Budiman Sudjatmiko baru-baru ini merekomendasikan agar pemilihan presiden di Indonesia pada tahun 2024 dilaksanakan dalam satu putaran saja. Hal ini menimbulkan kebutuhan untuk melakukan analisis yang mendalam dan berbasis ilmu pengetahuan terhadap usulannya tersebut. Tulisan ini bermaksud untuk menggali dasar-dasar argumennya, menilai secara kritis alasan-alasan yang mendukung advokasi pemilu satu putaran, dan secara metodis memeriksa konsekuensi geopolitik yang lebih luas dari posisi ini, terutama dengan mempertimbangkan proses pemilu paralel yang terjadi di negara-negara seperti Taiwan, Rusia, Inggris, India, dan Amerika Serikat. Melalui analisis ini, kami bertujuan untuk menawarkan perspektif yang informatif mengenai potensi dampak dan implikasi penerapan sistem pemilu satu putaran dalam lanskap demokrasi Indonesia.
Pertama, pernyataan Budiman bahwa pemilu satu putaran bukan hanya sebuah pilihan, melainkan sebuah keharusan bagi pasangan Prabowo-Gibran, pada dasarnya memiliki kelemahan. Pemilu adalah fondasi pemerintahan yang demokratis, menyediakan platform untuk beragam opini politik dan memastikan representasi yang adil dari kehendak rakyat. Dengan mendorong pemilihan satu putaran, Budiman mengabaikan prinsip demokrasi yang penting, yaitu memberikan kesempatan yang sama kepada semua kandidat dan partai untuk mempresentasikan kebijakan mereka dan bersaing untuk mendapatkan dukungan publik.
Pendekatan ini tidak demokratis dan merusak kedewasaan politik dan kemampuan mengambil keputusan dari para pemilih di Indonesia. Pendekatan ini mengandaikan bahwa para pemilih tidak dapat membuat keputusan yang tepat dalam proses yang berpotensi berlangsung dalam beberapa putaran, sehingga menghilangkan hak demokratis mereka untuk mengubah preferensi mereka berdasarkan wacana politik yang berkembang. Selain itu, sistem ini meniadakan nilai pluralitas politik dan perdebatan, yang sangat penting dalam demokrasi yang dinamis.
Demokrasi, pada intinya, adalah tentang memberikan pilihan dan suara kepada rakyat. Seruan untuk pemilihan satu putaran, seperti yang diperjuangkan oleh Budiman, tidak hanya mengurangi pilihan-pilihan ini tetapi juga secara implisit menunjukkan hasil yang telah ditentukan sebelumnya, yang menguntungkan tiket Prabowo-Gibran. Sikap ini melemahkan esensi dari kompetisi yang adil, sebuah aspek fundamental dari proses demokrasi. Sistem pemilihan multi-putaran memastikan bahwa pemimpin terpilih memiliki dukungan seluas mungkin, yang mencerminkan konsensus di antara para pemilih yang beragam. Hal ini sangat penting di Indonesia, dengan keragaman etnis, budaya, dan ideologi politik.
Dari sisi geopolitik, alasan Budiman bahwa pemilu dua putaran hanya akan membuang-buang waktu untuk menyusun geopolitik dan geostrategi juga sama rabunnya. Fondasi geopolitik yang kuat terletak pada legitimasi dan stabilitas lingkungan politik dalam negeri suatu negara. Proses pemilu yang terburu-buru atau terkendala, seperti yang diusulkan oleh Budiman, dapat menimbulkan pertanyaan tentang legitimasi hasil pemilu, yang berpotensi mengacaukan lanskap politik Indonesia. Ketidakstabilan ini dapat, misalnya, melemahkan posisi Indonesia dalam negosiasi dengan negara lain atau membuatnya lebih rentan terhadap tekanan eksternal.
Selain itu, penekanan Budiman terhadap pentingnya aspek geopolitik dalam mendukung Prabowo dan mengabaikan isu-isu domestik penting lainnya adalah perspektif yang sempit. Meskipun hubungan internasional tidak dapat disangkal penting, hal tersebut tidak boleh menutupi masalah domestik yang mendesak yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia, seperti kesenjangan ekonomi, pembangunan infrastruktur, dan kesejahteraan sosial. Sebagai contoh, fokus pada geopolitik dalam pemilu dapat mengalihkan sumber daya dan perhatian dari isu-isu krusial ini. Kepemimpinan yang efektif harus menyeimbangkan prioritas domestik dan internasional, dan proses pemilu harus mencerminkan keseimbangan ini.
Konteks global di mana Budiman menempatkan argumennya juga menuntut pengawasan. Dia menunjukkan bahwa beberapa negara penting, termasuk Taiwan, Rusia, Inggris, India, dan Amerika Serikat, akan menyelenggarakan pemilu pada tahun 2024. Namun, menggunakan hal ini sebagai pembenaran atas pemilu di Indonesia adalah penyederhanaan yang berlebihan terhadap dinamika internasional yang kompleks. Proses pemilu di setiap negara mencerminkan konteks politik, sosial, dan sejarahnya yang unik. Kebetulan saja bahwa ada beberapa pemilu dalam satu tahun tidak dapat dijadikan alasan substantif untuk mengubah proses demokrasi di suatu negara.
Selain itu, pernyataan bahwa pemilihan umum dua putaran akan menghalangi kemampuan Indonesia untuk menavigasi perairan internasional adalah spekulatif. Lanskap geopolitik terus berubah, dan kelincahan untuk beradaptasi dengan perubahan-perubahan ini merupakan ciri khas kebijakan luar negeri yang efektif. Pemilu yang demokratis, baik dalam satu atau dua putaran, tidak boleh dianggap sebagai hambatan, melainkan sebagai kesempatan bagi Indonesia untuk menunjukkan komitmennya terhadap nilai-nilai demokrasi di panggung dunia.
Usulan Budiman Sudjatmiko untuk pemilihan presiden satu putaran di Indonesia bukan hanya tidak sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, tetapi juga merupakan pendekatan yang terlalu menyederhanakan realitas geopolitik yang kompleks. Demokrasi tumbuh subur di atas keragaman, perdebatan, dan kemampuan pemilih untuk mengambil keputusan yang tepat. Kekuatan kebijakan luar negeri suatu negara berasal dari legitimasi dan stabilitas pemerintahan dalam negerinya. Indonesia, sebagai negara demokrasi yang sedang berkembang dan pemain kunci di Asia Tenggara, harus menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi ini, baik untuk kepentingan warga negaranya maupun untuk posisinya di komunitas global. (AN)