Makna “Barokah” dan Anjuran Mencarinya

Makna “Barokah” dan Anjuran Mencarinya

Makna “Barokah” dan Anjuran Mencarinya

 

Barokah dalam kamus bahasa Arab karya Ibnu Mandhûr, Lisânu al-‘Arab, diartikan sebagai “berkembang dan bertambah baik (an-namâ` wa az-ziyâdah)” atau “kebahagiaan hidup (as-sa’âdah)”. (1414 H: X, 395). Kata ini diindonesiakan menjadi “berkah” yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) artinya “karunia Tuhan yang mendatangkan kebaikan bagi kehidupan manusia”.

Arti “berkah” dalam bahasa Indonesia pada intinya tidak berbeda dengan arti “barokah” dalam bahasa Arab, yakni sama-sama menunjukkan makna “kebaikan dalam kehidupan seseorang yang mendapatkannya”. Seseorang jika memiliki sesuatu, misalnya harta, maka akan senang jika berkembang atau bertambah baik (baca: barokah atau berkah). Anak jika berkembang dengan baik (barokah/berkah) maka orang tua akan bahagia, dan seterusnya. Jadi, orang yang mendapatkan “barokah” maka hidupnya akan baik menurut agama, yakni diridai Allah. Kata “barokah” dan “berkah” dalam tulisan ini digunakan untuk menunjukkan makna yang sama.

Sedangkan “tabarruk” derivasi dari kata “barokah”, yakni perubahan kata dari yang semula tiga huruf (ba-ra-ka) ke wazan “tafa’aala” dengan menambahkan huruf tâ` di depan dan menggandakan atau men-tasydîd huruf yang di tengah (‘ain fi’il) tujuannya supaya memiliki makna “mencari” (thalab). Tabarruk berarti “mencari barokah” (thalabu al-barakah) atau dalam bahasa Jawa “ngalap berkah”.

“Mencari barokah” atau bisa dikatakan “mencari kebaikan” maksudnya seseorang berharap kehidupannya akan menjadi baik dengan melakukan perbuatan tertentu. Meski demikian bukan berarti “perbuatan” menjadi sebab yang mendatangkan kebaikan, karena hakikatnya yang memberikan kebaikan adalah Allah. Jadi, “perbuatan” atau dalam bahasa Arab disebut “‘amal” kedudukannya sebagai “wasîlah” atau pelantara memohon kebaikan kepada Allah. Dengan melakukan suatu perbuatan atau istilahnya “tabarrukan” maka Allah akan mendatangkan kebaikan kepada orang yang melakukannya.

Uraian sederhananya, “ngalap berkah kepada kiai” berarti mencari kebaikan melalui perbuatan tertentu, misalnya dengan mencium tangan kiai atau minum air bekas kiai. Kedua perbuatan ini (“mencium tangan” dan “minum air bekas kiai”) kedudukannya sebagai wasîlah atau pelantara memohon kebaikan kepada Allah. Dengan melakukan perbuatan tersebut, Allah memberikan barokah (kebaikan) kepada orang yang melakukannya.

Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki (w. 1425 H/2004 M) dalam bukunya, Mafâhîm Yajibu An Tushahhaha, mengatakan:

إِنَّ التَّبَرُّكَ لَيْسَ هُوَ إِلَّا تَوَسُّلًا إِلَى اللهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى بِذَلِكَ الْمُتَبَرَّكِ بِهِ، سَوَاءٌ أَكَانَ أَثَرًا أَوْ مَكَانًا أَوْ شَخْصًا

“Sesungguhnya mencari berkah (ngalap berkah) tidak lain hanya sebagai pelantara memohon kebaikan kepada Allah melalui sesuatu yang diambil berkahnya, baik itu berupa peninggalan, tempat, maupun tubuh seseorang.” (tt: 232).

Jadi, “tabarrukan” atau “ngalap berkah” bukan “menuhankan” sesuatu yang diambil berkahnya (al-mutabarrak bih) atau syirik, melainkan menjadikannya sebagai pelantara memohon kebaikan kepada Allah (tawassul ilallah). Orang yang “ngalap berkah” (al-mutabarrik) bukan orang yang menjadikan dan meyakini sesuatu yang diambil berkahnya sebagai pemberi kebaikan, melainkan sebagai orang yang bertawassul kepada Allah melalui “suatu perbuatan” dengan keyakinan yang memberikan kebaikan adalah Allah.

Tabarrukan sama dengan tawassul, yakni sebagai salah satu cara memohon kepada Allah atau doa. Kata Nabi, doa adalah “senjata” bagi orang yang beriman (ad-du’â` silâhu al-mu`min).

Penjelasan di atas bagian dari uraian “ngalap berkah” ditinjau dari aspek teologis (i’tiqâdî). Sedangkan dari sisi praktisnya (‘amalî) yang menjadi ruang lingkup kajian ilmu fikih (hukum Islam) hukumnya sunnah atau dianjurkan, yakni perbuatan yang dikerjakan mendapatkan pahala, dan ditinggalkan tidak mendapatkan siksa.

Hukum sunnah mencari atau “ngalap” berkah antara lain berdasarkan pada QS. Maryam 30-31 yang berisi tentang perkataan Nabi Isa yang diberi “berkah” di mana saja ia berada, QS. Al-A’râf 96 tentang janji Allah akan memberikan “berkah” jika seseorang beriman dan bertakwa, QS. Hûd 72-73 yang berkisah tentang istri Nabi Ibrahim diberi “berkah” oleh Allah dapat melahirkan anak meski usianya sudah sangat tua, dan puluhan ayat lainnya.

Dasar lainnya yaitu hadis Nabi Muhammad atau “sunnah nabi”, antara lain hadis riwayat Ahmad bin Hanbal yang menceritakan Nabi Muhammad ketika shalat berdoa meminta “berkah” atas rizki yang telah diberikan oleh Allah kepadanya (hadis nomor 16599), hadis riwayat Al-Bukhâri tentang kisah Nabi Muhammad memohonkan “berkah” untuk sahabat ‘Urwah dalam aktivitas jual beli (hadis nomor 3642), hadis Nabi Muhammad berdoa meminta “berkah” untuk pembatunya yang bernama Anas (hadis nomor 6334), dan ratusan hadis lainnya.

Abî Hurairah menceritakan, ketika para sahabat melihat pepohonan kurma sudah mulai berbuah, maka para sahabat sowan kepada Nabi Muhammad meminta doa supaya diberi berkah. Lalu Nabi memohon kepada Allah supaya buah kurma, takaran, dan Kota Madinah diberi berkah. (HR. Al-Bukhârî, 473).

Beberapa ayat dan hadis di atas menunjukkan bahwa para nabi, sahabat, semuanya mencari berkah, yakni memohon kepada Allah supaya diberi berkah. Lalu bagaimana dengan “ngalap berkah” melalui peninggalan atau situs (atsar), tempat (makân), tubuh seseorang (syakhsh) atau yang lainnya? Semuanya juga berdasarkan al-Quran dan hadis. Insyaallah akan dibahas dalam tulisan selanjutnya.

*) Penulis adalah Pegiat Komunitas Literasi Pesantren (KLP), tinggal di Bukit Walisongo Semarang