Ketika kuliah, saya suka bingung kalau dosen bilang kalian harus berpikir kritis. Saya tidak tahu caranya. Makanya kalau ada seminar dan diskusi, saya lebih cenderung diam. Tidak tahu apa yang ditanyakan. Saat tulis tesis pun juga begitu. Karena saya kajian pemikiran hukum Islam, dosen pemimbing dan penguji meminta untuk mengkritik tokoh yang dikaji. Lagi-lagi saya bingung, tidak tahu apa dan bagaimana mengkritiknya.
Buku The Beginnings of Islamic Law: Late Antique Islamicate Legal Traditions karya Lena Salaymeh ini sedikit membantu saya bagaimana berpikir kritis dalam konteks studi Islam (Islamic Studies). Buku ini pernah mendapat penghargaan The American Academy of Religion Award for Excellence in the Study of Religion untuk kategori tekstual studies.
Salaymeh beberapa kali menampik bahwa dia bukan ahli kajian teks, dia lebih senang disebut sebagai sejarawan. Dia mengaku sangat dipengaruhi dan mengidolakan Ira Lapidus. Tapi anehnya, bukunya dikasih penghargaan untuk kategori tekstual studies.
Saya menonton beberapa kali rekaman seminar dan kuliahnya di You Tube, dia menegaskan kalau kritik itu bukan hobi ataupun gaya-gayaan, tapi butuh training dan pendidikan. Tidak mungkin bisa tiba-tiba melakukan kajian kritik, kalau tidak belajar teori kritik. Dia cukup lama mempelajari teori kritik, hingga akhirnya menerapkan teori itu dalam disertasinya.
Paling tidak, kata Salaymeh, kita mesti memperbanyak baca buku tentang dekolonialisasi. Ini sangat membantu untuk mengembangkan kajian kritik dalam Islamic Studies. Ia menulis artikel khusus tentang dekolonialisasi ini, judulnya Dekolonial Translation.
Salaymeh dalam buku ini, ataupun dalam banyak tulisan dia yang lain, lebih fokus pada kritik metodologi sarjana Barat yang dianggapnya terpengaruh oleh cara berpikir kolonial, sadar atau ngak sadar, dalam melihat Islam awal. Dia bahkan menulis satu artikel khusus, kritik pada Godziher, yang dianggap oleh sebagian peneliti sebagai “Good Orientalists”. Tidak banyak, menurut Salaymeh, orang yang sadar bahwa Godziher juga bagian dari kontruks pengetahuan Kolonial.
Ciri khas dari pengetahuan kolonial atau neo-kolonial itu adalah menganggap bahwa tradisi pengetahuan Islam itu tidak ilmiah. Misalnya, tradisi lisan dan periwayatan yang sudah lama berlaku dalam sejarah Islam, dianggap tidak ilmiah atau dipandang inferior. Orang yang ngak tumbuh dalam tradisi komunitas atau pengetahuan tertentu, kata Salaymeh, tidak punya hak untuk memberi penilaian.
Masalah dari cara berpikir kolonial, atau coloniality, merusak tradisi yang sudah tumbuh dan mengakar (indigenous knowledge), dan mengesankan kalau Islam itu tidak punya peradaban, sehingga perlu dikasih tau bagaimana caranya supaya maju.
Kritik terhadap pendekatan coliniality itu masih tetap relevan dilakukan karena kajian Islamic studies yang berkembang saat ini masih merujuk pada gagasan atau sarjana yang tumbuh dalam iklim kolonial. Apalagi kita belum masuk masuk pada tahapan atau fase post-kolonial yang sesungguhnya, mengutip Jean Paul Sartre, kita masih berada di era neo-kolonial.
Bagi Salaymeh, karya Orientalism Edward Said, bukan awal dan akhir kajian kritik terhadap kolonial atau orientalis, karena Said tidak tumbuh dalam kajian Islamic Studies, dia tidak mampu melakukan kritik metodologis terhadap sarjana kolonial/neo-kolonial. Inilah kelemahan Said.
Di antara tujuan Buku Salaymeh ini adalah untuk mengkritik pandangan sarjana kolonial ataupun neo-kolonial tentang gambaran Islam awal, khususnya yang berkaitan dengan hukum Islam. Dia memosisikan ahli hukum seperti halnya seorang seniman yang sedang berkarya, mereka menggunakan banyak bahan dari masa lalu atau masa sekarang untuk membuat karya seni. Sehingga susah dikotakkan dan dikategorisasikan. Tidak tau lagi mana yang asli dan mana yang bukan. Dia mengatakan bukunya ini tentang “The Art of Islamic Jurisprudence”.
Selain ahli hukum Islam, Salaymeh juga ahli hukum Yahudi, sehingga dia mengkritik anggapan yang menyatakan tradisi Islam dipengaruhi oleh Yahudi. Anggapan seperti itu didasarkan karena pendekatan yang digunakan selalu ingin nyari yang asli (search of origins). Sebab agama Yahudi dianggap lebih dahulu dari Islam, ketika melihat praktik dan tradisi yang sama, langsung diambil kesimpulan yang terakhir dipengaruhi oleh sebelumnya, tanpa didukung fakta dan data yang kuat.
Salaymeh mengajar di Tel Aviv University, posisi dia terhadap konflik Palestina dan Israel cukup tegas. Dalam diskusi online bersama Johanna Pink, dalam slide presentasinya diselipkan kritikan dia terhadap pendekatan agama dalam memahami konflik Palestina dan Israel, terutama pendekatan agama ibrahim, yang menjadikan Islam, Yahudi, Kristen sebagai rumpun yang satu. Tanah Palestina dinarasikan sebagai tempat lahirnya banyak agama. Narasi ini masalahnya kerapkali melupakan adanya problem antara penjajah dengan yang dijajah.