Seperti kita maklumi bersama, shalat dapat dikerjakan dengan dua cara, berjamaah dan munfarid (sendirian). Berjamaah berasal dari bahasa Arab, yang artinya berkumpul atau berkelompok. Shalat berjamaah minimal terdiri dari dua orang, yakni imam dan makmum. Jumlah maksimalnya tidak terbatas. Tergantung pada kapasitas tempat.
Keabsahan shalat berjamaah menuntut terpenuhinya beberapa persyaratan tambahan. Pertama, makmum tidak mengetahui atau meyakini shalatnya imam batal. Kedua, seorang yang mampu membaca al-fatihah tidak boleh makmum kepada orang yang tidak mampu membacanya. Ketiga, orang laki-laki tidak boleh mekmum kepada orang perempuan. Keempat, tempat makmum tidak berada di depan imam. Kelima, makmum mampu mengikuti gerakan imam. Keenam, makmum mengetahui perpindahan imam dari satu rukun ke rukun yang lain. Ketujuh, imam dan makmum berada dalam satu tempat. Kedelapan, makmum wajib niat menjadi makmum atau berjamaah dengan imam. Kesembilan, shalat imam dan makmum harus sama. (Al-Fiqh Al-Manhaji: I, 179-184).
Berdasarkan persyaratan terakhir, menurut madzhab syafi’i, makmum yang mengerjakan shalat dhuhur tidak boleh mengikuti imam yang sedang mengerjakana shalat Ashar, Maghrib, Isya’, dan Shubuh. Tetapi diperbolehkan seseorang yang shalat sunnah mengikuti (menjadi makmum) orang yang tengah menunaikan shalat fardlu. Sah pula, seseorang yang shalat fardlu makmum kepada imam yang shalat sunnah, meskipun hukumnya makruh. (Madzahib Al-Arba’ah: I, 418).
Berangkat dari itu, sah-sah saja orang yang mengerjakan shalat Isya’ seraya bermakmum kepada imam yang tengah bertarawih. Meskipun sah, sebaiknya dihindari, sebab hukumnya makruh.
Definisi makruh adalah ma yutsabu ‘ala tarkih, wa la yu’aqab ‘ala fi’lih, perkara yang bila ditinggalkan berpahala, kalau dikerjakan tidak mendapat dosa. Kebiasaan menerjang perbuatan yang makruh lama-lama membuat orang memiliki keberanian menerjang perbuatan haram. Sebagaimana menganggap sepele perkara sunnah dapat mendorong orang berani mengebaikan perkara wajib.
Lagi pula, menurut Madzhab Hanafi dan Hambali tidak sah orang shalat fardlu makmum kepada orang yang shalat sunnah. Padahal terdapat kaidah yang menyatakan: al-Khuruj min al-khilaf mustahabb, keluar dari khilaf hukumnya sunnah.
Cara keluar dari khilaf, dalam kasus tersebut di atas adalah Seseorang yang shalat fardlu tidak makmum kepada orang yang shalat sunnah.
Sumber: K.H. M. A. Sahal Machfudz, Dialog Problematika Umat, hal 137, Khalista 2013, Surabaya