Ketika pulang kampung ke Ponorogo saya ngopi dengan seorang kawan lama. Ia bercerita beberapa hal “lucu” yang terjadi di kota kecil kami. Salah satunya adalah kegiatan tarawih berjamaah di Ponorogo City Center, pusat perbelanjaan terbesar di Ponorogo. Acara itu diadakan oleh Pemuda Hijrah Ponorogo. Sebelum tarawih berjamaah, diawali dengan talkshow “Ngobrolin Allah biar Semangat Ngobrol sama Allah”. Acara itu diklaim sebagai “yang pertama di Indonesia”.
Jangan bayangkan Ponorogo City Center ini punya masjid besar sebagaimana salah satu pusat perbelanjaan di Blok M. Kegiatan tarawih berjamaah menggunakan balroom di Ponorogo City Center. Mungkin niat mereka adalah syiar, beribadah di tempat yang ramai dikunjungi anak muda. Tapi, menurut teman saya, yang seperti itu bisa jadi malah mereduksi makna salat (sesuatu yang harusnya berlangsung intim, antara manusia dan Sang Pencipta, bukan seremonial). “Gitu amat ya laku beragama generasi milenial,” celetuk teman saya.
Bicara generasi milenial, perlu kiranya kita menilik survei nasional CSIS (November 2017). Jajak pendapat itu merekam setidaknya dua fakta menarik. Pertama, survei itu mengungkap 53,7 % kalangan milenial tidak bisa menerima pemimpin beda agama. Selanjutnya, masih menurut survei yang sama, terdapat 9,5% generasi milenial setuju terhadap gagasan mengganti Pancasila dengan ideologi lain. Dua fakta tersebut sebetulnya merupakan kabar yang kurang mengenakkan bagi iklim toleransi di Indonesia. Memantik kewaspadaan kita.
Survei tersebut juga menyodorkan data 81,7% milenial menggunakan Facebook, media sosial yang paling banyak digunakan kalangan mereka. Disusul kemudian Instagram dan Twitter. Selanjutnya, 54,3 % milenial mengaku membaca media online setiap hari. Data itu menunjukkan betapa karib generasi milenial dengan internet.
Bahasan tentang generasi milenial seolah tak habis-habis diperbincangkan. Generasi tersebut memiliki karakteristik unik. Sehingga dalam menghadapi mereka perlu penyikapan dan pendekatan tersendiri. Tak lagi bisa disamakan dengan generasi-generasi lain.
Salah satu buku yang meneropong generasi milenial adalah buku Muslim Milenial; Catatan dan Kisah Wow Muslim Zaman Now. Buku itu khusus mengupas sisik melik generasi milenial muslim. Mulai dari soal sosial media, gaya hidup, dakwah hingga isu perdamaian. Dibahas di buku itu fenomena jihad digital, ngaji online, fesyen muslimah kekinian, sufi milenial, dll.
Ahmad Romzi, salah seorang penulis di buku Muslim Milenial mengetengahkan tulisan menarik bertajuk Jihad Digital, Jalan Dakwah Santri Milenial. Romzi mengulas pentingnya literasi digital di zaman banjir informasi seperti sekarang. Pada intinya, literasi digital adalah kemampuan memahami dan mengolah informasi, dalam arti tidak langsung menelan mentah-mentah informasi dari situs atau akun medsos tertentu.
Romzi yang dikenal sebagai selebgram dari kalangan santri itu membidani kelahiran Arus Informasi Santri Nusantara (AIS Nusantara) pada 2016. AIS Nusantara memiliki tujuan mulia: mengisi medsos dengan konten Islam ramah, bukan Islam marah. Islam yang merangkul bukan memukul. Islam yang mengajak, bukan mengejek. Kiprah inspiratif ala Romzi bisa dengan mudah kita temukan di buku Muslim Milenial, dituturkan oleh sosok-sosok menerahkan lainnya, sesuai bidang masing-masing.
Selain tulisan Romzi, ada pula tulisan Ala’i Nadjib yang menyoroti fenomena ngaji online. Ngaji online melahirkan santri dan kiai online. Fenomena ini menarik bagi Ala’i karena dulu orang belajar agama mestilah bertemu guru/kiai yang memiliki sanad keilmuan jelas. Sekarang, para kiai itu mulai menemui santri/jamaahnya di dunia maya. Misal, Ulil Abshar Abdala yang populer dengan Kopdar Ngaji Ihya’, pengajian kitab Ihya’ Ulumuddin yang disiarkan secara langsung di Facebook.
Simak juga Irfan Amalee yang berkisah tentang boardgame dan upaya membangun perdamaian. Atau Melati Adidamayanti yang mengamati sufi milenial. Kisah lain tentang fenomana baru di dunia generasi muslim milenial juga tak kalah menggugah. Jika diperas, buku Muslim Milenial sebetulnya merupakan antologi cerita muslim masa kini yang berpikiran terbuka, peka zaman, moderat, toleran dan siap membumikan Islam yang rahmatan lil alamin. Lima karakter khas yang melekat pada sosok seorang muslim milenial.
Menyimak kiprah Ahmad Romzi, Irfan Amalee dan Ulil Abshar Abdala kita mencatat sejumlah hal. Pertama, memang telah terjadi pergesaran dalam beragama seiring perkembangan teknologi yang pesat. “Online religion” menjadi tren baru. Orang-orang berdoa di Twitter, bersedekah lewat laman crowdfunding dst. Kedua, perubahan zaman perlu direspon dengan cepat dan cerdas.
Ahmad Romzi misalnya, ia sadar bahwa media sosial harus diisi dengan konten-konten yang sehat, maka ia hadir di sana. Begitu juga Ulil Abshar Abdala yang perlu menggelar siaran langsung ngaji Ihya’. Ketiga, ormas Islam arus utama, seperti NU dan Muhammadiyah, kiranya perlu tampil lebih getol dalam menyikapi laku beragama generasi milenial yang boleh jadi tak lagi sama dengan generasi jadul. Peka zaman adalah kunci.