebuah keperluan. Si sopir mobil tersebut merupakan seorang tetangga yang hidupnya jauh dari kehidupan spiritual. Lengannya bertato dan ahli mabuk.

Ia yang kehidupannya jauh dari spiritualisme tersebut saya perhatikan sedang menyimak berjam-jam video ceramah Gus Miftah di Youtube. Ia terlihat menyimak dengan seksama dan sambil tersenyum-senyum, bahkan tak jarang tertawa keras. Rupa-rupanya ia terhibur dari ceramah yang lucu itu.

Saya kemudian bergumam, benar sekali metode yang diceritakan Gus Baha’. Bahwa dengan metode ceramah yang lucu dapat menarik ahli maksiat dengan sendirinya. Dan di sinilah yang dikatakan Gus Dur bahwa ceramah harus lucu itu menemui relevansinya.

Canda dan tawa sebagai metode ceramah kiai-kiai NU ini lambat-laun menjadi sebuah kultur dan pada akhirnya kultur guyonan ini menjadi ciri khas NU hingga Talk Show Rosiana Silalahi di Kompas TV tadi malam (30/01) menjadikan humor menjadi sub tema penting yang menjadi ciri khas NU di usia 94 tahun ini.

Bahkan, NU sebagai ormas Islam laksana tak punya pesaing yang sepadan dalam bidang berhumor. Dalam hal ini, NU patut berbangga dari Muhammadiyah yang selama ini paling terdepan sebagai ormas Islam dengan pelayanan pendidikan dan kesehatan yang tak tertandingi. Dalam soal humor, barangkali Muhammadiyah hanya punya satu jagoan, yakni Pak AR Fakhruddin yang terkenal kocak itu. Itu pun, Pak AR barangkali hanya satu-satunya.

Dalam suasana harlah NU yang ke 94 ini, sepertinya salah satu hal kontribusi penting NU (terlepas dari kontribusi di ranah lain) kepada Indonesia adalah humor. Humor turut merawat kesehatan bangsa Indonesia dari terpaan kesulitan-kesulitan hidup yang tak habis-habisnya. Menurutku, hal ini merupakan sumbangsih NU yang sangat luar biasa. Memperbanyak stok kiai yang humoris. Wallahua’lam.