Laela Khaled, Potret Pejuang Perempuan Revolusioner di Palestina

Laela Khaled, Potret Pejuang Perempuan Revolusioner di Palestina

Laela Khaled, Potret Pejuang Perempuan  Revolusioner di Palestina

“Saya mewakili rakyat Palestina, bukan mewakili perempuan.”  Leila Khaled

 

Pas di hari libur Imlek tahun 2016 kemarin, saya mendapatkan satu buku yang sangat menarik berjudul Leila Khaled (Kisah Pejuang Perempuan Palestina) yang ditulis seorang jurnalis bernama Sarah Irving. Saya melakukan riset sedikit melalui Paman Google, untuk mengetahui kenapa penerbit Marjin Kiri mau menerbitkan buku ini.

Dari pencarian ini, melalui Leila Khaled, pengetahuan saya bertambahb akan perlawanan rakyat Palestina terhadap penjajahan Zionis. Selama ini dalam pikiran kita adalah Hamas, Fatah, perang yang tidak seimbang antara batu dan peluru, syahidnya seorang pria, ibu-ibu yang melahirkan para syahid, akan bertambah. Leila Khaled adalah seorang perempuan yang juga berjuang melawan penjajahan Zionis dengan mengangkat senjata.

Perjuangan seorang perempuan bernama Leila Khaled di Palestina tidak terlalu tampak ke permukaan, selain peran media Barat yang mencapnya sebagai teroris. Namun juga karena dua hal ini; Leila adalah perempuan yang berada dalam dominasi nilai patriarkal, dan berhaluan Kiri. Leila yang memajang poster Che Guevara di kamarnya yang telah lama ia idolakan, selain itu ia juga membaca beberapa tokoh ideolog kiri seperti Franz Fanon, Mao Zedong, Kim Il Sung, dan tentunya Che Guevara.

Ketika Leila bersekolah setingkat menengah, ia disekolahkah di Sekolah Kristen Evangelis, di sinilah Leila mendapatkan pelajaran penting di mana perbedaan antara Zionis, Israel dan Yahudi. Dan di sini juga ia sudah memilih untuk melakukan perlawanan dengan mengangkat senjata untuk membebaskan Palestina.

“Betapa dalam gerakan, ada yang lebih dari sekadar menulis, menyebar pamflet, berdemo, atau berorasi” inilah pilihan dari seorang Leila Khaled, sebuah pilihan yang akan membawanya ke tempat pelatihan paling berat di perbatasan Lebanon dan Palestina.

Tekad kuat dari Leila Khaled tak pernah luntur sejak pertama kali ditugaskan di depan pertempuran antara Palestina dan Zionis sebagai pengantar roti untuk para pejuang, sejak itulah gelora untuk melawan Zionis makin tinggi.

Perjuangan Leila Khaled atas rakyat Palestina melebihi perjuangannya atas memperjuangkan nasib perempuan di tengah keadaan perang. Leila Khaled menganggap bahwa memperjuangkan kemerdekaan atau hak pulang dari seluruh rakyat Palestina lebih utama dibanding memperjuangkan nasib perempuan.

George Habash sebagai pendiri PLFP, partai kiri di mana Leila Khaled bernaung, pernah meminta Leila untuk menjadi utusan partai dalam Serikat Umum Perempuan Palestina, dan Leila pun menjawab dengan sangat enggan.

“Aku menolak,” kata Leila Khaled. Kemudian Leila menjelaskan, “Kubilang pada mereka, aku ini prajurit, aku mau pegang senjata.”

Partai menjawab, “Kau juga seorang perempuan, kau harus memperjuangkan hak-hak perempuan.”

Leila pun menegaskan, “Aku tidak bisa melakukannya, itu adalah sebuah misi yang di luar jangkauanku, dan aku tidak menyukainya.”

Ada dua pelajaran menakjubkan yang bisa kita ambil dari seorang Leila Khaled. Pertama, Leila adalah seseorang yang menolak pencitraan akan dirinya, yang terkenal setelah melakukan pembajakan, dia lebih memilih untuk menjadi komando lapangan yang terus bergerak untuk mencapai cita-citanya dan seluruh rakyat Palestina yaitu kemerdekaan Palestina.

Kedua, Leila adalah manusia biasa yang tahu bahwa perjuangan memerdekakan Palestina bukan hanya tugas dia, juga tugas seluruh bangsa Palestina. Ada sebuah pernyataan terkenal dari seorang Leila Khaled, “Kupikir ini tak akan terjadi dalam hidupku, tapi kelak, di generasi berikutnya.”

Leila Khaled mengatakan sambil bergurau, “Pensiun? Pensiun dari apa? Aku baru akan pensiun kalau sudah kembali ke Haifa.” Pernyataan ini menyiratkan semangat yang tidak pernah padam untuk memperjuangkan kemerdekaan atau hak pulang dari rakyat Palestina atas Zionis.

Sampai sekarang seluruh rakyat Palestina yang terusir selalu merindukan tanah airnya, tak terkecuali Leila Khaled yang juga masih membayangkan tanah kelahirannya dan rindu kembali kesana. “Bilamana aku pulang ke Palestina, aku akan tidur di bawah pohon jeruk selama tiga hari,” demikianlah kenang seorang Leila Khaled.”

Perjuang Perempuan: Dilupakan Atau Terlupakan?

Kalau kita mencoba menghitung kisah pejuang perempuan di belahan dunia manapun, kemungkinan besar tidak akan menyentuh separuh pejuang lelaki. Cerita Laela Khaled yang sangat patriotik di Palestina sebenarnya pernah terjadi di Aljazair dengan seorang perempuan yang dulu diberi gelar “Srikandi” Aljazair di sebuah judul “Djamila Srikandi Aldjazair”.

Nama lengkapnya adalah Djamila Bouhirerd, seorang anak negeri Aljazair yang lahir dari keluarga kelas menengah. Djamila juga dikenal sebagai pejuang kemerdekaan Aljazair ketika melawan penjajahan Perancis. Jiwa perlawanan seorang Djamila sudah terlihat sejak ia masih kecil, di saat dia sekolah di sekolah milik Perancis, setiap anak didik mereka diwajibkan untuk mengucapkan “Perancis adalah negara induk kami”, maka ia berteriak dengan sangat lantang “Aljazair adalah negara kami”.

Hukuman yang dia terima tak menyurutkan semangat perlawanan melawan kolonialisme yang sangat marajalela di masa itu. Dia pun bergabung ke sebuah gerakan bawah tanah memperjuangkan sebuah kemerdekaan dari Aljazair dari penjajahan Perancis. Pada Juli 1957, Djamila pernah ditangkap oleh Perancis karena dituduh merencanakan sebuah aksi massa namun sebelum aksi tersebut terlaksana, Djamila keburu ditangkap oleh pihak Perancis. Saat diintrogasi, Djamila selalu menyebut “Aljazair adalah negara kami” dan tak pernah berhenti.

Dari dua cerita tokoh pejuang perempuan di atas, adalah sebuah potret pejuang revolusioner masa kini yang mengangkat senjata melawan sebuah ketertindasan. Marjin Kiri sebuah penerbit yang sangat berharga mengangkat sisi pejuang perempuan Palestina yang jarang sekali terangkat apalagi berhaluan kiri. Buku ini dibaca sangat enak, karena ditulis oleh seorang wartawan yang sangat cerdas dalam menuliskan sebuah biografi seorang pejuang hingga bisa terasa semangat perjuangannya.

Kisah pejuang perempuan sangatlah diceritakan tidak sesering cerita pejuang laki-laki, kisah mereka sering tenggelam dalam cerita-cerita heroik dari para laki-laki. Padahal dalam perjuangan mereka baik laki-laki dan perempuan tidak ada sama sekali mempermasalahkan jenis kelamin sebagai penghalang untuk berjuang. Mereka selalu mempersatukan kata yaitu lawan.

Dua kisah di atas mungkin terkesan heroisme, namun sebenarnya kita sebagai generasi saat ini bukan untuk mereduksi bahwa perjuangan melawan kolonialisme dan penindasan adalah jasa satu atau dua orang. Namun ini adalah satu ada dua cerita yang menceritakan perlawanan terhadap penjajah itu adalah panggilan jiwa semua orang termasuk perempuan, dan kita harus berterima kasih kembali kepada penerbit Marjin Kiri yang menerbitkan buku bagus ini berjudul “Laela Khaled, Kisah Pejuang Perempuan Palestina”

  • Judul Buku                : Laela Khaled Kisah Pejuang Perempuan Palestina
  • Penulis                      : Sarah Irving
  • Penejemah               : Pradewi Tri Chatami
  • Terbit Tahun             : Januari 2016
  • Jumlah Halaman     : VIII + 200 Hlm.
  • Penerbit                     : Marjin Kiri