Sebagaimana tahun lalu, tahun ini juga menjelang Ramadhan umat Islam Indonesia dikagetkan dengan aksi terorisme bom bunuh diri dan penyerangan terhadap aparatus negara. Sasaran teror yang mengarah ke tempat ibadah Kristen dan Katolik dengan pelaku beridentitas muslim, menjadikan hubungan antarumat beragama yang selama ini dipupuk demi menyemai benih-benih perdamaian terganggu.
Terlebih video pernyataan beberapa penceramah agama Islam yang secara terang-terangan menyematkan status “mati syahid” bagi pelaku bom bunuh diri menambah keruh suasana perdamaian yang selama ini dibangun, seakan-akan Islam melegitimasi kekerasan atas nama agama. Karena itu kiranya penting memaknai kembali semua ajaran Islam, baik yang berkaitan dengan ubudiyah maupun mu‘amalah dalam terang relasi antaragama. Puasa yang menjadi ibadah tahunan setidaknya bisa digali makna-maknanya dan dihayati sebagai upaya pembelajaran dalam mengelola keberagaman dan menumbuhkan toleransi.
Berikut dua makna toleransi yang dapat diambil dari ibadah puasa untuk kemaslahatan bangsa ini.
Pertama, ibadah puasa adalah ibadah yang dimiliki oleh semua agama dengan tata caranya masing-masing. Jauh sebelum Islam datang, orang-orang Yahudi, Nashrani dan Shabi`in, tiga agama yang berkembang di Makkah pada abad ke 6 M sudah lebih dahulu menjalankannya. Dalam QS 2:183 dinyatakan bahwa “puasa diwajibkan bagi umat Islam sebagaimana (puasa) juga diwajibkan kepada umat terdahulu”.
Dalam poin ini terdapat ajaran toleransi yang mendasar bahwa semua agama memiliki ajaran yang mengadopsi dan memodifikasi dari agama-agama sebelumnya. Karena itu dalam beragama tidak perlu angkuh dan berebut kebenaran dengan saling menyalahkan atau menyesatkan penganut agama lain. Pemahaman demikian akan memberikan dampak positif dalam pergaulan antarumat beragama dengan menjunjung tinggi toleransi serta beragama bukan untuk mencari “titik tengkar”, tapi merajut kebersamaan untuk saling membantu atau gotong royong dalam membangun bangsa secara bersama.
Kedua, dalam puasa terdapat ajaran profetik yang sangat adiluhung, yaitu orang yang berpuasa tidak boleh menyakiti orang lain meski dirinya disakiti. Dalam hadis riwayat Bukhari nomor 1894 dinyatakan bahwa jika ada orang hendak membunuh atau mencaci maki orang yang berpuasa (ash-sha`im), maka orang yang sedang berpuasa diperintahkan untuk berkata “saya sedang berpuasa” (inni sha`im).
Perintah Nabi Muhammad ini hendak menegaskan bahwa orang yang sedang berpuasa harus mencerminkan dirinya sebagai orang yang saleh secara individual dan sosial. Diam ketika dicaci maki bukan berarti kalah, melainkan memberikan teladan kepada lawan bicaranya bahwa caci maki itu tidak baik melalui perkataan “saya sedang berpuasa” yang berarti “saya sedang berusaha menjadi orang baik”. Hal ini dapat dipraktikkan pada kondisi sekarang dalam menyikapi ujaran-ujaran kebencian (hate speech) dan pemberitaan hoax yang belakangan begitu massif.
Sebutan puasa sebagai “perisai” (junnah) menguatkan pada pemahaman di atas, bahwa seorang yang berpuasa harus bisa menahan diri dari amarah dan tidak melakukan tindakan kesewenang-wenangan serta tidak melakukan kejahatan sebagai balasan atas kejahatan yang diterimanya. Kejahatan tidak bisa dipadamkan dengan kejahatan lain, melainkan harus disikapi dengan cara-cara yang baik, dalam konteks bernegara harus diserahkan kepada pihak yang berwenang.