Belakangan ini, semangat keagamaan tumbuh cukup tinggi di tengah masyarakat muslim Indonesia. Sayangnya semangat keagamaan tersebut tidak diikuti oleh pemahaman keilmuan agama yang luas dan komprehensif, sehingga kaum muslim sering terjebak pada pandangan bahwa beragama yang baik harus didukung dengan pakaian yang tampak kearab-araban karena dianggap sebagai sunnah Rasul.
Padahal, pakaian itu sendiri adalah bersifat budaya, bukan teologis. Pakaian biasanya identik dengan konteks sejarah dan kondisi geografis di mana ia berasal. Tulisan ini ingin berbagi bahwa pakaian nasional Arab yang dalam banyak hal dianggap sebagai pakaian religius, pakaian orang alim, dan pakaian orang yang berhijrah adalah sebuah kekeliruan.
Orang Arab Teluk umumnya sering mengenakan kandora (gamis) dalam berbagai aktivitas mereka dan itu dianggap sebagai pakaian nasional layaknya orang Indonesia yang mengenakan baju batik. Pengalaman saya di negara Uni Emirat Arab, tepatnya di Dubai, ketika saya pertama kali menginjakkan kaki di Bandara Dubai, saya sedikit terkejut karena para petugas imigrasi (laki-laki) yang menyambut kami semuanya mengenakan pakaian kandora.
Pemandangan ini tentu sangat kontras dengan Indonesia di mana banyak orang mengidentikkan kandora sebagai pakaian keagamaan. Pakaian ini biasanya dikenakan oleh para ustad, muballigh, habaib, dan para jamaah pengajian atau majelis taklim.
Di Dubai dan beberapa daerah di Uni Emirat Arab, orang yang mengenakan kandora merupakan pemandangan umum sehari-hari. Di pusat pertokoan emas Dubai (Gold Souk), saya melihat para pelayan toko emas melayani pelanggannya dengan mengenakan kandora.
Ketika saya berwisata di gurun pasir, beberapa sopir pemandu wisata gurun pasir dan pemandu jasa onta juga mengenakan baju tersebut. Bahkan terdapat sebuah stand yang menyediakan jasa foto untuk siapa saja yang ingin mengenakan baju kandora di dalam areal pertunjukan di tengah hamparan gurun pasir.
Di Dubai Museum, saya menemukan berbagai gambaran rekonstruksi sejarah masa lalu Dubai di mana orang-orang dari latar belakang seperti petani, nelayan, pandai besi, pedagang, dan penjahit mengenakan kandora.
Ketika saya jalan-jalan ke Dubai Mall dan Mall of Emirates, saya juga menemui banyak orang-orang Arab Teluk yang mengenakan kandora sambil shopping barang-barang bermerek seperti Zara, Esprit, Gucci, dan sebagainya. Beberapa dari mereka bahkan menggunakan mobil mewah bermerek Tesla, Ferrari, dan Lamborghini.
Di berbagai tempat wisata, pemandangan orang yang mengenakan kandora adalah hal yang umum kita jumpai sebagaimana di Sheikh Zayed Grand Mosque Abu Dhabi di mana banyak wisatawan khususnya dari Eropa dan Asia Timur seperti Tiongkok dan Korea Selatan, mengenakan kandora yang telah mereka beli dan persiapkan dari hotel/ penginapan mereka. Mereka dengan bangga mengenakan kandora tersebut sambil mengabadikan gambar di berbagai sudut masjid megah tersebut dan kemudian diunggahnya di Instagram.
Saya sempat bertanya pada teman saya yang berasal dari Arab Saudi yang memiliki budaya yang relatif hampir serupa dengan Uni Emirat Arab karena letak geografisnya yang saling berdekatan dan juga sama-sama bagian dari negara Arab Teluk. Ia mengatakan bahwa kandora (orang Saudi menyebutnya thobe. Pakaian Gamis Saudi dan Uni Emirat Arab memiliki perbedaan di bentuk kerahnya) adalah pakaian nasional Arab, bukan pakaian keagamaan.
Menurutnya, orang Saudi sering mengenakan kandora di mana dan kapan saja, namun kandora umumnya dipakai orang Saudi ketika menghadiri acara formal seperti pernikahan dan juga pada perayaan Idul Fitri dan Idul Adha.
Kandora biasanya berbentuk lengan panjang dan menjuntai ke bawah. Kandora umumnya berwarna putih, namun terdapat juga warna lain. Kandora biasanya dipasangkan dengan ghutrah (sorban sebagaimana yang sering dikenakan oleh Yasser Arafat). Ghutrah digunakan untuk melindungi rambut dari terpaan abu pasir dan juga panasnya terik matahari di gurun pasir. Ghutrah juga dapat berfungi sebagai pelindung dari hembusan debu gurun pasir, sehingga tidak mengganggu saluran pernapasan.
Di Dubai, orang umumnya mengenakan ghutrah berwana putih dan juga merah putih. Perbedaannya adalah putih identik dengan masyarakat umum dan merah putih identik dengan mereka yang bekerja di sektor pemerintahan. Namun pembedaan ini sekarang cenderung sudah cair.
Orang yang mengenakan ghutrah biasanya melengkapinya dengan taqiyah yang berwarna putih dibawahnya (di Indonesia sering disebut songkok haji) dan juga tali pengikat di atasnya yang bernama agal untuk mengencangkan ghutrah agar tidak lari kemana-mana. Agal umumnya berwarna hitam dan dibuat dari bulu domba dan kambing. Agal memiliki bentuk yang melingkar dan tekstur yang fleksibel. Secara historis agal berfungsi sebagai pengikat kaki onta.
Konon, orang-orang Arab Badui ketika berkelana dan singgah di sebuah tempat peristirahatan, maka ia akan mengikat kaki ontanya dengan menggunakan agal, agar ontanya tidak lari kemana-mana.
Terdapat banyak jenis style mengenakan ghutrah. Para pemakainya bebas memilih style apa yang mereka sukai. Biasanya anak muda senang mengenakan ghutrah tanpa agal yang diikatkan di kepala agar tampak kasual. Style ini disebut hamdaniyah.
Karena itu, kita harusnya lebih cerdas dan bijak dalam beragama. Kita bebas memilih pakaian apa saja yang kita anggap nyaman selama kita tidak merasa lebih suci dari orang lain karena mengenakan pakaian tersebut. Memakai kandora dan ghutrah tak boleh membuat kita jumawa dalam beragama karena hal tersebut hanyalah produk kebudayaan Arab, bukan pakaian keagamaan.
Sebaliknya, mereka yang mengenakan kandora dan ghutrah juga tak boleh serta merta dicap radikal dan konservatif. Pada akhirnya, sebaik-baiknya pakaian bagi manusia adalah pakaian takwa.