Lembu Merah dan Bara di Timur Tengah

Lembu Merah dan Bara di Timur Tengah

Sejarah peperangan dan konflik mengajarkan pada kita bahwa konflik besar dan lama tak jarang dipicu hal-ihwal yang terlihat sepele.

Lembu Merah dan Bara di Timur Tengah
Palestina tidak sendirian, ada Indonesia. Pict by AFP

Apa jadinya jika seekor lembu menyulut perang yang sudah membara di Timur Tengah? Bahkan bisa jadi lembu itu juga yang memicu perang besar, semacam perang dunia ke tiga atau Armagedon? Sepertinya skenario itu hanya ada dalam komik dan dunia khayalan. Sekilas sangat tidak masuk akal binatang bisa memicu konflik luar biasa karena binatang bukanlah sumber daya yang penting dan langka.

Tapi apa yang dikhawatirkan di atas bukanlah isapan jempol. Sejak konflik meletus di Palestina, kekhawatiran meluasnya konflik tersebut ke luar wilayah itu dipicu oleh rencana para ekstremis Zionis untuk mendirikan Kuil Ketiga di tempat yang sekarang berdiri Masjidil Aqsa dan Rock of Dome. Kuil Ketiga sendiri diyakini sebagai kebangkitan kembali umat Yahudi dan menandai akhir zaman.

Kuil Ketiga haruslah berdiri di atas reruntuhan Kuil Kedua Yahudi, yang juga dinamai sebagai Kuil Herod, yang hancur kurang lebih pada tahun 7 Masehi, dalam konflik mereka dengan Kekaisaran Romawi.

Kuil Kedua ketika akan didirikan haruslah melalui tahapan purifikasi, atau persucian. Dan untuk melakukan persucian itu, menurut klaim zionis merujuk pada tradisi Yahudi, haruslah disucikan dengan abu bakaran binatang Lembu atau Sapi Merah, binatang yang dalam tradisi Yahudi disebut para adumma. Hanya melalui tahap penyucian itu para Rabi dan Umat Yahudi bisa masuk ke reruntuhan Kuil

Sapi atau Lembu merah yang disyaratkan untuk ritual itu tentu bukan sapi sembarangan. Lembu itu haruslah lembu yang tiada cacat, tak pernah hamil dan diperah susunya, tak pernah dipakai membajak atau pekerjaan lain. Warna merahnya harus sempurna, tidak boleh ada selembar pun bulunya yang berwarna lain.

Tentu saja, bagi umat Islam di Indonesia, cerita lembu merah itu tidak sepenuhnya asing. Kita tahu, cerita itu dengan versi yang sedikit berbeda disebutkan dalam surat kedua Al-Qur’an. Surat itu sendiri dinamakan dengan surat Al-Baqarah, atau Sapi Betina. Dalam Al-Quran, berbeda dengan Bible, sapi yang disembelih berwarna “kuning terang dan menyenangkan mata jika dipandangnya.”

Dalam surat Al-Baqarah, Al-Quran memaparkan cerita umat Nabi Musa yang disuruh menyembelih sapi untuk menebus dan menyucikan dosa mereka. Namun alih-alih melaksanakan perintah Allah, umat Musa malah bertanya berkali-kali tentang kriteria sapi yang seharusnya mereka sembelih: apa warnanya, apa jenisnya, berapa usianya, bagaimana kondisinya (Al-Baqarah 67-71).

Dalam tradisi Yahudi sendiri, secara historis hanya pernah ada 9 sapi seperti itu yang disembelih sejak zaman Musa sampai keruntuhan Kuil Kedua mereka pada tahun 7 Masehi. Lembu itu adalah lembu yang sangat langka dan harus lahir di tanah suci mereka.

Setelah menanti hampir 2000 tahun, kelompok ekstremis Yahudi yang berfokus pada usaha pendirian kembali Kuil Herod, Temple Institute, pada tahun 2022 mengumumkan mereka sudah menemukan calon lembu yang dicari itu. Lembu itu ditemukan di Texas, Amerika. Konon lembu itu dengan sengaja dilahirkan dengan rekayasa genetika agar memenuhi kriteria kitab suci mereka.

Usaha pencarian lembu merah itu sendiri di dukung oleh sebagian kelompok Kristen Evangelis di Texas yang meyakini kejayaan Israel sebagai prasyarat datangnya kembali Mesiah.

Lembu Merah dan Lumuran Darah

Tak banyak diketahui di Indonesia bahwa eskalasi di Palestina terjadi setelah kelompok ekstremis Zionis lewat Temple Institute memprovokasi lewat rencana ritual penyembelihan Lembu Merah di Yerusalem. Ritual itu diperlukan untuk memulai tahapan pendirian Kuil Ketiga diatas reruntuhan Kuil Kedua yang secara kebetulan sekarang berdiri Mesjid Al-Aqsa.

Pada 7 Agustus 2024, beberapa media, termasuk Middle East Eye melaporkan sejumlah Zionist radikal melakukan provokasi dengan mempersiapkan ritual penyembelihan lembu merah di dekat Mesjid Al-Aqsa. Provokasi itu bukan yang pertama. Pada Agustus 2023 Middle East Monitor menerbitkan opini Muhammad Balawi yang mengkhawatirkan eskalasi terjadi di Palestina menyusul provokasi kelompok Zionist di Yerusalem. Balawi sendiri merujuk pada berita-berita lokal di Israel yang melaporkan percepatan persiapan rencana “Yahudiasi Yerusalem” (Balawi: 2023)

Kekhawatiran Balawi dan banyak pengamat di Timur Tengah bukan tanpa alasan. Benjamin Nethanyahu selama ini berkuasa melalui koalisi dengan kelompok ultra kanan radikal zionist. Hampir semua posisi penting pemerintahan dipegang oleh kelompok Ultra Kanan itu. Tak aneh jika rencana kelopok Temple Institute untuk mendirikan Kuil Ketiga dan menghancurkan Mesji Al-Aqsa didukung penuh oleh mereka.

Kita tahu, kekhawatiran Balawi segera terbukti. Tak lama berselang, pada 7 Oktober 2023, Hamas melancarkan serangan mendadak ke beberapa kantong penduduk Israel di dilayah perbatasan Gaza. Setidaknya merujuk pada keterangan video petinggi Hamas yang tersebar di media sosial X dan dimuat ulang di Al-Jazeera, serangan Hamas itu adalah reaksi atas rencana penyembelihan Lembu Merah di Yerusalem.

Kita tahu, serangan itu memicu kehancuran luar biasa di Gaza. Kehancuran yang secara jelas telah disebut sebagai Genosida. lebih 40,000 orang Palestine terbunuh dalam konflik itu. Gaza rata dengan tanah. Israel telah sepenuhnya menghiraukan semua instrumen perlindungan yang dengan jelas diatur dalam hukum internasional. Dan sepertinya eskalasi tidak akan mereda meski Dewan Keamanan telah mengeluarkan resolusi gencatan senjata.

Alih-alih menghentikan gencatan senjata, sepertinya momentum perang di Gaza malah digunakan oleh para ekstremis Yahudi untuk mempercepat proses pelaksanaan ritual penyembelihan Lembu Merah di altar Yerusalem.

Altar penyembelihan bahkan sudah di bangun di sebuah bukit tak jauh dari bukit tempat berdirinya Masjid Al-Aqsa (CBS News, Maret 2024).

Pelajaran buat kita

Sebagai sarjana yang mendalami studi konflik dan perang, saya melihat apa yang terjadi di Palestina terkait kontroversi Lembu Merah sebagai sesuatu yang tidak sepenuhnya asing.

Sejarah peperangan dan konflik mengajarkan pada kita bahwa konflik besar dan lama tak jarang dipicu hal-ihwal yang terlihat sepele. Perang Basus, perang paling lama dalam literatur Arab pra-Islam, misalnya, dipicu oleh penyembelihan unta tanpa izin milik seorang perempuan bernama Basus. Perang antara dua etnis besar itu berlangsung selama 40 tahun.

Perang lain, Dahis wa al-Ghubra, juga antara dua etnis besar di Arab pra-Islam, juga dipicu cekcok dalam pacuan kuda. Perang Dahis wa Al-Ghubra juga berlangsung 40 tahun.

Dalam sejarah Amerika dikenal Perang Babi (Pig War) yang terjadi tahun 1859 di Pulau San Juan antara pasukan Amerika dan Inggris. Perang itu dipicu penembakan babi di pulau itu oleh salah satu kelompok. Untungnya perang itu segera berhenti lewat kesepakatan.

Pemicunya selalu saja sikap ekstrem dalam menyikapi dan bereaksi. Hamas dianggap berlebihan menanggapi isu pengorbanan Lembu Merah di Yerusalem, pada saat yang bersamaan ekstremis Zionis tak henti-henti bersikap arogan dan tidak peduli bahwa Mesjid Al-Aqsa adalah tempat suci 2 milyar orang di Bumi. Rencana mereka untuk menghancurkan mesjid itu dan mendirikan Kuil tentu akan menyebabkan konflik besar di dunia. Dan semua pihak tentu harus berpikir berkali-kali untuk melakukan itu.

Kita berharap semoga Lembu Merah itu tak terus menjadi penyebab pertumpahan darah. Wallahu’alam