Saya pernah mengantar (almarhum) guru keliling pakai sepeda motor supra-x yang knalpotnya blong memekakkan telinga. Alhamdulillah, beliau enjoy saja. Hingga setelah mengisi bensin di SPBU, beliau nggak mau naik.
“Kok bensinmu bau amis, Jal?” tanya beliau.
“Wah, lha kok bisa bensin bau amis, Pak?”
“Sebentar, ini tadi kamu beli bensin pakai uang apa?”
Saya nyengir.
“Nganu Pak. Ini tadi uang di amplop pemberian teman saya untuk avisa, dua puluh ribu. Ya saya pinjam dulu buat beli bensin…”
Raut muka beliau serius. Tampak mendengus.
“Amis, Jal. Itu uang buat anakmu, kok kamu pakai buat beli bensin motormu. ITU BUKAN HAKMU. Amis, amis, Jal. Aku emoh numpak sepeda motormu iki. Nggak betah ambune.”
Aduh, kena! Mateng aku!
Saya ngalah. Saya kosongkan tangki supra-x, lalu saya beli bensin lagi memakai uang halal milik saya, bukan uang milik avisa [^_^].
Setelah itu, brummm bruuuum, guru saya senyum-senyum saya antar ke Makam Sunan Ampel. Itu pertemuan terakhir sebelum beliau kundur ke ngarsanipun Gusti Allah, awal 2012.
(Status fesbuk saya, 1 Mei 2015)
—-
Bagi beberapa orang spesial, menjaga asupan makanan yang berkualitas sangat penting. Berkualitas di sini adalah tinjauan ruhani. Jangan sampai ada barang syubhat, apalagi haram, masuk ke dalam tubuh yang dipakai beribadah. Baik haram secara dzat(i) seperti babi dan makanan-minuman yang diharamkan Allah, maupun haram sabab(i), yaitu sesuatu yang haram karena penyebabnya. Misalnya, harta hasil korupsi, pungli, hasil mencuri yang digunakan untuk membeli makanan-minuman dan berbagai barang lainnya.
Makanan yang tidak jelas kehalalannya, baik sifat maupun proses pengolahannya, akan mempengaruhi jiwa seseorang. Kemalasan beribadah, keengganan berdzikir, dan keogahan melakukan amal salih antara lain karena mungkin kita sengaja atau tidak sengaja memakan makanan yang halal tapi tidak diproses secara halal maupun halal bercampur dengan yang syubhat maupun haram. (Nah, ini yang sulit bagi penikmat kuliner kayak saya qiqiqiqi)
Beberapa ulama yang zuhud sengaja dengan ketat membatasi agar keluarganya tetap medapatkan asupan makanan halal. Misalnya, Habib Munzir bin Fuad Al Musawa. Beliau memilih membeli kambing dan ayam hidup lalu disembelih sendiri dengan cara Islam. Sebab kalau beli di luar, meskipun yakin halal, namun tetap khawatir apabila tidak disembelih dengan cara Islami. Habib Mundzir khawatir apabila sembarangan membeli daging, akan mempengaruhi kekhusyukan beribadahnya dan mempengaruhi pertumbuhan kesalehan putra putri beliau.
Ulama lain, Mbah KH. Maimoen Zubair, juga sangat berhati hati mengenai makanan. Kalau makanan buat keluarga, beliau memakan dari harta yang dihasilkan oleh tanah pertanian beliau. Kalau untuk kebutuhan pondok dari beberapa amplop dari orangtua santri. Kalau untuk aktivitas politik maka beliau menggunakan uang pemberian politisi/amplop sangu. Demikian juga saat beraktivitas di NU, beliau menggunakan dana pribadi. Bahkan, pernah ketika beliau diundang untuk hadir di acara politik di Jakarta, beliau memilih memproses makanan sendiri di kamar hotel, karena sejak awal sudah membawa ricecooker sendiri, beras, dan beberapa lauk yang diawetkan. Almaghfurlah KH. Abdullah Faqih, Langitan, juga mengatur keuangan untuk keluarga, pondok, dan aktivitas politik beliau dengan cara memilih dan memilah keuangan agar tidak bercampur antara hak keluarga, pondok dan umat.
Di masa yang agak lama, ada KH. Adlan Aly, Cukir, Jombang. Ketajaman mata batin beliau, antara lain, dikarenakan kehati-hatian beliau dalam mengelola harta dan menjaga asupan makanan. Di tahun 1970-an hingga satu dekade berikutnya, seusai rapat di Kantor PWNU Jatim di Darmo, Surabaya, beliau paling ogah mampir ke warung maupun restoran. Semata-mata kehati-hatian beliau mengenai asupan makanan. Benar-benar menerapkan prinsip halalan thayyibah. Ya halal, ya baik pula. Jangan heran jika di usia senjanya, beliau mampu menyimak hafalan al-Qur’an para santrinya secara bersamaan. Beliau duduk dikelilingi 5-7 orang santri yang masing-masing membacakan hafalannya, dan dalam kondisi suara bacaan yang saling bersahutan, beliau mampu mencermati bacaan santrinya yang salah sekaligus membenarkannya. Telinga yang cermat, pikiran yang segar ditunjang dengan ketajaman mata batin dan ketelitian rasa. Luar biasa.
Dalam “Secercah Tinta: Jalinan Cinta Seorang Hamba dengan Sang Pencipta”, Habib Lutfi bin Yahya, Pekalongan, mengisahkan hikayat Kiai Su’bi, Taman, Pemalang, yang datang ke kediaman Habib Hasyim (kakek Habib Lutfi). Karena Habib Hasyim masih mengajar, maka Kiai Su’bi menunggu di ruang tamu ditemani Muhammad Bakusyer, abdi ndalem Habib Hasyim. Waktu dipersilahkan meminum minuman yang telah disuguhkan, tiba-tiba tangan Kiai Su’bi lumpuh. Tak bisa digerakkan. Hal ini terus berlangsung sampai Habib Hasyim yang melihat keganjilan ini menanyai Muhammad Bakusyer, “Beli gula di mana?”
“Di warungnya Mbah Yah,”
“Sudah ijab kabul belum?”
“Belum.”
“Ayo kamu lekas kembali ke warung!” Habib Hasyim menyuruh.
Setelah sampai di toko, ditanya sama pemiliknya yang keturunan Tionghoa. “Ada apa Muh?”
“Tadi saya membeli gula di sini, belum akad serah terima. Sekarang saya katakan saya serahkan uangnya. Saya beli ya!”
“Ya, saya jual.” kata pemilik toko.
Saat Muhammad pulang, minuman yang disuguhkan kepada Kiai Su’bi sudah habis. Tangannya sudah mau digunakan untuk mengangkat gelas. Sudah halal. Bagi sebagian orang, ini adalah peristiwa sepele, soal akad bertransaksi. Akad serah terima penjualan. Namun bagi mereka yang sudah derajatnya Kekasih-Nya, soal akad harus jelas, ada unsur kerelaan, yang merupakan kerelaan hati, bukan semata dzahirus syar’i. Para ulama wira’i yang asketis, karena kejernihan mata batinnya, punya semacam detektor apabila ada barang syubhat bahkan haram di hadapannya, tubuhnya akan bereaksi. Bahkan ada alergi barang-barang yang “nggak jelas statusnya”. Semacam detektor logam di bandara yang berbunyi saat ada logam besi di hadapannya. Hehehe. Dan, kemampuan ilahiah semacam ini adalah karamah yang dianugerahkan oleh Allah kepada hamba-Nya yang secara konsisten (istiqamah) menjaga kedisiplinannya dalam bertaqarrub kepada-Nya.
Guru saya, yang saya kisahkan di awal tulisan, juga sama. “Penciuman”-nya tajam. Dan, kejadian di atas adalah buktinya. Beliau tidak menikah hingga akhir hayatnya. Pakaiannya biasa saja, demikian pula dengan penampilannya. Agak awut-awutan. Namun soal riyadlah dan ibadah, jangan tanya, beliau jempolan. Kadangkala, ketika menjumpainya, saya jadi ingat salah satu sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
رُبَّ أَشْعَثَ ذِيْ طِمْرَيْنِ، مَدْفُوْعٌ بِاْلأَبْوَابِ، لَوْ أَقْسَمَ عَلَى اللهِ َلأَبَرَّهُ.
Bisa jadi orang yang rambutnya kusut, berdebu, punya dua pakaian lusuh, dan pintu-pintu tertutup baginya, namun jika dia berdoa kepada Allah, Dia pasti mengabulkannya.
Lantas bagaimana dengan hamba-Nya yang ibadahnya masih amburadul dan saat beribadah pikirannya ngelantur ke sana ke mari, dan belum merasakan nikmatnya beribadah, seperti kita, eh saya, ini? Kalau menempuh jalan manusia-manusia spesial seperti orang-orang di atas, tampaknya malah pontang-panting kewalahan.
Tapi, tidak apa apa, minimal dengan rajutan cerita di atas kita bisa mematut diri di hadapan keegoan kita, bahwa kita tidak ada apa apanya di banding mereka dalam hal apapun. Rasanya, nggak pantas koar koar ke sana kemari dan mendaku diri sebagai “Pengikut Rasulullah” sedangkan menapakjejak “para pewaris Nabi” seperti hamba-hambaNya di atas dengan berbagai lelakunya, kita, eh saya, masih merasa berat.
Bagaimana, sahabat Jarjit, adakah solusi yang tepat agar bisa berhati-hati seperti manusia manusia keren di atas?
Wallahu A’lam Bisshawab