Beberapa hari yang lalu, saya terlibat dalam diskusi ‘panas’ terkait keadilan gender dalam Islam di sebuah group Whatsapp yang digagas oleh Dr. Nur Rofiah, salah satu dosen pasca sarjana Ilmu Tafsir di institut PTIQ Jakarta. Saya sempat berseberangan pendapat secara radikal dengan mayoritas anggota grup diskusi pada saat itu yang berasal dari berbagai latar belakang, sampai saya harus membongkar lagi beberapa buku bacaan saya tentang isu gender dan feminisme yang sedang kami diskusikan.
Cerita di atas menjadi penting untuk saya utarakan dalam tulisan ini bukan karena tema pembahasannya yang menimbulkan pro-kontra, tetapi karena kenyataan kecil yang terselip di dalamnya penting untuk kita sadari bersama bahwa perkembangan teknologi telah sedemikian berkembang dari waktu ke waktu.
Bayangkan, saya yang tengah berada di sebuah pesantren di daerah pesisir ujung timur Jawa Tengah, dapat dengan mudah bertukar pikiran dan beradu argumentasi dengan orang lain dalam skala besar dan berasal dari berbagai latar belakang yang bahkan, saya tidak tau mereka sedang apa ketika membaca komentar saya di group.
Tetapi ini memang bukan hal yang sama sekali baru, toh Whatsapp sudah ada sejak 2009 silam. Hanya saja, dinamika sosial yang terpantik dari kemudahan kita berkomunikasi, kemudahan kita membagi dan memperoleh informasi, patut untuk dilihat sebagai fenomena yang unik sekaligus memprihatinkan, setidaknya bagi kita orang pesantren.
Fenomena keterbukaan informasi membawa dampak positif yang tidak kecil bagi semua lapisan masyarakat. Surplus tersebut tentu berupa possiblity kita untuk menerima informasi sebanyak-banyaknya bertambah besar, apa yang telah saya ceritakan diawal tulisan ini adalah contoh kecilnya.
Kita bisa tahu bahwa di era keterbukaan ini, orang tidak lagi bertanya “Do you speak English, Japanese, or Arabic?”. Kita menjadi tahu bahwa pertanyaan-pertanyaan itu telah lama tidak ditanyakan dan berganti pertanyaan-pertanyaan yg lebih epistemologis seperti “Do you speak gender equality, enviromental ethics, or economic issues?”. Masyarakat tidak lagi mengukur kapasitas seseorang dari seberapa banyak dia menguasai bahasa asing di luar bahasa resmi negaranya sendiri, masyarakat mulai menilai kapasitas seseorang dari seberapa dalam dia tune in dengan ‘bahasa’ global yang tengah menjadi konsentrasi publik.
Sebagai seseorang yang sejak duduk di bangku Madrasah Ibtidaiyah telah bersentuhan dengan tradisi dan perspektif pesantren, tentu saya kaget dengan realitas sosial yang bagi saya merupakan hal baru ini. Kegugupan saya untuk mengerti tentang apa yang sedang dibicarakan, dan kegagapan saya untuk memuntahkan isi kepala sendiri, adalah titik yang membuat saya merasa bahwa keterbukaan informasi semacam ini harus diimbangi dengan keterbukaan pikiran yang memadai.
Tetapi justru saya tidak (atau belum) melihat keterbukaan pikiran semacam itu berkembang di pesantren. Ini bukan masalah teknis apakah pesantren memiliki regulasi yang memperbolehkan santrinya mengakses informasi dari luar atau tidak, ini lebih terkait dengan kesiapan kita sebagai santri untuk membuka pikiran sebagai langkah awal mendialogkan apa yang sebenarnya ada di lingkungan kita, dengan apa yang mereka pikirkan tentang lingkungan ini.
Pesantren sebagai institusi pendidikan agama Islam terbesar di Indonesia diharapkan mampu menghasilkan sumber daya insani yang tidak hanya mampu membaca dan memahami kitab dan literatur klasik khas pesantren saja, tetapi juga diharapkan bisa menerjemahkannya ke dalam ruang lingkup yang lebih besar. Sehingga eksistensi pesantren benar-benar nyata dirasakan. Bagi kita yang menjadi bagian langsung dari pesantren, hal ini menjadi semacam tantang yang harus dijawab.
Ada sebuah kisah menarik dari Prancis tentang seorang pelukis yang sangat terkenal di akhir abad delapan belas. Pelukis itu dikenal karena kemampuannya untuk melukis sesuatu seperti hidup. Sehingga orang-orang Prancis kala itu menyebutnya sebagai seniman yang besar dan tak akan dilupakan. Lalu kemudian kamera ditemukan untuk pertama kali, seketika kemampuan pelukis itu seakan-akan tidak ada apa-apanya. Karena dengan kamera, siapapun bisa membuat gambar sepresisi mungkin dengan aslinya.
Cerita ini sangat menarik bagi saya, karena menggambarkan dengan jelas bagaimana teknologi dapat dengan mudah menggantikan manusia. Lalu apa yang harus kita lakukan? Keputusan seperti apa yang akan kita ambil untuk menghadapi kenyataan semacam ini sebagai orang pesantren?
Per-hari ini kita dapat dengan mudah saling berbagi informasi tentang apa yang sedang kita lihat, apa yang sedang kita makan, dan dimana kita sedang duduk. Saya termasuk pengguna aktif media sosial, salah satunya twitter. Setiap hari timeline saya penuh dengan informasi tentang aktifitas semua orang yang saya ikuti. Tetapi jarang sekali saya melihat teman-teman saya, khususnya yang menjadi bagian dari pesantren, mengajukan pertanyaan-pertanyaan, atau bahkan mencoba menjawab berbagai problem yang tengah hangat di ranah publik, atau setidaknya mengajukan pikiran mereka terkait dengan isu-isu terkini.
Kisah-kisah seperti di atas saya kira penting untuk mengingatkan kita, orang pesantren, untuk tidak hanya menjaga tradisi arif kita, tetapi membuka pikiran terhadap perubahan sekecil apapun. Kita ingin pesantren menjadi basis kuat rujukan umat. Maka kemampuan kita menghadirkan pesantren sebagai sesuatu yang tidak kaku, yang selalu relevan dengan perkembangan zaman, adalah tantangan terbesar kita.
Saya membuka dan mengisi tulisan ini dengan cerita-cerita. Maka saya juga akan menutup tulisan ini dengan satu cerita, atau lebih bisa dibilang sebagai pengalaman pribadi. Saya merampungkan tulisan ini di Jakarta, ketika menghadiri Focus Group Discussion, Sarasehan Pesantren, dan juga Pleno Deklarasi Holding Bisnis Pesantren sebagai bagian dari rangkaian acara dari Indonesia Sharia Economic Festival (ISEF) ke-6 yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia.
Di dalamnya, saya bertemu dengan stakeholder pesantren dari seluruh Indonesia, dan juga orang-orang penting yang memiliki gagasan-gagasan besar tentang pesantren dan ekonominya. Satu yang sangat menarik adalah ketika berdialog dengan CEO dari salah satu perusahaan.
Gagasannya tentang digitalisasi pesantren sangat menarik, meski di satu sisi juga patut untuk dikhawatirkan. Menarik karena terobosan yang ingin dilakukan adalah membuat pesantren sedekat mungkin dengan masyarakat. Mentransformasikan pesantren ke dalam sistem digital yang, di manapun, kapanpun, dan siapapun bias mengaksesnya.
Terobosan seperti di atas sangat penting untuk kita lihat sebagai value yang dapat menjadi pijakan awal untuk menghadirkan pesantren kepada setiap orang lewat teknologi seperti smartphone. Karena hari-hari ini, semua orang dari berbagai kelas sosial rata-rata memiliki akses terhadap internet dan sudah menjadi bagian dari gaya kehidupan sehari-harinya.
Maka pesantren perlu melakukan upaya untuk menjadikan kemajuan teknologi ini sebagai sarana mendekatkan nilai-nilai kepesantrenan. Sehingga tidak hanya santri saja yang memiliki akses langsung, tetapi masyarakat secara luas pun juga bias melakukannya. Dengan ini saya kira pesantren dapat betul-betul dirasakan kehadirannya, dan juga menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat kita.
Sebagaimana pisau, tentu terobosan semacam ini juga memiliki dua sisi yang sama sama tajamnya, dan apabila tidak dijaga dan dikelola dengan benar, bisa menjadi awal tergesernya tradisi arif pesantren yang selama ini dipertahankan oleh para guru, ulama dan sesepuh-sesepuh kita. Maka sangat penting untuk kita menyadari, dan juga membuka pikiran kita terhadap perkembangan semacam ini.
Sehingga suatu saat, gagasan-gagasan besar seperti di atas benar-benar berasal dari orang pesantren sendiri yang mengetahui secara komprehensif tentang pesantren dengan segala kebaikannya. Agar perubahan, terobosan, dan pengembangan pesantren sebagaimana disinggung di atas, benar-benar berasal dari, oleh, dan untuk pesantren.
Wallahu a’lam.
*Diedit dari catatan Habibussalam dengan seizin yang bersangkutan