Islam merupakan salah satu dari beberapa agama yang memiliki ajaran yang humanis. Islam selalu memberikan pemahaman-pemahaman yang santun dan tidak merasa benar sendiri. Selain memberikan penanaman moral yang santun juga memberikan gambaran bahwa berislam itu tidak pententang-pententengan. Kemunculan rasa ketakutan dalam melihat islam itu sendiri selalu digambarkan atas stigma-stigma negatif.
Selalu begitu, ketika ada dalam permukaan muncul beberapa kelompok yang tiba-tiba mengatasnamakan umat islam dan sok islami ketika membela kepentingan. Munculnya perasaan sok islami dan merasa benar sendiri dalam berislam ini merupakan permasalahan psikologis dalam beragama. Hal semacam ini di perkeruh dengan keadaan beberapa kelompok yang memberikan wadah bagi orang-orang yang memiliki perasaan seperti ini.
Kegagapan psikologis dalam beragama ini menjadi hal yang tidak semestinya ada bagi seorang yang beragama. Islam sendiri tidak mengajarkan kepada penganutnya untuk menjadi diri yang sok suci, sok islami. Justru malah islam memberikan pengajaran terhadap semua penganutnya untuk mengenal sikap tawadlu atau selalu mengambil jalan tengah.
Implikasinya dalam berislam kita tidak merasa sombong dalam memperlihatkan cara berislam kita. Namun terkadang, banyak kelompok yang ada di Indonesia ini memiliki sikap atau narasi egosentris dalam berislam. Sikap egosentrisme ini banyak dilegitimasi oleh beberapa kelompok yang tidak bertanggung jawab. Dalam artian,menggunakan islam sebagai tameng dalam berislam dan perilakunya tidak menggambarkan dalam berislam.
Kelompok-kelompok itu tidak lain adalah yang selalu membenarkan dirinya dan selalu mendiskriditkan orang lain. Fenomena yang demikian ini banyak terjadi di Indonesia, kemunculan ini dapat diartikan sebagai sentimen beragama. Munculnya setimen beragama ini menjadi kunci munculnya stereotype tentang beragama islam itu agama marah, tidak ramah.
Kemunculan ketakutan semacam ini banyak direproduksi oleh berbagai kelompok yang memiliki banyak kepentingan. Kepentingan ini selalu mencerminkan narasi-narasi yang keras dan kaku tidak menerima masukan dari luar kelompok. Kaitannya dalam kajian psikologis yang terjadi adalah adanya favouritisme group yang cenderung menjadi kekuatan dalam narasi kelompok.
Model narasi kelompok yang demikian ini seringkali membuat kekacauan dalam berislam di tengah masyarakat era milenial saat ini. Mungkin jika kita meniliki pemikiran narasi berislam Gus Dur (2006) dalam bukunya Islamku, Islam Anda, Islam Kita : Agama Masyarakat Negara Demokrasi menjadi titik tekan gus dur dalam berislam secara substansif itu tidak bisa diukur dengan ayat-ayat, akan tetapi bisa melalui menembuhkan kepedulian kita terhadap masa depan Islam.
Jika kita bisa membayangkan beberapa kelompok-kelompok arogan, ekstrimis menguasai di Indonesia, bagaimana dengan masa depan islam Indonesia yang selama ini menjadi rumah Islam ramah. Sudah seharusnya kita belajar berislam yang ramah, tidak kaku, dan tidak petentang-petentengan dengan Gus Dur.
Greg Barton (2002) melalui buku sekaligus penelitiannya yang berjudul Biografi Gus Dur : The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid meneguhkan diri sebagai seorang Gus Dur yang senantiasa melakukan pembaruan dengan tetap berpijak sekaligus mendayagunakan khazanah intelektual Islam tradisional yang ada. Hal ini yang menjadi pegangan dalam memperkenalkan Islam di belahan dunia.
Corak berislam yang disajikan Gus Dur ini pun cenderung tidak kaku dan tidak aneh-aneh. Jika kita membaca lebih jauh tentang sumbangsih pemikiran Gus Dur terkait pribumisasi islam ini ada beberapa hal yang menjadi corak tersendiri dalam memberikan pemahaman kepada kita dalam berislam. Pertama, berislam tentu saja berpegang teguh dengan akhlak rasulullah. Kedua, pandangan islam masa depan yang diajarkan Gus Dur mengajarkan untuk selalu peduli dengan para mustadzaffin, dan faki, miskin. Yang Ketiga, sekaligus menjadi refleksi masa depan islam untuk selalu menerima perbedaan yang secara sunatullah tercipta di dunia.
Melihat Indonesia kedepan, tentu saja memiliki kesempatan untuk menjadi rumah masa depan islam ramah dengan berbagai hal-hal yang khas dalam berislam ala Indonesia. Dengan memperbanyak narasi Islam ramah ini sangat perlu sekali dengan sekaligus menyebarkan gagasan-gagasan tokoh islam yang memiliki pemikiran prularisme dan toleransi dalam hidup berislam. Wallahu’alam bis showab.
Arief Azizy, penulis adalah pegiat di Islami Institute Jogja.