Berita 75 pegawai KPK yang tak lolos Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) sudah tersebar ke penjuru negeri, termasuk oleh kawan saya yang juga terjegal dari LPDP karena dianggap tak lulus tes ini.
“Wah, jangan-jangan pengujinya orang-orang yang nguji saya di LPDP wilayah Jakarta, pertanyaan-pertanyaannya mirip, mas,” ujar teman saya ini dengan emosi meluap-luap.
Saya memaklumi luapan emosinya. Dia beberapa kali menguji peruntungannya lewat beasiswa LPDP. Pada periode paling akhir, ia berhasil lolos hingga tahap terakhir, yaitu tahap wawancara. Ia menyangka TWK akan berpihak padanya. Pikirnya, TWK disiapkan untuk menyeleksi calon awardee yang terindikasi terafiliasi dengan pemikiran fundamentalis atau ekstremis, sehingga ia sangat percaya diri karena merasa akan berhasil melalui tes ini.
Ditambah, aktifitasnya selama ini sebagai penulis artikel tentang toleransi, keberagaman, dan kontra narasi ekstremisme yang produktif membuatnya semakin di atas angin. “Ya kali, negara nggak mau menghargai usaha saya selama ini,” tandasnya.
Namun sayang, kepercayaan diri itu tak terbukti. Teman saya yang produktif menulis isu-isu kontra narasi ini malah tersingkir dari gelanggang LPDP. Usut punya usut, setelah dikonfirmasi ke pihak LPDP, ia tidak lulus karena tidak direkomendasikan oleh penguji TWK.
Bagaimana bisa, seseorang yang aktifitas sehari-harinya menulis artikel-artikel tentang toleransi, kebangsaan, bahkan kontra narasi ekstremisme tidak lulus TWK. Kasus seperti ini tentu tidak jauh beda dengan TWK di KPK. Beberapa teman yang aktifitasnya juga selalui berkaitan dengan toleransi, kebangsaan, juga tidak lulus tes ini.
Beberapa peserta tes LPDP yang lain juga menyampaikan keluh kesahnya terkait TWK ini melalui media sosial, bahkan sempat trending. Mereka mengeluhkan pertanyaan-pertanyaan yang sama sekali tidak berkaitan dengan wawasan kebangsaan. Seperti, “Sudah punya pacar atau belum?”, “Ngapain aja selama pacaran?”, dan beberapa pertanyaan lain. Ternyata, pertanyaan yang sama juga muncul di TWK KPK.
Tidak Ada Indikator yang Jelas
Terlepas dari ada atau tidaknya unsur nepotisme dalam pelaksanaan tes wawancara di LPDP atau intrik politik pada TWK di KPK, yang jelas tidak ada indikator dan standar khusus dalam tes ini. Mengapa demikian?
Pertama, karena antara pertanyaan penguji satu dengan penguji yang lain tidak sama. Teman saya (yang tak lulus TWK LPDP) awalnya mengira hanya beda pertanyaan, tapi substansinya sama. Namun setelah dicek dengan pertanyaan yang diterima peserta lain, ternyata sama sekali tidak memiliki benang merah. Penguji tes ini seenaknya membuat pertanyaan yang sama sekali tak berkaitan dengan indikator wawasan kebangsaan yang terukur.
Kedua, tidak ada indikator wawasan kebangsaan yang terukur. Dalam tes apapun, biasanya memiliki indikator yang terukur. Misalnya seorang santri di pesantren, ia dinyatakan lulus tingkat tertentu jika memahami ilmu fikih bab a sampai bab b, memahami ilmu hadis bab sekian hingga sekian, mampu memecahkan masalah fikhiyah dan lain sebagainya, semuanya jelas terukur. Begitu juga dengan beberapa bidang ilmu yang lain. Namun, dalam TWK, nampaknya sama sekali tidak ada parameter pasti.
Ketiga, penguji tidak memahami materi. Munculnya pertanyaan yang membandingkan antara Pancasila dna Al-Qur’an, bagi saya adalah salah satu contoh inkompetansi penguji TWK. Bagaimana tidak, Pancasila itu sejalan dengan nilai-nilai Al-Qur’an, sehingga tidak perlu dipertentangkan atau diperbandingkan.
Dengan membandingkan antara Al-Qur’an dan Pancasila, secara tidak sadar penguji tersebut menganggap bahwa Al-Qur’an bertentangan dengan Pancasila atau sebaliknya. Padahal para cendekiawan dan ulama kita sudah susah payah membuka pemikiran orang-orang yang tidak setuju dengan Pancasila, yaitu dengan cara menunjukkan kesesuaiannya dengan nilai-nilai Al-Qur’an.
Saya teringat salah satu quote dari Gus Dur yang sangat terkenal, “Pancasila bukan agama, tidak bertentangan dengan agama, dan tidak digunakan untuk menggantikan kedudukan agama.” Gus Dur dan para ulama moderat lain telah menjelaskan sejelas-jelasnya hubungan Pancasila dan Al-Qur’an. Para penguji TWK ini malah merusaknya.
Contoh lain adalah, ketika teman saya peserta LPDP ditanya, “Apakah kamu mau salaman dengan perempuan yang bukan muhrim?” Teman saya yang alumni pesantren ini menjawab dengan jawaban ala pesantren, “Kalau saya mau shalat, saya tidak mau bu, karena membatalkan wudhu. Tapi kalau nggak sedang akan shalat, saya mau saja, karena sentuhan dalam fikih ada perbedaan pendapat.”
“Loh, bukannya salaman yang bukan muhrim itu haram?” ujar sang ibu penguji TWK. Teman saya bingung, ini semacam pertanyaan jebakan atau memang ibunya yang tidak faham. Teman saya ini pun pelan-pelan mulai menjelaskan, termasuk mengoreksi penyebutan muhrim, yang seharusnya mahram. Yang jadi pertanyaannya dalam hati adalah, apa hubungannya muhrim/mahram dengan wawasan kebangsaan?
Pertanyaan mendadak seperti ini pun berpotensi menimbulkan labeling yang menyesatkan. Jika dijawab tidak nanti dikira liberal. Jika dijawab iya, nanti dilabeli radikal. Pusing, bukan? Saya yang diberi cerita saja pusing.
Generasi Bangsa ‘Gugur’ karena TWK
Awal kemunculan TWK mungkin dimaksudkan baik, namun dalam perjalanannya justru malah menggugurkan para calon generasi bangsa. Kita tidak tahu seberapa banyak korban TWK ini, baik dari para peserta LPDP maupun KPK, juga seberapa besar dampaknya bagi negara.
Pemerintah nampaknya perlu mengevaluasi TWK ini atau malah meniadakannya. Dengan indikator yang tidak jelas, inkompetensi penguji dan beberapa masalah lain, justru hanya akan menjadikan TWK sebagai ajang labelling, si A taliban, si B liberal, dan lain sebagainya. Ujungnya banyak orang ‘salah tembak’ dan mendapatkan tuduhan yang tidak baik. Akhirnya, TWK bukan mendatangkan maslahat, malah mendatangkan madharat yang besar. (AN)
Wallahu a’lam.