Geert Wilders, tokoh politik ekstrim-kanan dan pimpinan “Partai Kebebasan” di Belanda, membatalkan perlombaan kartun Nabi Muhammad saw. Sedianya, semua kartun yang dilombakan harus masuk panitia sebelum 1 September ini. Pemenangnya akan diumumkan pada 10 November 2018 dengan hadiah uang sebesar 10.000 euro.
Pembatalan ini diputuskan oleh Wilders setelah ia melihat protes puluhan ribu umat Islam di Pakistan (29/8/2018). Bahkan, seorang mantan atlit terkenal kriket Pakistan akan menghadiahi 28.000 USD bagi yang bisa membunuh Wilders. Tentu, demontrasi dan ancaman seperti ini akan menjamur di berbagai negara Muslim. Karena itulah, Wilders mengurungkan niatnya dengan alasan akan terjadi kekerasan jika perlombaan itu diteruskan.
Soal kartun Nabi Muhammad saw. yang dianggap sebagai pelecehan dan penghinaan bagiumat Islam ini terus berulang dalam konteks Eropa. Tentu, kita masih ingat tragedi penembakan terhadap kartunis dan wartawan Charlie-Hebdo yang berjumlah 8 orang dan petugas keamanan serta kepolisian 4 orang pada Rabu 7 Januari 2015. Koran satir yang terbit di Paris itu menampilkan Nabi Muhammad dengan berbagai gambar yang dianggap melecehkan. Memang, Charlie-Hebdo cukup sering menampilkan kartun Nabi.
Sebelum Charlie-Hebdo, Koran-koran besar di Denmark, Jyllands-Posten, Polinken, dan Berlingske Tidende, pada 2005 memuat gambar kartun Nabi Muhammad saw. dengan bom di atas sorbannya. Kartun yang dibuat oleh Kurt Westergaard itu pertama kali dimuat oleh koran Denmark Jyllands-Posten. Akibat perbuatannya saat itu, dirinya diancam dibunuh dan umat Islam di seluruh dunia marah atas pemuatan karikatur Nabi tersebut.
Umat Islam berdemontrasi menuntut pemerintah Denmark meminta maaf dan menghukum kartunis yang menggambar karikatur Nabi tersebut. Para pemimpin negara-negara Islam di dunia mengutuk perbuatan yang melecehkan agama Islam itu. Bahkan pemimpin negara-negara di Timur Tengah, seperti Mesir, Saudi Arabia, Yordania, Palestina dan lainnya, memboikot semua produk Denmark. Pemerintah Denmark sendiri menolak gugatan organisasi Muslim Denmark di pengadilan, karena dianggap tidak ada yang bertentangan dengan hukum dan itu dianggap bagian dari kebebasan berekpresi.
Negara-negara yang memuat kembali kartun itu, seperti di Prancis, Belanda, Jerman, Norwegia dan Italia menuai protes dari umat Islam setempat. Media massa di beberapa negara Muslim yang memuatnya, semisal tabloid Shihane di Yordania dihukum oleh Raja Abdullah. Di Indonesia sendiri, laman Rakyat Merdeka dmendapat ‘serbuan’ Front Pembela Islam (FPI). Tabloid Peta di Bekasi kembali memuatnya pada edisi 6-12/2/2005 dan harus menariknya kembali karena demo umat Islam. Reaksi umat Islam terhadap pelecehan ini sungguh luar biasa.
Secara terang-terangan atau diam-diam, banyak situs-situs internet atau media lokal yang terus memuat dan menerbitkan gambar-gambar yang melecehkan Nabi umat Islam ini. Wilders kembali memainkan politik identitas dengan perlombaan kartun Nabi Muhammad. Sekarang dibatalkan, di kemudian hari tidak menutup kemungkinan, ia akan menyelenggarakan perlombaan yang sama.
Terus Berulang
Sebenarnya kejadian yang dianggap sebagai bentuk pelecehan terhadap sosok agung Nabi umat Islam ini bukan hal baru. Tentu kita masih ingat kasus novel Ayat-Ayat Setan (The Satanic Verses) karya Salman Rushdie yang memancing kemarahan umat Islam saat itu. Sampai-sampai Pemimpin Besar Iran Imam Khomeini mengeluarkan fatwa mati bagi Rushdie, dan menyediakan hadiah uang bagi yang dapat membawa kepala pemenang Nobel Sastera itu.
Di Indonesia, tentu juga masih segar dalam ingatan kita kasus Arswendo Atmowiloto. Tabloid Monitor yang dipimpinnya mengeluarkan hasil jajak pendapat orang terpopuler di Indonesia. Dan hasilnya Nabi Muhammad di urutan ke-11, berada jauh di bawah Presiden Suharto kala itu. Umat Islam marah. Arswendo pun harus menginap di hotel prodeo untuk beberapa tahun. Masih banyak lagi kasus-kasus lain seputar pelecehan terhadap Nabi.
Pelecehan terhadap simbol-simbol keagamaan sangat rentan membakar emosi umat. Mereka memandang melecehkan Nabi, berarti melecehkan Islam dan hal itu tidak bisa ditolerir. Tetapi, anehnya, Evie Evendi Gapleh yang menyatakan Nabi Muhammad “sesat” dan Firanda Andirja yang menyatakan orang tua Nabi Muhammad “masuk neraka” tidak dihukum, bahkan tidak ada demontrasi atau diajukan ke meja pengadilan sekalipun, dengan tuduhan sudah melecehkan Nabi Muhammad. Tidak ada!. Para ahli hukum Islam sepakat bahwa menggambar, mematung dan semua bentuk visualisasi Nabi dilarang. Apalagi jika sesuatu (lisan maupun tulisan) itu melecehkan Nabi, fukaha menjatuhkan hukuman zindiq (blaspheme/kafir), yaitu mati.
Islam sangat keras menentang visualisasi Nabi dalam bentuk apapun, sementara dalam ajaran agama lain visualisasi Nabi, mungkin, dipandang sebagai hal yang biasa. Apalagi, ‘melecehkan’ sosok dan tokoh yang dihormati, di dalam Islam, sama sekali tidak dibenarkan, dan pasti akan memunculkan reaksi umat yang luar biasa. Contoh lain adalah kasus film sutradara Belanda Theo van Gogh yang dianggap melecehkan Nabi saw., sampai seorang ektremis Muslim imigran Belanda membunuhnya.
Dalam agama lain, mungkin, tidak seperti ini, karena kebebasan mencipta dan berkarya adalah hak asasi yang dijunjung tinggi. Kebebasan cipta dan karya hingga pun melecehkan Yesus dalam bentuk gambar, kartun, dan film dianggap dingin oleh umat Katolik dan Protestan di Eropa. Gambar dan kartun yang melecehkan Yesus itu cukup banyak kita jumpai di Eropa, tetapi tidak digubris oleh umat Kristiani. Film-film sutradara Italia Pier Paolo Pasolini ‘melecehkan’ Yesus dan gereja, dengan menggambarkan skandal seks kalangan gerejawi dan Yesus. Tetapi, untuk satu kasus ini, akhirnya, Pasolini pun mati dibunuh ekstremis Katolik Italia.
Perbedaan menanggapi kebebasan berkarya dari kedua agama samawi ini karena sejarah masing-masing agama berbeda. Kristen telah mengalami reformasi keagamaan yang luar biasa melalui modernisasi. Anak kandung modernisme Eropa melahirkan sekularisme, berupa pemisahan agama dan politik. Hasilnya, antara lain, kebebasan cipta dan seni yang tidak lagi harus takut, tunduk, dan patuh terhadap aturan agama, karena seni adalah ruang umum di mana agama tidak boleh mengintervensinya, sebab agama hanya hidup di ruang pribadi.
Hukum Negara
Memang kebebasan berekspresi harus dihargai dan dijunjung tinggi oleh siapa pun. Namun, bagi umat Islam, kebebasan itu ada batasannya. Jika kebebasan itu melecehkan keyakinan orang lain, maka hal itu tidak bisa dibenarkan dinilai dari sudut pandang manapun. Kebebasan yang tak ada aturannya akan terjerumus pada kekacauan. Oleh karena itu, perlu dibuat aturan hukum yang jelas. Sehingga para pekerja seni termasuk kartunis dapat mengetahui batasan-batasan mana yang boleh dan dilarang.
Hal ini penting untuk menghindari tindakan anarkis dari umat dalam menanggapi masalah seperti ini. Walaupun telah memiliki aturan, tetapi hukum pidana negara-negara muslim (Negara dengan mayoritas penduduknya beragama Islam) dan negara Islam (Negara yang menerapkan syariat Islam) berbeda dalam melihat kasus pelecehan Nabi Muhammad.
Negara muslim seperti Brunei Darussalam dan Mesir tidak mengatur secara jelas hukum pelecehan Nabi. UU pidana Brunei, edisi revisi 2001, Bab XV tentang pelanggaran terhadap agama, pasal 298 hanya menyebutkan tindakan menghina keyakinan agama seseorang dihukum 1 tahun penjara atau didenda atau keduanya. Sementara di Mesir, UU Pidana No. 58 tahun 1937, pasal 160 dan 161 hanya mengatur masalah pelecehan tempat-tempat suci dan acara keagamaan dihukum maksimal 1 tahun penjara atau denda 20 pounds Mesir.
Adapun negara Islam terbagi menjadi dua: pertama, negara Islam yang tidak secara jelas mengatur hukum pelecehan Nabi, seperti Nigeria dan Yaman. Di Zamfara, negara bagian Nigeria, UU pidana Islam no. 10 tahun 2000, pasal 400 hanya menyebutkan perbuatan menghina agama dihukum 2 tahun penjara atau denda atau keduanya. Begitu juga di Yaman, UU No. 12 tahun 1994, pasal 261 hanya mengatur pelecehan tempat-tampat suci agama dihukum maksimal 1 tahun penjara dan denda 1000 riyal.
Kedua, negara Islam yang secara jelas mengatur hukum penghinaan terhadap Nabi Muhammad, seperti Iran dan Pakistan. Di Iran, UU pidana Islam 1991, Buku ke-V tentang ta’azirat (diratifikasi 22 Mei 1996) Bab 2, pasal 513 menyatakan siapa saja menghina kesucian Islam atau para imam atau sadiqah tahirah maka akan dihukum mati, jika hinaannya sama dengan menghina secara lisan kepada Nabi Muhammad.
Di Pakistan, UU Pidana Pakistan 1860, pasal 295-C menyebutkan siapa saja dengan kata-kata, baik lisan atau tulisan atau sesuatu yang dapat terlihat atau imputasi atau sindiran atau tuduhan halus, baik langsung ataupun tidak langsung, melecehkan kesucian nama Nabi Muhammad saw. akan dihukum mati atau penjara seumur hidup dan membayar denda.
Dengan demikian, Iran dan Pakistan adalah dua negara Islam yang mengatur dengan jelas hukum penghinaan dan pelecehan terhadap Nabi, yaitu dihukum dengan hukuman mati. Negara Islam lainnya, seperti Nigeria (Zamfara) dan Yaman, hanya dihukum penjara dan denda. Adapun negara-negara muslim tidak mengatur secara khusus pasal pelecehan Nabi, karena itu bentuk hukumannya pun berbeda tergantung pasal mana yang akan digunakan.
Indonesia: UU PNPS lagi?
Di Indonesia sendiri, dalam KUHP tidak ada pasal khusus yang mengatur masalah pelecehan agama. Bab XXX tentang penerbitan dan pencetakan, pasal 483 dan pasal 484 hanya menyebutkan orang yang menerbitkan atau mencetak tulisan atau gambar yang merupakan perbuatan pidana dapat dihukum satu tahun 4 bulan penjara atau kurungan paling lama 1 tahun atau denda Rp. 300. Seringnya, kasus pelecehan agama adalah dengan menggunakan UU PNPS 1965, seperti dalam kasus Bu Meilina vs Toa. Dengan undang-undang karet itu, tentu, apapun bisa dimasukkan dalam kategori pelecehan dan penodaan, termasuk soal kartun Nabi Muhammad.
Oleh karena itu, perlu kiranya pemerintah mengantisipasi agar kasus Geert Wilders, Charlie-Hebdo, Jyylands-Posten, tidak merembet ke Indonesai atau kasus Arswendo tidak terjadi (lagi) di Indonesia. Pemerintah harus mengatur secara jelas, tidak reaktif, batasan pekerja seni, seperti kartunis, untuk menghindari hal-hal yang tak diinginkan, semisal tindakan main hakim sendiri. Namun, yang harus digaribawahi agar hendaknya hukum ini juga tidak membelenggu kebebasan berkarya. Wallahu a’lam