Seorang Syaikh memberikan nasihat kepada para muridnya, “Jika kalian ingin mengetahui maqam spiritual seseorang, maka perhatikan dan simaklah—jika memungkinkan— bagaimana saat ia berdoa. Namun yang demikian itu tidak akan banyak memberikan manfaat. Akan lebih baik jika kalian meneliti kedalaman batin kalian sendiri, saat kalian berdoa atau mengharapkan sesuatu dari Allah.”
Ketika para murid bertanya, Doa apakah yang sebaiknya mereka panjatkan, Syaikh menjawab, “Mintalah kepada Allah apa-apa yang paling kalian butuhkan, jika kalian belum atau tidak tahu apa yang paling kalian butuhkan, maka janganlah kalian mengajari apalagi mendikte-Nya. Karena yang demikian itu bukan hanya tidak sopan, tetapi kalian telah berbuat kurangajar.”
Dan, sang Syaikh pun menyampaikan salah satu ayat dari kitab Zabur yang telah dikutip oleh Wahb Bin Munabbih dan digunkan oleh para sufi sebagai dasar memanjatkan doa kepada Allah, “Ya ibna Adam, athi’niy fiymaa amartuka walaa tua’allmniy bimaa yashluhuk!” (Wahai putra Adam, taatilah apa-apa yang telah Aku perintahkan kepadamu dan tak usah kamu mengajari-Ku tentang apa saja yang baik menurutmu!).
Doa yang sesungguhnya menjadi media yang sangat privat saat seseorang berhubungan kepada Tuhan, memang sudah lama digeser dari relnya karena berbagai kepentingan di baliknya. Sah-sah saja yang demikian itu dilakukan tentu, karena doa memang tak bisa dimonopoli oleh siapa pun termasuk oleh para sufi.
Pada tahun 1935 misalnya, melalui siaran radio di Solo, dengan caranya yang khas Ki Ageng Suryomentaram telah mengkritisi hal ini. Dimana secara implisit Ki Ageng mengatakan bahwa di dalam berdoa, kebanyakan manusia sesungguhnya tidak sedang berhubungan dengan Tuhan, tetapi sekedar berusaha memaksakan keinginannya belaka.
Paradoks kaum beragama dalam laku ibadah
Ki Ageng Suryomentaram adalah seorang penempuh jalan spiritual yang menjadikan dirinya sendiri sebagai laboratorium penelitian, nyaris di sepanjang usianya. Kritik-kritiknya terhadap praktik keberagamaan masyarakat di sekitarnya sangat keras, namun dia tidak pernah melabeli wejangan-wejangannya sebagai ilmu agama, budi pekerti, atau apa saja yang mengandung perintah dan larangan. Ki Ageng mengistilahkan temuan-temuannya hanya sekedar thukulan jagad, yaitu sesuatu yang tumbuh di alam semesta tanpa bisa diklaim oleh sesiapa termasuk dirinya sendiri.
Terkait tentang Yang Maha Kuasa misalnya, kebanyakan orang akan terhenti pada pemahaman berdasarkan kata ini dan itu atau dugaan berdasarkan otak-atik logika, sehingga akan mandeg pada sebatas keyakinan belaka. Karena hanya menjadi keyakinan, maka orang pun bisa semau-maunya memperlakukan Yang Maha Kuasa, demikian penegasan Ki Ageng. Namun karena terbatasnya ruang, tulisan ini tidak akan membahas Yang Maha Kuasa dalam pandangan Ki Ageng Suryomentaram yang ternyata tidak hanya bisa dimakrifati, tetapi juga dapat diweruhi (di-ru’yah-i) sebagaiman ketika kanjeng Nabi Muhammad mi’raj.
Sebagaimana yang sudah disinggung di atas, karena Ki Ageng tidak pernah menganggap bahwa wejangan-wejangannya sebagai pengetahuan agama, maka terkait dengan pembahasan laku ibadah kaum beragama dalam tulisan ini, saya akan mengutipkannya dari tulisan Mbah Kyai Sholeh Darat Semarang. Tentu saja yang bersesuaian dengan spirit wejangan Ki Ageng Suryomentaram.
Dalam syarah-nya pada matan Al-hikam yang ditulis oleh Syaikh Ibn ‘Athaillah Sakandariy, terkait dengan laku ibadah sebagaimana termaksud, Mbah Sholeh Darat menjelaskan bahwa seringkali orang merasa telah melakukan ibadah namun Allah tidak menerimanya. Yang demikian itu terjadi karena sejak awal orang telah mengabaikan spiritnya dalam melakukan ibadah. Bahkan keinginan agar ibadahnya diterima oleh Allah itu pun telah mengotori ketulusan ibadahnya, demikian Mbah Sholeh menegaskan.
Mbah Sholeh juga mengutip pembacaan Wahb Bin Munabbih atas kitab Zabur, “Ora ana wong kang luwih dhalim tinimbang sangking wong kang nyembah ing Ingsun kerana suwarga utawa kerana wedi neraka. Lamun ora gawe Ingsun ing suwarga lan neraka, anatha ora ana Ingsun iku ahli ing yentha den bukteni?!”
(Tak ada orang yang lebih zalim daripada orang yang menyembah-Ku karena mengharapkan syurga atau takut neraka. Jika aku tidak menciptakan syurga dan neraka, apakah keberadaan-Ku lantas tidak bisa dibuktikan?!).
Karena itulah menurut Mbah Sholeh, maka Syaikh Ibn ‘Athaillah menegaskan, “Wa rubbamaa qadla ‘alaika bidzdzanbi fakaana sababaaban fiylwushuwl.” (Allah terkadang menjadikanmu sebagai pendosa, namun hal itu justru menjadi lantaran sampaimu kepada-Nya).
Mengapa demikian? Syaikh Ibn ‘Athaillah melanjutkan, “Ma’shiyatun awratsat dzullan wa iftiqaaran khayrun min thaa’atin awratsat ‘izzan wa istikbaaraa!”
(Perbuatan dosa yang membuat seseorang merasa hina lalu dengan tulus mengharapkan pertolongan Allah untuk memperbaiki seluruh prilakunya yang tercela, jauh lebih baik ketimbang ibadah yang membuat orang merasa mulia dan bersikap arogan!)
Perkataan itu begitu singkat namun sangat padat dan langsung menghunjam di dasar batin kita yang terdalam bukan? Wallaahu a’lam bishshawaab.