Pemerintah resmi menetapkan Idul Fitri pada hari Kamis, 13 Mei 2021. Keputusan itu diambil setelah sidang isbat bersama para ahli dan organisasi keagamaan. Tim yang memantau hilal di 34 provinsi tak satu pun melihat hilal.
Meski demikian, di kampungku penyambutan Idul Fitri tampaknya dimulai. Tepat setelah muazin menyelesaikan adzan Magrib, suara petasan terdengar bersahut-sahutan bersama kembang api yang belum terlihat indah karena gelap belum begitu pekat. Meski dirasa boros, pesta kembang api nyatanya menjadi hal yang tak bisa dipisahkan dari perayaan lebaran setiap tahunnya.
Suara petasan dan kembang api kembali menyambut sesaat setelah salat witir selesai ditunaikan. Usai sudah malam tarawih di hari ke-30 ini. Ada perasaan haru karena bisa melalui Ramadhan dengan keadaan sehat walafiat. Ada pula perasaan sedih karena bulan mulia akan segera berlalu.
Puluhan anak-anak terlihat menikmati pertunjukan sederhana itu. Semakin keras suara ledakan, semakin bahagia pula raut wajah mereka. Tentu saja ini baru pembukaan. Remaja masjid tampaknya menyiapkan pesta meriah untuk malam Idul Fitri malam nanti.
Di tengah hiruk pikuk perasaan bahagia, sebuah video yang lewat timeline media sosial menunjukkan kondisi yang memilukan. Jauh di belahan dunia lain suara ledakan jadi momok yang menakutkan. Jika di kampungku kepulan asap kembang api yang pekat ditepuktangani, nun-jauh di sana kepulan asap justru menjadikan nelangsa.
Di tengah kepulan asap itu terdapat mayat-mayat yang berbaring. Ada anak-anak dan perempuan yang tergencet di antara reruntuhan bangunan di Gaza. Ya, Gaza. Palestina. Di berbagai berita disebutkan setidaknya 20 warga Palestina wafat. Allahu yarhamhum.
Peristiwa itu menambah kesedihan malam 27 Ramadhan ketika tentara zionis Israel secara bengis membubarkan ibadah salat Tarawih di Masjid Al-Aqsa, salah satu tempat suci umat Islam. Aksi ini terkait aksi solidaritas yang dilakukan warga Palestina atas penolakan penggusuran di Sheikh Jarrah.
Hari-hari setelahnya kekerasan militer Israel semakin menjadi-jadi. Dalam berbagai tayangan video di media sosial terlihat bagaimana barisan muslim yang tengah salat diiringi rentetan suara tembakan dan ledakan.
Zionis mengklaim apa yang dilakukannya sebagai aksi balas dendam. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyebut bahwa Hamas (salah satu faksi politik di Palestina) telah melewati garis merah dan melontarkan roket ke wilayah Israel. Sebagai balasannya, mereka meluncurkan roket yang membunuh puluhan nyawa.
Benang Kusut
Aku tiba-tiba membayangkan beberapa waktu sebelumnya warga Gaza mendengarkan bunyi yang sama denganku. Suara ledakan dan nyala kembang api. Namun dengan volume yang jauh lebih kuat dan dahsyat. Jika petasan di kampung hanya memecah kertas-kertas yang membungkus mesiu, di Gaza suara itu bisa menghancurkan bangunan dan masa depan banyak manusia.
Sepanjang mengenal Palestina, wilayah yang kerap disebut dalam pelajaran sejarah Islam ini terus diliputi gejolak. Setiap periode terus memuat kisah peperangan. Bahkan ketika dunia relatif damai seperti saat ini, tanah Palestina masih berkecamuk.
Konflik Palestina dan Israel ibarat benang kusut yang sangat sulit untuk diurai. Kedua negara tidak hanya sebatas perebutan tanah pada tahun 1948. Lebih jauh, konflik keduanya bisa ditarik hingga ribuan tahun silam.
Ada banyak faktor yang mendorong mengapa perseteruan ini tak berujung. Salah satu yang tidak bisa diabaikan ialah faktor teologi. Bangsa Yahudi mengklaim tanah tersebut merupakan tanah yang dijanjikan (promised land). Sebagai bangsa pilihan mereka adalah satu-satunya yang sah menduduki Palestina.
Untuk melihat sepintas bagaimana konflik terjadi, serial Our Boys (2019) yang disutradarai Hagai Levi dkk bisa menjadi gambaran. Serial tersebut menceritakan latar tercetusnya konflik 2014 yang juga terjadi di bulan suci Ramadhan.
Serial ini bukan hanya memberi gambaran bagaimana wilayah konflik membara. Lebih jauh Levi memotret kehidupan warga Palestina dan Israel yang sarat dengan berbagai kepentingan. Di kedua belah pihak terdapat kelompok orang yang memang menjaga agar konflik tetap terjadi. Sementara ada juga warga yang sebenarnya menginginkan kedua negara ini berdamai. Hanya saja suara mereka sangat minor, bahkan nyaris tak terdengar. Para pemilik kuasa menghendaki hasil win-lose. Disebutkan pula kelompok Yahudi radikal adalah biang yang mempropagandakan perebutan wilayah Palestina. Sayangnya, ideologi tersebut memiliki otoritas yang sangat tinggi.
Apakah ada orang Israel yang bersahabat? Aku mendapatkan jawabannya ketika menyimak sebuah video YouTube. Pada tahun 2018, sebuah grup musik Israel bernama Koolulam mengadakan malam istimewa di menara David. Untuk pertama kali warga dari tiga agama samawi (Islam, Kristen, dan Yahudi) berkumpul bersama dan menyanyikan lagu ‘One Love’ karya Bob Marley. Pentas tersebut dilangsungkan untuk menyambut kunjungan bersejarah ulama Indonesia KH. Cholil Staquf. yang menghadiri forum perdamaian di Israel. Dari situ terlihat jelas bagaimana banyak orang sebenarnya ingin hidup berdampingan. Hanya saja, sekali lagi, suara mereka sangat minor.
Di Indonesia konflik Israel-Palestina lebih kusut lagi karena ada banyak pihak yang menyederhanakan konflik tersebut antara Islam dan Yahudi. Padahal di negara Israel terdapat ragam manusia. Israel merupakan negara dengan keberagaman pemeluk agama. Di negara Israel 17,8% penduduknya merupakan muslim. Sementara pihak yang melakukan teror dan pencaplokan wilayah merupakan zionisme yang juga ditentang oleh sebagian warga Israel.
Simplifikasi itu menyebabkan banyak warga kita yang sangat anti terhadap semua yang berbau Israel. Sampai-sampai semasa KH. Abdurrahman Wahid menjadi presiden, gagasan melakukan diplomasi dengan Israel menemui jalan buntu karena jurus poko’e terhadap Israel itu. Padahal dalam percaturan politik global hubungan diplomasi membuat sebuah negara punya bargaining position untuk mengintervensi kebijakan negara. Saat ini tercatat beberapa negara muslim membuka jalur diplomasi dengan negara Israel, di antaranya Mesir, Sudan, Yordania, dan Maroko.
Atas Nama Manusia
Apapun itu, menarik konflik negara menjadi konflik agama merupakan tindakan yang semakin menjerat benang sejarah menjadi lebih kusut. Dunia harus melihat bahwa konflik yang terjadi di bumi Palestina merupakan konflik kemanusiaan sehingga solidaritas yang dibangun adalah solidaritas sebagai manusia apapun agama yang dipeluknya.
Penjajahan, pembunuhan, pencaplokan tanah, dan beragam aksi keji harus dilihat sebagai bentuk penindasan terhadap hak asasi manusia dan martabat kemanusiaan.
Tentu saja, sebagai seorang muslim, terlebih warga Indonesia, secara natural memiliki ikatan yang lebih dalam. Palestina merupakan salah satu negara pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia. Warganya pun menganut agama mayoritas Islam seperti Indonesia. Mereka adalah tuan rumah bagi tamu Allah yang ingin beribadah di Masjid Al-Aqsa. Karenanya, Palestina selalu istimewa di hati rakyat Indonesia.
Aku pun berandai-andai memiliki teman dari Palestina dan bisa berkirim pesan atau bahkan video call menjelang Idul Fitri. Di wilayah yang terjaga perdamaiannya, mereka melakukan kerja bakti untuk bersih-bersih kawasan Masjid Al-Aqsa bersama pemuda dari lintas agama. Semua menjalani hidup sebagai manusia yang memiliki kota suci bersama. Yang bisa berbagi ruang dan makanan dalam satu wadah besar.
Di malam Idul Fitri, aku dan mereka akan bertukar cerita tentang tradisi yang ada. Aku akan menceritakan bagaimana malam ‘Id yang meriah dengan festival bedug dan pesta kembang api. Kemudian aku akan antusias mendengarkan mereka bercerita tentang apapun. Betapa menjadi pengalaman yang sangat luar biasa.
Namun entah kapan masa itu datang. Apakah mungkin bisa datang? Wallahua’lam.