Dalam beberapa kesempatan, Mbak Alissa Wahid, putri pertama Gus Dur, mengisahkan sebuah protes. Ia bersama adik-adiknya protes kepada ketika sang bapak mau menerima mandat sebagai Presiden RI ke-4. Tentu saja, bisa dipahami mengapa anak-anak itu protes. Menjadi anak Gus Dur berarti harus siap menerima sanjungan hingga hinaan. Apalagi, ketika si Bapak menjadi presiden di masa transisi politik, di saat bahkan ular berbisa pun bisa berlagak seperti reformis sejati. Yang paling meresahkan anak-anak itu tentu saja adalah hilangnya kemewahan sebuah privacy keluarga, kontak intens antara anak dengan bapak. Menjadi anak presiden di era seperti itu tak mungkin membayangkan kemewahan hidup dan keistimewaan layanan, apalagi presidennya adalah Gus Dur.
Menjawab protes anak-anaknya itu, kata Mbak Alissa, Gus Dur mencoba memberi pengertian, bahwa Gus Dur harus memanggul beban ini karena kalau tidak, Indonesia akan pecah. Perjuangan rakyat dan mahasiswa yang sudah turun ke jalan berbulan-bulan akan sia-sia jika tidak ada yang mengawalnya. Indonesia ibarat kapal yang tengah berlayar mengarungi amukan gelombang samudra. Bahtera Indonesia sedang dipertaruhkan: remuk atau selamat sampai tujuan. Jadi, menjadi presiden bagi Gus Dur bukan pemenuhan sebuah ambisi, tapi panggilan suci.
Beberapa kali saya mendengar kisah itu. Saya memercayainya, sungguh memercayainya. Tapi hanya sebatas itu. Tak kurang, tak lebih. Tak ada hati yang tergetar, tak ada dada yang berdebar. Bahkan, ketika ada cerita seorang sahabat Gus Dur bertanya kepada beliau, apakah dia sakit hati dilengserkan dari kepresidenan, dan Gus Dur menjawab ‘tidak’, dan si sahabat itu berkelakar, “Yang bener?”
Kisah itu pun hanya menjadi bahan kelakar di antara kami. Saya yakin Gus Dur tidak tersinggung apalagi marah kami berkelakar tentang penjatuhannya, bukankah salah satu keahliannya adalah menertawakan dirinya sendiri.
Baru kini, setelah semua permufakatan jahat penjatuhannya terbongkar dalam buku Menjerat Gus Dur, saya merenung kembali dan membatinkannya ke kedalaman hati, tentang kejujurannya dalam merespon protes putri-putrinya. Dia sama sekali tak mengambil kesempatan untuk menjadi presiden karena gila kekuasaan, tapi penggilan perjuangan sebagai seorang demokrat yang harus menyelamatkan negaranya dari para pembajak yang juga duduk di kapal yang sama.
Baru kini, setelah semua kebusukan terbongkar melalui dokumen yang nyaris dikilokan, saya menyadari dengan sepenuh hati makna ungkapannya: “Tidak ada jabatan di dunia ini yang perlu dipertahankan mati-matian.” Ketika para pendukungnya siap mati untuknya, Gus Dur memerintahkan untuk pulang ke rumah, dan bekerja seperti biasanya. Baginya, tak perlu ada yang mati untuknya, apalagi jika kematian itu untuk mempertahankan sebuah jabatan dunia.
Baru kini, setelah sembilan belas tahun berlalu dari keculasan politik yang berujung penjatuhannya, saya menyadari bahwa ia sengaja menempatkan dirinya sebagai lilin. Ia sadar bahwa kekuasaan itu adalah api yang akan membakar tubuhnya. Sekalipun demikian, dia tetap memilihnya karena dalam situasi gelap, di mana banyak orang yang tak sanggup membedakan antara kebenaran dan kesalahan, memilah kejujuran dari keculasan, dia harus menyalakan cahaya. Bahkan, ketika cahaya itu harus membakar dirinya.
Sejarah akhirnya mencatat, MPR yang saat itu dipimpin Amien Rais menggelar Sidang Istimewa dengan agenda memberhentikan Gus Dur dari kekuasannya sebagai Presiden RI ke-4. Peristiwa ini diawali dengan keluarnya nota pertama pada 1 Februari 2001, kemudian disusul nota kedua pada 30 April 2001, disertai permintaan DPR (saat itu diketuai Akbar Tanjung) kepada MPR untuk mengadakan Sidang Istimewa. Dan, Gus Dur pun diturunkan.
Peristiwa itu tetap membekas di benak banyak orang karena campuran perasaan haru dan pemandangan lucu. Gus Dur menyapa pendukungnya melalui jendela istana negara dengan memakai celana kolor.
Tiga tahun setelah pelengserannya, tepatnya pada 11 Maret 2004, dia menulis sebuah artikel yang berjudul Pemimpin dan Kepemimpinan. Di dalamnya dia mengulas sejarah kepemimpinan nasional mulai sebelum kemerdekaan hingga era Reformasi. Salah satu paragrafnya tertulis sebagai berikut:
“Ketika “reformasi” lahir tahun 1998, orientasi baru yang tidak otoriter belum sampai membentuk pemerintahan yang benar-benar demokratis. Yang tercapai hanyalah pemerintahan quasi demokrasi (seolah-olah demokrasi), dengan akibat “menghilangnya” para pejuang demokrasi, dan para pemimpin dengan kepemimpinan mereka dari roda pemerintahan. Pemerintahan akhirnya jatuh ke tangan mereka yang berambisi politik sangat besar tetapi tidak memiliki kepemimpinan dengan orientasi yang benar. Mereka hanya memikirkan kekuasaan golongan sendiri, dan mencari keuntungan sebesar-besarnya bagi kelompok sendiri, tentu saja dengan mengorbankan kepentingan orang banyak.”
Tahun 2004, ketika tulisan itu muncul, banyak yang melihatnya tak lebih dari ungkapan kekecewaan Gus Dur karena “kalah” dalam pertarungan politik. Paragraf sejelas itu dianggap tidak lebih dari sekedar ratapan, atau paling jauh, sekadar ulasan subjektif dari seorang politisi dalam menilai lawan politiknya.
Baru kini, setelah terbongkar konspirasi jahat para oligark, kita menyadari bahwa melalui tulisan di atas, Gus Dur sebetulnya menyuarakan sebuah kebenaran bahwa reformasi politik tak selalu berujung tegaknya demokrasi. Ketika para pejuang demokrasi sejati dilenyapkan dan kepemiminannya dihancurkan, pemerintah akhirnya jatuh ke tangan politisi yang hanya mementingkan kekuasaan.
Para politisi ini akan mengeruk keuntungan, sekalipun dengan mengorbankan kepentingan rakyat. Rakyat hanya menjadi bahan jualan saat merebut kekuasaan, yang segera akan ditinggal dan dilupakan setelah kekuasaan ada di tangan. Tak ada demokrasi. Yang tersisa adalah pesta para oligark.
Terhadap itu semua, Gus Dur menjadikan dirinya sebagai lilin yang memberi cahaya, menunjukkan arah. Dan kini, Gus Dur kembali menyalakan cahaya melalui dokumen yang teronggok, bahwa dia disingkirkan bukan karena kesalahan, tapi karena dianggap penghalang bagi para oligark yang tidak rela kekuasaan dan keuntungannya berkurang.[]