“… Masjid kita sekarang isinya anak-anak dan lansia,” kata Pak Panewu (camat) Berbah, Tri Akhmeriyadi, SP, M.Si., dalam sambutannya pada acara pertemuan Takmir yang digelar oleh DMI (Dewan Masjid Indonesia) Berbah beberapa minggu yang lalu.
Pernyataan itu disambut tawa para tamu, yang semuanya adalah pengurus takmir. Seperti tidak ingin terdengar terlalu pesimis, Pak Panewu lalu melanjutkan, “Syukur kalau kelompok remaja yang hilang itu akan kembali ke masjid kalau sudah lansia.”
Dalam sesi dialog, mayoritas takmir membenarkan otokritik dari Pak Panewu tentang isi masjid.
Sejujurnya, mereka juga memiliki keprihatinan yang sama. Tidak sedikit dari mereka yang merasa sudah kehabisan akal mencari cara menarik generasi ini ke masjid. Beberapa tawaran program yang dianggap seksi bagi remaja pernah dicoba, tapi gagal.
Akhirnya banyak takmir yang menyerah sambil mengulang alasan klise bahwa masa-masa remaja mungkin sedang banyak kesibukan.
Ada yang waktunya habis di sekolah, di tempat kerja, atau tempat bermain. Bisa juga karena mereka tidak menemukan teman dan kenyamanan di tempat ibadah. Masjid kemudian hanya diisi oleh mereka yang relatif tidak terlalu banyak kesibukan, seperti para lansia dan anak-anak.
Absennya kelompok remaja dari masjid disadari oleh para takmir sebagai kehilangan besar. Proses regenerasi macet.
Padahal mereka adalah kelompok potensial yang diharapkan terlibat aktif untuk memakmurkan masjid.
Ide-ide kreatif dan semangat muda mereka bisa menjadi motor untuk menggiatkan program-program kerja takmir masjid.
Mengfungsikan masjid sebagai pusat kegiatan umat, sebagaimana zaman Nabi saw. dan sahabat, merupakan gagasan ideal yang diimpikan banyak orang.
Pada masa-masa itu masjid menjadi sental bagi pembangunan umat. Selain sebagai tempat bagi ibadah formal, pendidikan, masjid juga menjadi markas besar pemerintahan.
Karena itu, rumah para pemimpin umat seperti amir, gubernur atau panglima selalu dibangun berdekatan dengan masjid. Itu terjadi di semua wilayah Islam seperti Madinah, Suriah, Basrah, Mesir, dan lainnya.
Pergeseran fungsi masjid kemudian terjadi. Menurut Prof. Harun Nasution, pergeseran itu bermula dari masa Bani Abbasiyah. Para Khalifah dinasti itu mulai membangun istana sebagai pusat pemerintahan. Politik dan agama mulai terpisah.
Masjid hanya menjadi tempat bagi pendidikan dan ibadah. Di hari-hari tertentu ia digunakan sebagai tempat para pemimpin menyampaikan informasi penting
Kenyataan itu terus berlanjut hingga era yang biasa dikenal dengan era modern. Spesialisasi di berbagai bidang di era ini kemudian melengkapi perpisahan tersebut.
Setiap bidang memiliki tempat kegiatan sendiri: pemerintahan, pendidikan, pengadilan, militer, kesehatan dan lainnya.
Fungsi masjid sebagai Jami’ (tempat berkumpul) hanya terjadi pada momen Salat Jumat, salat dua hari raya atau ketika ada perayaan hari besar Islam. Selebihnya, masjid ‘hanya’ menjadi tempat salat, dan kajian kerohanian/spiritual.
Menyusutnya fungsi masjid ini bisa jadi merupakan salah satu faktor ketidakhadiran kelompok remaja di masjid. Kebutuhan spiritual belum begitu mereka rasakan layaknya golongan lansia.
Masjid juga dirasakan bukan tempat yang kondusif untuk mengaktualkan potensi dan minat mereka.
Karena itu, untuk menarik kelompok remaja ke masjid diperlukan strategi yang kreatif. Takmir tidak cukup hanya menawarkan program tapi juga memberikan kesempatan, kepercayaan, dan kewenangan kepada kelompok remaja untuk mengambil inisiatif dalam menciptakan program kerja di masjid.
Dari media sosial kita bisa tahu ada banyak masjid yang dikelola remaja menjadi masjid yang kreatif dan makmur. Mereka bisa menarik kelompok remaja untuk datang dan meramaikannya.
Di Yogyakarta, misalnya ada Masjid Jendral Sudirman dengan kajian-kajian rutinnya tentang filsafat dan tasawuf. Ada juga Masjid Pemuda Peradaban di Bantul dengan program-programnya yang inovatif. Di Surabaya ada juga Masjid Pemuda Indonesia yang juga menarik.
Selain memberi kepercayaan dan kewenangan kepada remaja untuk terlibat aktif, takmir juga harus bersedia membuka diri untuk terus belajar mengelola masjid secara profesional, sehingga aspek idarah (perencanaan, pengorganisasian, pengadministrasian), imarah (kegiatan-kegiatan keagamaan), dan riayah (pemeliharaan, pelayanan, dan penyediaan fasilitas sesuai kebutuhan) dapat dijalankan secara optimal.
Tentu saja, semua upaya itu harus dilakukan secara bersama-sama.
Pemerintah perlu memberikan dukungan dan fasilitasi, Takmir dan jamaah juga harus berintrospeksi. Dengan begitu secara perlahan kita bisa merangkul kelompok remaja ke masjid, membangun masjid bersama mereka tanpa harus menunggu mereka memasuki usia lansia.***