Tidak lama setelah mengambil alih Jawa dari kuasa Belanda, Jepang mendirikan Kantor Urusan Agama (Shumubu) di Batavia. Kantor ini dipimpin pertama kali oleh Kolonel Horie dengan merekrut pegawai dari orang Jepang sendiri yang sudah beragama Islam dan orang Indonesia yang sebelumnya pernah bekerja di kantor urusan agama zaman penjajahan Belanda. Kolonel Horie memimpin lembaga ini kurang lebih selama satu setengah tahun, dari bulan Maret 1942 Sampai Agustus 1943.
Masa jabatannya tidak terlalu lama karena dia diminta kembali ke Jepang untuk menjalankan tugas yang lain. Petinggi Jepang saat itu memutuskan penggantinya lebih baik dari kalangan pribumi yang beragama Islam. Tujuannya tentu tidak lain adalah untuk memuluskan agenda politik Jepang. Dipilihlah pada waktu itu Hussein Djajadiningrat sebagai kepala Kantor Urusan Agama.
Adanya perubahan struktur di Kantor Urusan Agama ini, merujuk laporan Saleh Haidara, juga berdampak pada perubahan Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI), yang dibentuk tahun 1937, diubah menjadi Masyumi Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) pada tahun 1943.
Pergantian MIAI menjadi Masyumi disambut baik oleh pemerintah Jepang. Dalam Majalah Soeara Muslimin Indonesia, 1 Desember 1943, ditulis sebagai berikut:
“Besar sekali pengharapan pemerintah dari perkumpulan yang telah terbentuk sebagai badan pusat dan pimpinan pengemudi perkumpulan agama Islam, supaya selekas mungkin bekerja dengan segiat-giatnya, dan hendaklah ketua besarnya sekalian pengurus-pengurusnya dan segenap perkumpulan agama Islam dengan para Alim Ulama yang tergabung di dalam Masyumi itu bersatu sebulat-bulatnya untuk melupakan kepentingan diri sendiri dan berkurban sebanyak-banyaknya untuk kepentingan umum.”
Saleh Haidara dalam Rapport Inzake de Japanse Islampolitiek tijdens de Bezzetting van Indonesie (Laporan Kebijakan Islam Jepang pada Masa Pendudukan Indonesia) menggarisbawahi redaksi “pengemudi perkumpulan agama Islam” dalam sambutan ini. Kata “pengemudi” diulang dua kali dalam sambutan itu. Menurut dia, kata ini mengandung arti yang dalam. Jepang tidak hanya sebatas menyetujui pendirian perkumpulan Islam, tetapi maksudnya lebih dari itu, yaitu mengajak supaya umat Islam bekerjasama dengan tentara Jepang.
Haidara memperkuat kesimpulannya dengan menampilkan bukti bahwa dalam Anggaran Dasar Majelis Syuro Muslimin Indonesia Pasal Tiga disebutkan, “Maskud dan tujuan perkumpulan ini ialah mengendalikan dan merapatkan perhubungan antara perkumpulan agama Islam di Jawa dan Madura, untuk mempertinggi peradaban, agar supaya segenap umat Islam membantu dan mengembangkan tenaganya untuk membuktikan lingkungan kemakmuran bersama di Asia Timur Raya di bawah pimpinan Dai Nippon, yang memang sesuai dengan perintah Allah.”
Penting diketahui, kalau dibandingkan dengan Anggaran Dasar pendirian MIAI, redaksi “pengendalian” atau “mengendalikan” itu tidak ditemukan. Kemudian tujuan pendirian MIAI pada masa awal jelas hanya untuk kepentingan umat Islam, dan Jepang menggunakannya sebagai salah satu sarana propaganda dan untuk tujuan lain yang sejalan dengan kepentingan Jepang.
Namun belakangan, Jepang merasa bahwa MIAI tidak lagi relevan dengan konteksnya. Apalagi perperangan terjadi di mana-mana dan diprediksi akan mencapai puncaknya dalam waktu dekat. Karena itu, Jepang mengusulkan MAIA diubah menjadi Masyumi, supaya lembaga ini tidak hanya bekerja untuk kepentingan umat Islam, tetapi juga membantu kepentingan Jepang.
Pandangan Majalah Soeara Muslimin Indonesia
Dengan adanya pergantian nama ini, majalah Soeara MIAI juga ikut berganti nama dengan Soeara Moeslimin Indonesia, diterbitkan oleh Majelis Syuro Muslimin Indonesia Jakarta. Pimpinan umumnya KH. M. Mansur dan pimpinan redaksi R.P.A Barry Albahry.
Penerbitan majalah ini tentu tidak lepas dari pengawasan Jepang. Pada halaman awal, perwakilan Gunseikan (Kepala militer pemerintahan Jepang) menjelaskan bahwa tujuan majalah baru ini adalah untuk menjelaskan cara dan maksud pemerintahan Balatentara Dai Nippon di pulau ini, serta membangkitkan semangat di antara umat Islam yang berati memberi sumbangan kepada Pemerintah Balatentara Dai Nippon di Jawa khususnya.
Pergantian nama ini tentu juga menjadi pertanyaan banyak orang: bukannya nama MIAI sudah bagus dan masyhur, kenapa harus diganti. Maka dari itu, artikel dengan judul Patah Tumbuh, Hilang Berganti diterbitkan untuk menjawab kegelisahan ini. Dalam artikel tersebut ditegaskan masalah nama tidak terlalu penting. Bukannya perubahan itu sudah lazim, seperti kata pepatah: patah tumbuh, hilang berganti. Nama hanya perhiasan belaka, yang paling penting adalah amal usahanya.
KH. M. Mansur juga meluruskan pendirian Masyumi ini, supaya tidak disalahpahami. Beliau menjelaskan hal itu di depan salah satu Radio di Jakarta pukul 20.30 malam. Isi pidatonya dimuat ulang dalam Soeara Moeslimin Indonesia. Berikut sebagian kutipan dari isi pidatonya:
“Masyumi ini atas kemurahan pemerintah balatentara Dai Nippon sudah disahkan. Perkumpulan kita yang baru ini didirikan bukan dalam zaman yang seperti zaman Belanda dahulu, melainkan dalam zaman yang baru, penuh dengan suasana baru dan terang cemerlang.
Kalau dahulu di zaman pemerintah Belanda, kita kaum muslimin, oleh karena politik Belanda yang menindas itu, harus menjauhkan diri dari pemerintah, akan tetapi di zaman sekarang ini kita segenap kaum muslimin harus membantu pemerintah. Segenap kaum muslimin di Jawa harus serentak maju ke depan untuk bekerja dengan sekuat tenaga membantu segala usaha pemerintah, oleh karena kaum muslimin sekarang mendapat perlindungan sebesar-besarnya dari pemerintah.
Semua perkumpulan agama di seluruh Jawa harus ada pertalian persaudaraan yang erat dan kuat, supaya kaum muslimin di seluruh Jawa dapat maju serentak untuk sekeras-kerasnya membantu pemerintah Balatentara Dai Nippon dalam usahanya yang suci itu, yaitu membentuk lingkungan kemakmuran bersama di Asia Timur Raya.
Kita sekalian merasa berhutang budi kepada Belantara Dai Nippon. Untuk menyatakan berterima kasih kita, tidak ada jalan lain, melainkan menyokong sekuat-kuatnya pemerintahan Balatentara Dai Nippon dengan segala usahanya yang baik itu….”
Himbauan Doa pada Hari Raya Idul Adha
Ucapan terima kasih atas Jepang, menurut laporan Haidara, diteruskan kemudian hari dengan mengadakan doa pada saat hari raya Idul Adha. Dikutip dari Soeara Masjoemi:
“Rapat pengurus pendiri Masyumi dengan bulat memutuskan bahwa nanti pada tanggal 8 Desember 1943, yang kebetulan jatuh sehari dengan hari perayaan Koa Sai, yang berati hari pembangunan seluruh bangsa Asia, akan mengadakan upacara doa untuk berterima kasih kepada Balatentara Dai Nippon dan lekas tercapainya kemenangan akhir di seluruh Jawa.”
Saya belum menemukan Majalah Soeara Masjoemi yang dimaksud Saleh Haidara, akan tetapi dalam Soeara Moeslimin Indonesia anjuran dan himbauan doa ini memang ada. Bahkan anjuran ini ditampilkan dua kali, dalam dua halaman yang berbeda. Berikut redaksinya:
“Berhubung hari raya idul kurban (10 Dzulhijjah 1362) dan hari perayaan Koa Sai (8 Desember 2603) kebetulan jatuh sehari, maksudnya hari yang sama, maka Majelis Syuro Muslimin Indonesia menganjurkan: di mana-mana masjid yang berdampingan (berdekatan) dengan tanah lapang melakukan sembahyang Idul Adha dan doa untuk kemenangan akhir. Masjid-masjid dipersatukan (dipersambungkan) dair masjid sampai tanah lapang itu semuanya berkumpul di situ sedapat mungkin untuk melakukan tersbeut. Diminta dimana-mana yang sudah melakukan anjuran Masyumi tersebut, supaya memberi kabar.”
Kabar ini disiarkan oleh bagian penyiaran Masyumi, kemudian mereka juga menuliskan teks doa yang bisa dibacakan saat Idul Adha. Saya tuliskan doanya di bawah ini:
Ya Allah, jadikanlah jiwa kami tenang, percaya akan menghadap Dikau, dan setia, rela atas putusan-Mu
Ya Allah, makmurkanlah lisan-lisan kami, menyebut-nyebut nama-Mu, dan hati kami, tunduk kepada-Mu, dan jiwa kami, berbakti kepada-Mu.
Ya Allah, tetapkanlah kaki kami dan tolonglah kami dan Kerajaan Dai Nippon atas musuh-musuh kami.
Ya Allah, menangkanlah kami atas musuh-musuh kami, dengan kemenangan yang gemilang.
Ya Allah, lekaskanlah kemenangan kami dalam waktu, yang sesingkat-singkatnya atas musuh kami Amerika dan Inggris,
Ya Allah, Engkau berfirman, Mohonlah semuanya kepada-Ku, kami turuti perhomonanmu. Sekarang, kami sungguh-sunggu bermohon kepada-Mu dalam rapat yang besar ini, hari raya kurban bagi kaum muslimin.
Ya allah, kabulkanlah permohonan kami ini, Tuhan Maha Mendengar, dan Maha Melihat, dan Tohan atas semuanya Maha Kuasa.
Mudah-mudahan Rahmat dan salam atas junjungan kami Nabi Muhammad dan keluarganya, sahabat-sahabatnuya semua.