Tidak saya duga, tulisan saya yang berjudul “Nada, Pulanglah! Di Sini ada Cinta Untukmu” menimbulkan reaksi yang luar biasa. Tulisan singkat itu memantik diskusi hangat di beberapa grup WA yang saya ikuti. Bahkan beberapa orang menyempatkan diri untuk japri saya. Responnya beragam, namun secara umum mereka tidak setuju. Ada juga yang menganggap saya naif karena begitu mudah termakan propaganda BBC.
Tulisan ini saya maksudkan untuk klarifikasi. Tapi sebelumnya saya ingin menunjukkan posisi saya terkait dengan ide memulangkan eks-WNI yang bergabung dengan ISIS. Saya sepenuhnya setuju dengan pendapat yang menyatakan bahwa eks-WNI yang bergabung dengan ISIS tidak seharusnya diterima kembali di Indonesia. Setidaknya, ada tiga alasan:
Pertama, alasan hukum. Berdasarkan UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, dinyatakan bahwa warga Negara Indonesia kehilangan kewarganegaraannya jika yang bersangkutan: huruf a). Memperoleh kewarganegaraan lain atas kemauannya sendiri; huruf d). Masuk dalam dinas tentara asing tanpa izin terlebih dahulu dari Presiden; huruf f). Secara sukarela mengangkat sumpah atau menyatakan janji setia kepada negara asing atau bagian dari negara asing tersebut; dan huruf h). Mempunyai paspor atau surat yang bersifat paspor dari negara asing atau surat yang dapat diartikan sebagai tanda kewarganegaraan yang masih berlaku dari negara lain atas namanya.
Berdasarkan undang-undang tersebut, maka mereka tidak bisa dipulangkan karena status kewarganeraan Indonesia mereka telah hilang. Mereka telah menjadi warga ISIS atas kemauan sendiri; menjadi tentara ISIS, dan mengangkat sumpah setia kepada ISIS.
Kedua, alasan keamanan. Mereka yang bergabung dengan ISIS pada dasarnya setuju tindakan-tindakan teror. Bahkan, ketika mereka berangkat ke Siria, mereka berniat untuk menjadi bagian dari kegiatan itu, entah menjadi seorang kombatan langsung maupun menempati bagian-bagian lain yang mendukung aksi terorisme. Memulangkan mereka kembali sama halnya membawa teroris untuk melakukan tindakan terori di Indonesia.
Jika anggota ISIS eks-WNI ini dibawa kembali pulang ke Indonesia, kemudian mereka berkoalisis dengan jaringan teror dalam negeri serta didukung oleh para pendukung sistem khilafah, bisa dipastikan Indonesia akan menjadi lahan baru terorisme. Berdasarkan analisis risiko, memulangkan 600 orang anggota ISIS eks-WNI kembali ke Indonesia sama dengan menggelundungkan 260 juta warga negara Indonesia ke dalam kandang pembantaian.
Jika pengandaian ini dianggap terlalu ekstrem, setidaknya, pemulangan mereka akan menguatkan kelompok intoleran-radikal yang selama ini menjadi ancaman serius bagi keamaan bangsa.
Pemerintah sendiri hingga kini kewalahan menghadapi kelompok ini. Apalagi jika mereka semua berkoalisi dan bergerak bersama. Indonesia yang damai hanya akan tinggal kenangan.
Ketiga, alasan ideologi. Mereka yang bergabung dengan ISIS jelas didorong oleh sebuah ideologi yang sangat kuat bahwa: Indonesia adalah taghut yang tidak hanya tidak sah sebagai negara, tapi wajib diperangi. Mereka meyakini bahwa pendirian negara Islam adalah satu-satunya jalan pemenuhan ketaatan terhadap Islam. Jika tidak bisa sekarang, suatu saat Indonesia harus diubah menjadi negara Islam, entah dengan cara apa, pun entah dengan sistem khilafah atau yang lain.
Keinginan mereka untuk pulang ke Indonesia tidak ada sangkut pautnya dengan perubahan ideologi, tapi semata-mata karena ISIS sedang mengalami kekalahan dan kebangkrutan. Seandainya ISIS menang, mereka akan merayakannya dengan penuh kebanggaan. Jadi keinginan pulang bukan karena cinta terhadap Indonesia, tapi karena kepepet.
Secara ideologis, mereka tetaplah manusia yang sama dengan saat mereka memutuskan berangkan ke Siria. Artinya, membawa mereka pulang ke Indonesia sama halnya dengan berternak teroris di dalam negeri.
Alasan hukum saja sudah membuat mereka seharusnya sudah tidak lagi menjadikan kita semua berdebat apakah mereka bisa balik ke Indonesia atau tidak. Apalagi, ketiga alasan di atas bisa dipastikan melekat pada diri para eks-WNI yang bergabung dengan organisasi teroris ISIS.
Itulah mengapa saya tertawa terbahak-bahak mendengar logika politisi PKS, Mardani Ali sera, mendesak pemerintah agar memulangkan para eks-WNI anggota ISIS dengan menyamakan mereka dengan pemulangan WNI dari Wuhan karena wabah Corona. Rupanya Mardani Ali Sera tidak bisa membedakan antara mereka yang bergabung dengan ISIS dan orang-orang Indonesia yang berangkat ke luar negeri untuk urusan tertentu, sekolah atau bisnis atau pelesir.
Yang pertama berangkat ke Syria untuk menanggalkan status kewarganegaraannya karena Indonesia dianggap sebagai taghut yang harus dimusuhi bahkan dihancurkan, sedang yang kedua adalah WNI yang sedang punya urusan di luar negeri, tanpa ada niat untuk melepas kewarganegaraannya, apalagi memusuhi negaranya sendiri. Bahkan, bisa jadi mereka ke luar negeri untuk urusan pemajuan negara Indonesia, baik langsung maupun tak langsung.
Kepada mereka yang bergabung dengan ISIS karena ingin mendapatkan surga, kini nikmatilah surgamu! Tak usah berharap pulang, karena kami bisa hidup tenang dan damai tanpa kalian. Kalian boleh menganggap Indonesia sebagai taghut, tapi Nusantara ini harus kami rawat dan jaga, karena inilah rumah kami, surga kami.
Lalu, bagaimana dengan Nada Fedullah?