Pada 1990-an, cerita ini pernah disampaikan oleh Emha Ainun Nadjib dalam salah satu sesi renungan di radio. Belakangan cerita ini disampaikan oleh Gus Baha’ (KH. Baha’uddin Nur Salim) di salah satu pengajiannya.
Diceritakan pada zaman kenabian, persisnya Nabi Musa ‘alaihissalam. Kala sedang memimpin kaumnya menjauh dari kejaran Firaun, Musa tiba-tiba sakit perut. Geram dia. Bisa-bisanya di saat serius, genting dan mencekam malah sakit perut. Naluri seorang nabi membuatnya langsung nyetel (komunikasi) dengan Tuhan. Lalu dia berdoa, meminta nasehat kepada Tuhan:
“Ya Allah berilah hamba petunjuk, obat yang paling mujarab untuk sakit perutku ini”
“Situasi sedang genting, jangan biarkan sakit perut tak penting ini, menjadi lelucon”. Kira-kira seperti itu doanya.
Tak berselanglama, Tuhan berkata:
“Hai Musa, kamu naiklah ke bukit itu, di dekat tempatmu sekarang”
“Di sana akan kau temukan rumput dengan ciri-ciri seperti ini” Tuhan memberikan detail suatu rerumputan tertentu.
“Ambil itu, lalu kunyah beberapa helai!”
Tanpa keraguan, Musa bergegas. Mencari obat sebagaimana wahyu yang didapatnya. Benar saja. Memang ada rumput seperti apa kata Tuhan. Diambilnya sehelai demi sehelai, kemudian dikunyah secukupnya. Persis seperti dugaan, sakit perut yang dialami Musa sembuh seketika.
Perjalanan berlanjut. Tapi tak lama berselang, ‘sakit perut’ Musa kambuh lagi. Karena jarak belum seberapa jauh dengan bukit tempat rerumputan obat perut sebelumnya, tanpa banyak pertimbangan, Musa bersegera menuju tempat yang sama. Mengambil berhelai-helai rumput yang sama. Dikunyahlah rumput itu. Anehnya, sampai terkunyah berhelai-helai yang bahkan lebih banyak dari sebelumnya, sakit perut tak lekas sembuh. Akhirnya Musa berhenti. Kembali memanjatkan doa, “Ya Allah, kenapa sakit perut ini tak membaik setelah kumakan rumput, obat sakit perut?”
Setelah agak lama, Musa mendapat jawaban:
“Tadi, kau sakit perut berdoa minta obat padaKu, lalu Ku-beri obat”
“Setelah itu, kau sakit lagi, kau obati sendiri”
“Tak berdoa pada-Ku”
“Apakah sebegitu manjurnya rumput, sampai kau lupa berdoa pada-Ku?”
Selain sebagai anekdot, cerita tersebut memiliki implikasi hermeneutis bahwa Tuhan selalu hadir dari balik ‘keremehan’ fenomena. Dalam bahasa Heidegger, tampak di dalam ketersembunyian sekaligus bersembunyi dalam ketertampakan. Di dalam sistem pemikiran religius, cerita Musa tersebut akan mudah dipahami, sekaligus berimplikasi praktis bila direnungkan. Pertanyaannya, bagaimana cerita doa Musa ini bisa relevan dengan konteks kekinian?
Bila dilakukan pembedahan hermeneutis Ricoeurian, kisah Musa ini bisa ditafsirkan menjadi tiga tahap pemaknaan: tahap distansiasi teks, tahap otonomi teks dan kontektualisasi teks.
Distansiasi berlaku untuk menarik satu teks (kisah atau narasi) dari lokus asalnya yang telah tertutup debu zaman. Otonomi teks, berlaku untuk mendudukkan teks sebagai ‘netral’ untuk ditafsirkan. Tidak harus selalu terikat konteks mula. Lalu terakhir, kontekstualisasi adalah upaya mengekstraksi teks supaya empan-papan dengan kekinian pembaca.
Dalam ruang tulisan yang terbatas ini, jelas tidak memadai untuk melakukan tafsiran rinci dan mendalam. Tapi cukup untuk sebatas tafsir ‘cicilan’. Setelah didistansi, teks kisah Musa dapat dimaknai sebagai:
- Adanya tokoh utama cerita, yaitu Musa;
- Fenomena sakit perut;
- Problem solving masalah;
- Hasil akhir, kesembuhan penyakit.
Lalu, di tahap otonomi teks akan akan dapat dipahami:
- Figur yang bisa berkomunikasi dengan Tuhan;
- Adanya masalah keseharian, bisa sakit tubuh, pekerjaan, asmara, politik, dst.;
- Cara penyelesaian masalah;
- Hasil yang didapatkan dari penyelesaian masalah.
Selanjutnya, di tahap kontekstualisasi bisa ditarik pemaknaan:
- Seseorang yang menjadi representasi wakil Tuhan;
- Virus Corona atau COVID-19, contoh kasus;
- Meminta petunjuk dari Tuhan dan usaha real ikhtiyariah berupa memakai masker, phisichal distancing, menjaga imunitas tubuh, dst.;
- Hasil pasca Corona.
Dalam diskursus hermeneutika Paul Ricoeur, makna kontekstual adalah maksud sebenarnya dari proses penafsiran sebuah kisah (teks). Jadi, kita bisa mulai berfokus pada empat makna terakhir.
Perkara utama adalah variabel pertama: figur yang akrab dengan Tuhan. Memang tidak sulit untuk menerima logika, bahwa seorang nabi bisa mengakses ‘kalam ilahi’, tetapi di zaman kini, adakah? Bukankah Muhammad Saw. adalah penutup wangsa kenabian? Artinya tidak mungkin lagi ada nabi di zaman ini. Lalu, siapa wakil Tuhan kini?
Secara sederhana, pertanyaan di atas bisa diredam dengan sebuah pertanyaan: bagaimana status dan kinerja Jibril saat ini, dikala para nabi sudah tidak ada lagi? Meminjam diksi Emha (Cak Nun), apakah Jibril telah-sedang pensiun? Bukankah para malaikat hanya dicipta untuk bekerja, bekerja dan bekerja menjalankan tugas? Mereka tak pernah istirahat, karena memang tidak butuh istirahat. Saya punya jawaban itu, tapi tidak perlu dikatakan di sini.
Generasi kekinian bisa dibaca melalui karakter zaman terkini, berupa: kemudahan akses informasi; kebutuhan, keinginan dan rutinitas hidup yang kompleks; sentralnya data-data obyektif; dan spesialisasi keahlian. Informasi yang berseliweran, bertemu dengan rutinitas hidup yang padat, dicampur dengan banyaknya spesialisasi-spesialisasi yang mengaku ahli, menjadikan generasi ini tambah hari semakin ambyar.
Generasi ambyar ini memikirkan terlalu banyak hal, menganggap penting terlalu banyak hal, sampai lupa apa tujuan hidup yang sesungguhnya. Generasi ini yang tak lain adalah kita sendiri, mulai melupakan ‘perkara terpenting’ dari hidup, yaitu: memahami, memaknai, dan melakoni prinsip la ilaha illallah Muhammad rasulullah. Keberagamaan kita adalah keberagamaan rutinitas. Rutin shalat, rutin ikut kajian, rutin bekerja, rutin senggama, tapi lupa pada “makna”. Lupa pada isi segala rutinitas tersebut.
Saya kira, sudah waktunya bagi kita—ketika distancing digemakan di mana-mana—untuk mencari-cari frekuensi makna ‘kalam Tuhan’. Apakah kita yakin Allah sebegitu tega, yang Dia adalah rahman-rahim, meninggalkan manusia berjalan sendiri menata semesta? Saya kok lebih optimis dengan anggapan bahwa sebenarnya, Allah—dalam ujaran kias kasar—sangat ‘cerewet’ sebagaimana ibu kita. Selalu berkata begini-begitu tanpa henti, kepada kita, karena kasih sayang-Nya. Hanya saja kita terlalu ambyar sampai lupa untuk sekadar berhenti memahami kalam-Nya. Begitu saja. Ketika variabel ini transparan, untuk variabel makna selanjutnya, akan terpahami dengan sendirinya. Wallahu a’lam.