Jika Idul Fitri identik dengan kaleng biskuit yang isinya entah biskuit beneran atau rengginang, maka tidak berlebihan kalau saya bilang iklan sirup identik sebagai penanda datangnya Ramadhan. No debate.
Ini serius, lho. Dilansir dari Tirto.id, nilai iklan satu merek sirup ada di posisi kedua nilai iklan terbesar bulan Ramadhan di Indonesia. Kemunculannya di televisi pun tidak main-main. Di tahun 2016 saja, iklan sirup ini menyapa pemirsa sebanyak 6.712 kali sebulan sebelum dan setelah Ramadhan.
Data tersebut menunjukkan, iklan sirup punya potensi menjadi pilihan metode paling jitu dalam menentukan masuknya bulan Ramadhan. Bukan Hisabnya Muhammadiyah, bukan pula Rukyatul Hilal ala NU: tapi dengan iklan sirup. Biar saja negara memutuskan tanggal 1 Ramadhan lewat Sidang Isbat Kementerian Agama. Patokan datangnya Ramadhan buat Muslim garis maksiat dikit-dikit kayak kita, ya biarlah lewat iklan sirup.
Tapi ini jadi masalah. Sejak kapan Ramadhan kita identik dengan iklan?!
Tidak hanya iklan sirup, sebenarnya. Komoditas industri sudah mencontohkan dengan baik bagaimana cara menyambut bulan menahan diri dengan iklan-iklan yang tidak terkendali.
Dimulai dari sahur dengan minuman energi yang merasa perlu hadir dengan rasa kurma, supaya kuat beraktivitas sepanjang hari di bulan Ramadhan. Iya, harus kurma. Sunnah, you know..
Beranjak ke siang hari, problem bau mulut saat puasa jadi narasi iklan supaya kita tidak lupa beli obat kumur. Buat para sister fillah, merek-merek shampoo tiba-tiba jadi relevan untuk rambut yang tertutup kain hijab supaya tidak apek dan lepek.
Dan nanti di saat berbuka, sudah tersaji kopi sachet yang menjamin aman untuk lambung orang berpuasa. Dibintangi oleh ustadz kondang pula. Jangan lupa pula serbuan promo busana Muslim, atau restoran makanan cepat saji dengan paket-paket khas Ramadhan.
Mall-mall sebagai kantong duniawi tidak mau kalah. Politik suara dibunyikan. Maher Zain, Nissa Sabyan, atau Opick jadi langganan soundtrack Ramadhan. Sesekali diselingi lagu religi dari band atau artis ternama. Sepanjang waktu, selama bulan Ramadhan, bisa dipastikan lantunan kasidah berbisik di telinga. Membawa kita seolah mengalami nuansa ukhrawi di tempat yang sesungguhnya duniawi. Kurang afdhal apa tradisi menyambut Ramadhan semacam ini?
Saking afdhalnya saya jadi tidak mengerti. Ramadhan – yang notabene waktu menahan diri dari segala godaan – malah jadi momen untuk kampanye berlomba-lomba membeli.
Melihat segala fenomena ini, sebagai orang yang pernah tidak lulus mata kuliah Pengantar Sejarah Peradaban Islam, boleh lah saya berpendapat, peradaban Islam kita sudah bergerak ke arah yang menggelikan.
Betapa tidak. Masyarakat Muslim terdahulu sebenarnya sudah mencontohkan cara menyambut Ramadhan dengan cara yang indah, meriah dan beradab. Dilaksanakan secara kolosal demi syiar Islam kepada para warga.
Misalnya di kampung halaman saya di Kendal, yang menyambut datangnya Ramadhan dengan tradisi Dugderan. Menyenangkan sekali melihat anak-anak, santri-santri TPQ dan Madrasah berdandan segala rupa ikut karnaval keliling desa layaknya Tujuhbelasan. Dimeriahkan juga dengan lomba rebana dan pukulan bedug bertalu-talu. Dug Dug Darrr! Begitulah disebut Dugderan.
Atau tradisi Nyadran, yang bagi orang kota lebih familiar dengan bahasa Nyekar. Sebuah ritual sejenak pulang ke kampung (pulang kampung atau mudik, sih? Hehe), membersihkan makam leluhur, mengingat bahwa kita juga akan punya rumah masa depan kelak. Sambil mendoakan supaya alam kubur mereka lapang dan terang benderang. Soal sampai atau tidaknya doa, itu keyakinan sendiri-sendiri.
Atau Padusan, Siraman atau di sebagian tempat di Jawa Barat menyebutnya Keramasan. Artinya apa? Ini Ramadhan bulan suci. Selayaknya masjid, ketika mau masuk bulan Ramadhan, sudah sepantasnya membersihkan jasmani, sebelum membersihkan batin keesokan hari. Dalam skala kecil pun merupakan hal lumrah. Bebersih baju, atau sekadar membersihkan sajadah, sarung dan mukena di rumah adalah ritual yang perlu dilakukan sebagai bagian dari rasa gembira menyambut bulan suci. Apalagi bagi mereka yang mukena atau sajadahnya hanya dipakai menjelang Ramadhan.
Menjadi ironis, ketika kearifan tradisi masyarakat Muslim kita yang penuh dengan simbolisme nilai dan ajaran keluhuran itu, justru acapkali menjadi sasaran ego sebagian kelompok dengan dalih bahwa tradisi itu sudah tercemar dan bukan Islam yang ‘asli’. Sementara kemeriahan yang dekoratif-artifisial justru langgeng, dirayakan sedemikian rupa sebagai ritual yang lumrah saat Ramadhan.
Namun, Ramadhan tahun ini berbeda.
Untuk pertama kalinya, kita menyambut Ramadhan tidak dengan pergi ke Mall untuk mukena atau baju koko baru. Tidak pula dengan berramai-ramai ke restoran cepat saji untuk makan-makan sepuasnya demi konten “Closingan” sebelum esok hari berlapar-lapar untuk pertama kalinya. Tidak beli ini beli itu sekenanya.
Situasi Ramadhan di tengah pandemi covid-19 ini menyampaikan pesannya sendiri di depan mata kepala kita. Dalam situasi yang tidak tahu kapan akan membaik, kebutuhan pokok benar-benar menjadi pokok dan berarti. Untuk sekadar bertahan saja banyak dari kita yang masih kesulitan. Apalagi ingin membeli ini-itu demi kesenangan, rasanya kurang bijak mengingat tetangga kita tak punya cukup beras sampai bulan depan.
Kemeriahan Ramadhan yang serba berbarengan terpaksa harus kita tunda dahulu, demi kemaslahatan bersama. Banyak waktu kita habiskan di rumah, di ruang-ruang sepi yang ramai dengan renungan dan muhasabah atas apa yang menimpa manusia. Mengajak kita berefleksi, betapa manusia tak berdaya ketika dihantam balik oleh makhluk hidup bernama kuman dan bakteri. Besar Kuasa-Nya, justru kita rasakan dari mekhluk yang sangat kecil.
Iklan sirup tetap meriah di televisi, tapi kenyataan memaksa kita untuk melihat segala sesuatu dari sudut yang berbeda. Dan mungkin kita sedang diajari cara menyambut Ramadhan dengan sebenar-benarnya.
Marhaban yaa iklan-iklan. Marhaban yaa Ramadhan.