Saya ingat sekali, sore itu pelantang mesjid kampung memanggil jamaah pengajian ibu-ibu berkumpul. Ada pengajian rutin bulanan. Biasanya, setelah membaca tahlil dan doa, akan ada materi tausiyah dari pembicara undangan dari luar kampung. Sore itu, pematerinya adalah seorang ibu yang ternyata sekaligus mencalonkan diri sebagai bakal anggota legislatif pada helatan pesta demokrasi.
Layaknya tradisi mayoritas, materi pengajian sore itu dapat didengar oleh seisi kampung melalui pengeras suara dengan volume maksimal. Dari rumah, saya mendengar ibu caleg itu mengakhiri ceramah dengan meminta dukungan kepada ibu-ibu jamaah pengajian, lengkap menyebut nama partai yang mengusungnya serta nomor urut pencalonannya.
Saya nggak mau galak-galak amatlah jadi warga kampung. Biar saja kalau seorang yang punya niat baik meminta dukungan doa. Eh, niat maju pencalonan legislatif itu masih sesuatu yang baik, kan? Tetapi, masalahnya adalah, si ibu caleg ternyata kalah.
Ketika itu ada caleg lain yang terbukti lebih dekat dengan warga kampung. Kiprahnya di kampung bagus, seperti rajin datang kerja bakti dan rajin ngasih sumbangan untuk masjid serta apa saja kebutuhan kampung. Meskipun si calon lain itu bukan ustaz, tentu saja warga kampung lebih memilihnya. Ibu caleg yang tadi itu, nuwun sewu, beliau memang ustazah, pintar berorasi, tapi menurut warga kampung ternyata kurang membumi alias kurang bergaul.
Alkisah, ibu caleg itu kemudian marah kepada jamaah ibu-ibu. Ia tidak mau menghadiri pengajian bulanan pada bulan berikutnya dan bulan-bulan seterusnya. Menurut desas-desus, ia merasa dikhianati. Lho, kemarin itu kan ia hanya minta didoakan, toh para ibu juga sudah mendoakan. Kalah atau menang, kan urusan lain?
Hal semacam inilah yang membuat kicauan Pak Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menjadi relevan.
Politik substantif seperti tegakkan keadilan & kejujuran, penuhi hak dasar manusia, cegah kemunkaran, dll adalah ajaran agama yg wajib diperjuangkan dimanapun dan kapanpun. Namun berkampanye untuk pilih paslon ini, partai itu, atau caleg ini-itu di rumah ibadah harus dicegah.
— Lukman H. Saifuddin (@lukmansaifuddin) April 22, 2018
Kata beliau, “Politik substantif seperti tegakkan keadilan dan kejujuran, penuhi hak dasar manusia, cegah kemunkaran dan lain-lain adalah ajaran agama yang wajib diperjuangkan di manapun dan kapan pun. Namun berkampanye untuk pilih paslon ini, partai itu, atau caleg ini-itu di rumah ibadah harus dicegah.”
Luhur dan perlu betul kan kicauan beliau ini, bukan?
Rasulullah memang membangun peradaban madani dari mesjid. Rasulullah berpolitik di mesjid, memang benar. Tapi, politik ala Rasulullah itu politik substantif seperti yang dibilang Pak menteri. Dari proses ta’dib di mesjid, Rasulullah mengampanyekan keadilan, kejujuran, hak dasar manusia, toleransi antar manusia dan lain-lain dalam rangka mewujudkan masyarakat yang baldatun tayyibatun warabbun ghafuur.
Anehnya, banyak orang yang merespons cuitan Pak Menteri dengan respons negatif. Lagi-lagi, mereka mengarusutamakan gagasan bahwa Pemerintah anti Islam, Pemerintah menekan gerak umat Islam, Pemerintah zalim kepada umat Islam.
Yang lebih lucu, mereka bilang mereka akan membuat gerakan salat subuh di mesjid agar semakin besar untuk menunjukkan bahwa semakin ditekan, umat Islam akan semakin kuat.
Duh, duh, duh…
Pertama, segala amal ibadah kita saja sebetulnya Allah nggak butuh-butuh amat, melainkan manusia sebagai hamba yang perlu beribadah agar senantiasa mendapat petunjuk yang lurus.
Kedua, ya silakan kalau mau membesarkan gerakan salat subuh berjamaah, tapi sekali lagi, ibadah itu untuk memperoleh keridaan Allah, bukan buat adu kuat.
Ketiga, mbok ya jangan halusinasi terus perihal kondisi umat. Hobi kok merasa mewakili banyak orang dan merasa terancam.
Lagian, sebelum ini, mereka yang meramaikan mesjid adalah orang-orang tua dan orang-orang kampung yang sejak sunyi telah sampai ke masjid. Sejak dulu, ada orang yang memakmurkan mesjid dengan tanpa perlu hiruk pikuk, tidak digaji dan tidak perlu pengakuan. Sejak dulu, banyak orang yang menggunakan masjid sebagai media untuk mengeratkan persaudaraan bermasyarakat, bukan malah mengembus-embuskan permusuhan kepada golongan lain yang tidak sependapat.
Mesjid di kampung saya tinggal di Sleman, Yogyakarta, punya kebijakan yang cukup bagus. Ta’mir mesjid tegas dalam menyeleksi poster yang ditempel di papan pengumuman juga buletin yang beredar ketika salat Jumat. Kata kepala ta’mir, pokoknya yang diutamakan adalah kerukunan bersama.
Masyarakat bukannya tidak beragam. Ketika kerja bakti, saya lihat ibu-ibu mulai dari rambut digelung, kerudung instan pet, kain disampirkan ke bahu, hingga hijab yang panjang sampai ke lutut. Para bapaknya pun beragam, ada yang bertopi, berpeci hitam, berpeci putih, hingga berjubah. Toh, mereka rukun-rukun saja.
Sejak dulu, soal imam salat pun bergantian. Tiap imam punya aturan berbeda dalam salat yang menandakan berbedanya pemahaman agama. Akan tetapi, mereka yang makmum tetap memosisikan diri sebagai makmum yang baik, menghormati imam yang berbeda dan yakin jika Allah tetap akan menerima ibadah mereka.
Tetapi, soal politik-politikan itu, nanti dulu. Apalagi jika politik yang dimaksud adalah politik yang hanya bermaksud memenangkan satu golongan.
Aduh, banyak orang GeeR kalau Allah hanya menyukai golongan mereka saja. Jangan-jangan, tidak ada golongan yang Allah suka, sebab sama saja. Sama-sama tidak berpikir kemaslahatan umat!