Kalimat tauhid, la ilaha Illa Allahu merupakan dzikir yang memiliki banyak keutamaan. Bahkan menurut sahabat Jabir, kalimat tahlil itu merupakan kalimat dzikir yang paling utama. Kalimat ini juga bisa disebut “tahlil” sebuah akronim dari membaca kalimat la ilaha illa Allah yang merupakan bagian dari rangkaian tahlil yang biasa dibaca oleh mayoritas umat Islam. Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana arti dan tafsir kalimat tahlil tersebut? Tulisan di bawah ini akan berusaha menjelaskannya.
La Ilaha Illa Allah terdiri dari empat kata. “La Nafiyah lil jinsi” (tiada), “ilaha” (Tuhan), “illa adat istitsna’ (perangkat pengecualian yang bermakna kecuali) ” dan “Allahu (Allah)”.
La Ilaha Illa Allah biasa ditafsirkan dengan:
لَا مَعْبُوْدَ بِحَقٍّ اِلَّا اللهُ
“Tiada Tuhan yang hak disembah kecuali Allah”.
La nafiyah lil jinsi yang dirangkai dengan kata ilaha berfaidah meniadakan seluruh jenis Tuhan yang patut disembah.
Kata Illa yang merupakan adat Istitsna’ dan lafazh Allah sebagai mustatsnanya menunjukan pengecualian dari kandungan nafi pada kalimat sebelumnya.
Dalam perspektif ulama’ Ushul fikih, kalimat nafi yang dirangkai dengan istitsna’ menyimpulkan arti itsbat (kandungan kata positif). Sehingga yang dimaksud “tiada Tuhan selain Allah” adalah “Allah adalah Tuhan”.
Sahabat Ibnu Abbas memiliki pandangan tersendiri dalam menafsirkan kalimat yang menjadi syarat masuk Islam tersebut (syahadat). Beliau menafsirkannya dengan:
لَا نَافِعَ وَلَا ضَارَّ وَلَا مُعِزَّ وَلَا مُذِلَّ وَلَا مُعْطِيَ وَلَا مَانِعَ اِلَّا اللهُ
“Tiada yang dapat memberi manfaat, memberi bahaya, memuliakan, merendahkan, memberi dan mencegah kecuali Allah”.
Sementara itu al-Imam Jalaluddin al-Suyuthi cenderung menitikberatkan kepada makna ketuhanan yang menjadi arti pokok dalam kalimat tauhid. Menurut beliau, makna ketuhanan adalah kemandirian Tuhan dari selain-Nya dan butuhnya selain Tuhan kepada-Nya, sehingga arti dari la ilaha illa Allah adalah:
لَا مُسْتَغْنِيًا عَنْ كُلِّ مَا سِوَاهُ وَمُفْتَقِراً اِلَيْهِ كُلُّ مَا عَدَاهُ اِلَّا اللهُ
“Tiada yang kaya dari selain-Nya dan selain-Nya membutuhkan-Nya kecuali Allah”.
Tafsir yang terakhir ini menurut al-Imam al-Sanusi lebih utama dari tafsir yang lain. Sebab dapat mengakomodir seluruh pokok ajaran ahlus sunnah waljama’ah dalam hal sifat wajib, mustahil dan jaiz bagi Allah Swt.
Demikianlah ragam pendapat ulama’ dalam menafsirkan kalimat la ilaha illa Allah. Secara prinsip, perbedaan tersebut tidak bertentangan, bahkan saling melengkapi. Sebab kalimat tersebut intinya adalah menunjukan keesaan, kebesaran dan kesempurnaan Allah yang tidak dimiliki siapapun.
Wallahu a’lam
Referensi: Syaikh al-Habib al-Muhaddits Muhammad bin Ali Khirid al-Alawi al-Husaini al-Tarimi, al-Wasail al-Syafi’ah karya, (Beirut: Dar al-Hawi-, 1999) cetakan kedua
*) Penulis adalah pegiat Komunitas Literasi Pesantren (KLP), tinggal di Kediri