Kadang aku iri pada Lik Jaswadi yang pedagang kecil di pasar klithikan bersama istrinya Lik Ndari yang seorang penjual es kapal di depan SD seberang kelurahan. Pada musim haji, mereka berboncengan di atas sepeda menuju rumah Pak Haji Kandar yang baru pulang dari Mekah. Duduk di pojokan mereka, bahkan tak berani masuk rumah Pak Haji Kandar ketika bertamu, sebab tamu-tamu yang di dalam rumah Pak Kandar adalah para alim juga pejabat ormas agama tingkat ranting yang datang dengan membawa mobil.
Lik Jaswadi dan Lik Ndari sudah senang kebagian air zam-zam dan mengambil dua butir kurma dengan malu-malu. Mereka minum air suci itu dengan membaca alfatihah sambil berharap suatu saat nanti Allah menarik raga mereka menghadap Ka’bah pula. Meskipun ketakutan dan kikuk sebab mereka mengenakan baju yang sungguh seadanya, ketika berpamitan, Lik Jaswadi dan Lik Ndari bisa juga salaman dan mencium tangan Pak Haji Kandar.
Kadang aku iri pada Lik Jaswadi dan Lik Ndari. Mereka datang ke ta’limat pengajian tabligh akbar dengan mengajak tiga anaknya yang masih kecil-kecil. Mereka khusyuk mendengarkan ceramah Kiai undangan yang masyhur yang berbicara tentang kesabaran, keikhlasan, dan pentingnya berkhusnudzan pada Allah. Ceramah Kiai membuat mereka yakin bahwa kesulitan yang mereka jalani adalah ujian yang setara dengan hidup orang kaya yang bergelimang jabatan dan harta.
Ceramah Kiai membuat mereka percaya bahwa meski sulit, hidup harus dijalani dengan legawa, sebab kesementaraan di dunia tidak akan lama.
Aku iri pada Lik Jaswadi dan Lik Ndari yang tidak pernah paham nafsu saling kafir-mengafirkan antar sektarian. Mereka tidak peduli berita-berita seram di voa-islam, arrahmah.com atau media islam galak lainnya. Pernah sekali waktu Lik Jaswadi diajak orang yang menyeru jihad macam-macam, ia jawab sederhana bahwa Lik Ndari dan anak-anaknya tidak mungkin ia tinggalkan.
Lalu, Lik Jaswadi tetap ke masjid, berada di baris depan ketika salat berjamaah, berdampingan dengan Pak Gito yang Kepala Dinas Pertanahan dan Pak Jalak yang seorang saudagar mebel. Aduhai, senang sekaligus deg-degan ia.
Ketika kelak banyak orang kecelik di akhirat, mengira bahwa pembelaan-pembelaan kepada agama yang mereka lakukan cukup heroik buat Islam, ternyata, Allah tidak butuh semua itu. Allah justru lebih menyayangi Lik Jaswadi dan Lik Ndari yang tidak memgampanyekan apa pun. Lik Jaswadi dan Lik Ndari hanya mengirim anak-anaknya ke pesantren, menitipkan mereka kepada Kiai dengan rasa percaya yang seratus persen, membayar bea nyantri dengan masakan-masakan Lik Ndari yang rutin ia kirimkan setiap pagi.
Lik Jaswadi dan Lik Ndari hanya percaya bahwa pendidikan agama adalah akhlak, lentera bagi diri dan wasilah keberkahan dalam hidup.
Aku iri pada Lik Jaswadi dan Lik Ndari yang hanya berharap ketenangan dan keselamatan dalam agama. Melakoni kepasrahan demi kepasrahan tanpa nafsu berkompetisi dan menjatuhkan saudaranya yang seiman ketika antre mengharap surga.
Bagi Lik Jaswadi dan Lik Ndari, Tuhan Allah SWT benar-benar tempat berpulang, berpasrah-pasrah, memohon-mohon ampun dan petunjuk jalan. Tuhan Allah SWT bagi Lik Jaswadi bukan sebagai sosok yang bisa dilobi-lobi atau diyakin-yakinkan bahwa golongan A lebih benar dari B. Lik Jaswadi dan Lik Ndari hanya paham Allah SWT sebagai tempat berpulang, mencari jalan selamat, bukan tempat mencari legitimasi kebenaran untuk kepentingan kelompok-kelompok politik.