Bagi sebagian intelektual Muslim modern, nama Fazlur Rahman mungkin sudah tidak asing lagi. Karya-karyanya baik dalam bidang pemikiran Islam maupun Al-Quran telah menjadi rujukan utama di universitas-universitas terkemuka. Satu dari sekian karyanya yang kini menjadi klasik namun tetap digunakan sebagai rujukan banyak sarjana adalah Major Themes Of The Quran atau Tema-Tema Pokok Al-Quran, karya yang ia persembahkan untuk Sang Istri.
Rahman, dalam Major Themes Of The Quran menghidangkan sekurang-kurangnya delapan tema pokok pembahasan. Dua di antaranya berkaitan dengan manusia. Manusia sebagai individu dan manusia dalam masyarakat. Kedua pembahasan itu secara terpisah masing-masing menempati bab kedua dan ketiga.
Bagi Rahman, manusia adalah ciptaan Tuhan sebagaimana juga ciptaan-Nya yang lain. Manusia adalah makhluk alam, karena Tuhan menciptakan Adam dari alam, yakni tanah yang dibentuk (15:26, 28, 33; 6:2; 7:12, dan lain-lain), yang, setelah terbentuk menjadi manusia, menghasilkan air mani, sulalah. Ketika dimasukkan ke dalam rahim, air mani mengalami proses penciptaan (23: 12-24; 32:8). Namun, manusia berbeda dari makhluk lain karena Tuhan “meniupkan ruh-Nya sendiri” (15:29; 38:72; 32:9).
Ketika Tuhan hendak menciptakan Adam dalam rangka membangun “khalifah di atas bumi”, para malaikat mempertanyakannya, seraya berkata, “Mengapa Engkau hendak menjadikan khalifah di bumi orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih memuji Engkau dan menyucikan Engkau?” Tuhan pun tidak menampik keberatan mereka atas manusia, tetapi menjawab, “Aku mengetahui apa yang kamu tidak ketahui”.
Tuhan kemudian mengadakan kompetisi pengetahuan antara para malaikat dan Adam dengan menanyakan kepada malaikat terlebih dulu nama-nama benda (menjelaskan karakteristiknya). Malaikat tidak mampu menjawab dan Adam bisa.
Menurut Rahman, ini menunjukan bahwa Adam memiliki kapasitas pengetahuan kreatif yang tidak dimiliki para malaikat. Karena itu, semua malaikat mengakui kelebihan Adam dalam hal pengetahuan, kecuali satu makhluk yang Al-Quran gambarkan sebagai salah satu dari bangsa jin (18:50). Ia menyombongkan kelebihan dirinya atas Adam, mendurhakai perintah Tuhan untuk bersujud kepada Adam, dan kemudian menjadi setan.
Sejak itu, setan mulai menjalani pekerjaannya menggoda Adam; keduanya hidup segenerasi. Al-Quran secara konsisten tidak banyak menyebut setan sebagai prinsip anti-Tuhan (meski ia jelas menentang perintah Tuhan, dan tentu memersonifikasi karakteristik kedurhakaan ini), tetapi lebih sering menyebutnya sebagai kekuatan anti-manusia, yang secara terus-menerus menyeret manusia dari jalan fitrahnya yang kurus ke perilaku menyimpang.
Menurut Rahman, inilah fakta moral penting yang menjadi tantangan abadi bagi manusia, dan sebab itu, manusia memaknai hidupnya sebagai perjuangan moral tiada akhir.
Tuhan bersama manusia dalam perjuangan ini, “asalkan manusia berusaha sebagaimana mestinya.” Manusia dibebani tugas ini karena ia adalah unik dalam tatanan mahkluk, setelah dianugerahi kebebasan dalam rangka mengemban misinya sebagai khalifah Tuhan. Inilah misinya – berusaha menciptakan tatanan sosial yang bermoral di muka bumi – yang Alquran (33:72) deskripsikan sebagai “amanah”.
Menurut Rahman, inilah tawaran yang diterima manusia, yang disebut Al-Quran secara halus sebagai “menzalimi diri sendiri dan bersikap bodoh (zhalum dan jahul)” – karena manusia “belum memenuhi perintah Allah” (80:23).
Pada saat yang sama, sebagaimana dikatakan Rahman, perlu dicatat bahwa meskipun setan “mengadang manusia dari segala sisi”, godaan mereka gagal menghadapi manusia yang ikhlas. Manusia semacam itu, kata Rahman, adalah yang terbaik dari seluruh makhluk, bahkan mengungguli para malaikat dalam hal pengetahuan dan kesalehan. Merekalah yang sepenuhnya menyadari bahwa manusia “tidak diciptakan hanya dengan main-main”, namun dengan serius (23:115).
Menurut Rahman, sumber masalah atas kemanusiaan sejauh ini adalah bahwa kebanyakan manusia menolak untuk “melihat jauh ke depan (al-aqibat)” dan “tidak mempersiapkan perbekalan untuk hari esok”. Yakni, mereka mengabaikan – bahkan tidak memahami atau berusaha memahami – tujuan moral jangka panjang dari perbuatannya.
Mereka sekedar, kata Rahman, menjalani kehidupan dari hari ke hari, dari saat ke saat. Sifat-sifat hakiki (fitrah) mereka telah rusak nyaris tanpa mereka sadari. Mereka berubah menjadi “temen-teman setan” (17:27) setelah Tuhan meniupkan ruh-Nya kepada Adam (15:29; 32:9; 38:72; lihat juga 95:4-6).
Al-Quran tidak menyatakan bahwa Tuhan secara sewenang-wenang menutup hati manusia. Alih-alih, Al-Quran biasanya menyatakan bahwa Tuhan menutup hati manusia akibat ulah manusia itu sendiri (“lantaran kesesatan mereka” [6:110; 2:88]; “lantaran kefasikan mereka” [2:59; 6:49], dan frasa-frasa serupa dalam Alquran).
Menurut Rahman, Al-Quran sering berbicara seolah-olah manusia memilih, secara sadar, jalan bagi dirinya yang benar atau salah, sedangkan Tuhan hanya menilai berdasarkan perbuatannya itu (misalnya, 53:39-40; 76:3; 90:10 dan seterusnya; 91:7-10). Bahkan Al-Quran lebih sering menyatakan bahwa ketika manusia mengambil suatu jalan, Tuhan meneguhkan pikihannya itu (9:5-10).
Gagasan yang terkandung dalam ayat-ayat tentang penutupan hati manusia menurut Rahman tampaknya menyangkut hukum psikologis. Yakni, begitu seseorang berbuat baik atau buruk, maka peluang untuk mengulangi hal sejenisnya meningkat dan peluang melakukan hal sebaliknya menurun. Dengan melakukan hal baik atau buruk secara terus-menerus, seseorang hampir mustahil melakukan hal yang sebaliknya, bahkan sedekar untuk memikirkannya.
Namun, dalam kegaulan yang seperti itu, Rahman mengajukan pertanyaan, bagaimana atau mengapa seorang manusia mengambil jalan tersebut? Bagaimana dia memilih untuk mendekatkan diri kepada Tuhan atau berpaling dari-Nya?
Menurut Rahman, manusia tampaknya mudah untuk menjadi orang yang picik, individualis, tenggelam dalan banalitas hidup sehari-hari, dan budak dari hawa nafsu.
Akan tetapi, hal itu terjadi bukan karena hal-hal tersebut bersifat “alami” (fitri) baginya – karena fitrah manusia bersifat mulia – tetapi karena “tarikan gravitasi ke arah dunia”, dalam bahasa Al-Quran adalah jauh lebih mudah daripada pendakian menuju luncak kesucian. Oleh karena itulah, peran Tuhan, bantuan-Nya, dan dukungan-Nya pada kasus ini sangatlah krusial.
Menurut Rahman, tak seorang pun bisa mengaku, “Saya akan menjadi baik” dan secara otomatis menjadi seperti itu. Dia harus berjuang, dan dalam perjuangan ini, Tuhan adalah mitra yang aktif merespon. Namun, Tuhan tidak bisa dipandang begitu sehingga seolah-olah kebersamaan dengan-Nya adalah sesuatu yang otomatis; ini berhubungam erat dengan kualitas dan kuantitas perjuangan manusia, dan ini hampir bisa dipandang semata-mata sebagai wujud kasih sayang Tuhan.
Wallahu A’lam.