Tertawa merupakan salah satu bahasa tubuh yang mudah dikenali oleh setiap orang. Manusia sebagai makhluk sosial cenderung menyukai humor dan sering bercengkrama atau bercanda yang tidak luput dari tawa. Tertawa menggambarkan kondisi psikologi seseorang yang sedang gembira. Tertawa juga memberi kesan ramah pada diri seseorang.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan seseorang tertawa atau ditertawakan. Di antaranya: Pertama, adanya guyonan dari teman, keluarga, kerabat, dan lain-lain. Kedua, melihat/mendengar sesuatu yang lucu, seperti menonton komedi. Ketiga, unsur tidak sengaja, seperti melihat teman berbicara dengan logat dan mimik yang khas, sehingga memicu timbulnya tertawaan.
Meskipun tertawa sudah menjadi kebiasaan manusia, terlebih di era digital ini dengan hadirnya berbagai teknologi seperti gadget yang menyediakan segala aplikasi berisi konten beragam, sehingga penggunanya tertawa sendiri. Bahkan terkadang dianggap aneh dan tidak waras oleh orang yang melihatnya.
Maka tidak heran jika secara khusus Islam menyinggung tawa yang disampaikan melalui berbagai referensi, salah satunya berasal dari kitab berbahasa Arab melayu yang merupakan buah fikir dari para ‘ulama, khususnya ‘ulama tasawuf. Disebutkan dalam kitab Siyarus Salikin karya Syaikh ‘Abdu as-Shamad al-Falimbani, bahwa ada tiga jenis tertawa.
Pertama, ضحك (Ḍuḥak), yaitu tertawa disertai suara dan hanya terdengar oleh orang di sekitarnya. Tertawa jenis ini tidak dibenarkan dalam Islam. Kedua, قهقهة (Qahqahah), yaitu hampir sama dengan jenis pertama, perbedaannya adalah suara tertawaan ini terdengar jelas dari kejauhan, bahkan orang yang mendengar dapat mengenali suara tersebut. Di samping itu, tertawa qahqahah merupakan tertawanya syaiṭan, atau dalam keseharian disebut dengan tertawa terbahak-bahak.
Adapun yang ketiga adalah تبسّم (tabassam), yakni tertawa yang tidak mengeluarkan suara, akan tetapi sekadar tersenyum, baik senyuman yang tampak gigi ataupun tidak. Tertawa jenis ini merupakan tertawanya para Nabi. Di antara tiga jenis tertawa yang telah penulis uraikan, yang dibenarkan dan paling terpuji adalah jenis ketiga (tabassam). Sedangkan yang tidak dianjurkan bahkan dianggap kurang baik adalah jenis kedua (qahqahah).
Selanjutnya, ada juga ulama yang menambahkan bahwa “banyak tertawa dapat menghilangkan wibawa seseorang”. Dalam sebuah hadis juga disampaikan “banyak tertawa mematikan hati”, maksudnya dapat melalaikan seseorang dari perkara akhirat dan malas melakukan kebaikan. Salah satu contoh akibat buruk dari tertawa sebagaimana diungkapkan dalam sebuah hadis bahwa apabila seseorang tertawa di dalam masjid, maka kuburnya kelam (gelap gulita).
Tertawa jenis kedua (qahqahah) juga menyebabkan kelupaan, yaitu lupa dari berbagai ilmu yang sudah diperoleh/dipelajari. Selain itu juga dapat mengurangi akal. Sebuah pesan disampaikan dalam hadis “siapa saja yang banyak tertawa di dunia, maka ia lebih banyak menangis di akhirat”. Na’uzu billāhi min zālik.
Pesan yang disampaikan dalam hadis tersebut juga berkaitan dengan firman Allah yang diterangkan dalam al-Quran Surah at-Taubah ayat 82, bahwa orang yang tidak ikut berperang bersama Nabi mereka lebih banyak menangis daripada tertawa sebagai balasan atas perbuatan yang mereka lakukan. Banyak tertawa juga dapat menumbulkan kesalahan, baik disengaja maupun tidak.
Meskipun demikian, tertawa sudah mendarah daging dalam kehidupan yang sulit dikontrol. Namun alangkah baiknya jika berusaha keras untuk mengontrolnya. Jika sewaktu-waktu sudah mendesak, dalam arti tidak terkontrol lagi, lebih baik diganti dengan senyuman. Senyuman dapat menghantarkan kebahagiaan kepada orang lain, dan Allah juga meridhai.
Apabila sudah terlanjur dalam tertawa yang kurang baik, maka hendaknya segera beristighfar (memohon ampunan) kepada Allah SWT.
Berbagai macam pembagian tertawa ini memang secara khusus diperuntukkan bagi setiap orang yang ingin menempuh jalan para sufi, sebagai salik. Karena bagi para calon salik, tertawa yang kurang baik sebagaimana dijelaskan di atas akan mengurangi kedalaman menjalani tarekat. Lalu bagaimana untuk orang yang biasa-biasa saja? Maka sebisa mungkin menghindari tertawa yang dianggap buruk tersebut. Jika tidak bisa, maka berusaha untuk mencegahnya di kemudian hari. (AN)
Wallahu a’lam.