Lebih Baik Berhaji Ulang atau Ibadah Sosial?

Lebih Baik Berhaji Ulang atau Ibadah Sosial?

Lebih Baik Berhaji Ulang atau Ibadah Sosial?
Seorang muslim berdoa di Masjidil Haram Makkah

Memang tidak lengkap rasanya jika keislaman kita tidak disempurnakan dengan ibadah haji ke baitullah. Namun kita harus menyadari bahwa keistimewaan yang diberikan kepada manusia berbeda-beda. Tidak semua orang Islam bisa dengan lancar berkehendak dan berhasil berangkat ke baitullah untuk melaksanakan ibadah haji.

Banyak orang yang memiliki keinginan kuat namun kondisi mereka tidak mendukung, Entah dari sisi finansial maupun kesehatan. Tapi di sisi lain dengan keadaan yang berbanding seratus delapan puluh derajat, sebagian orang dari kalangan beruang begitu bangganya mengagendakan keberangkatan hajinya setiap lima tahun sekali. Dengan dalih bahwa haji tersebut (haji tiap lima tahun sekali) adalah sebuah anjuran yang didasari dengan sabda Rasulullah Saw. yang berbunyi; “Inna ‘abdan ashahtu lahu jismahu wa wassa’tu alaihi fi rizqihi lam yafid ilayya fi kulli khomsati a’wamin lamahrumun (wa firiwayatin arba’ati a’wamin)

Dikutip dari Majalah Nabawi, hadis di atas dalam segi sanadnya, memiliki tiga jalur periwayatan. Pertama, dari jalur Abu Said al-Hudry diriwayatkan oleh Imam at-Thabrany dalam kitabnya Mu’jam al-Awsath; Ibnu Hibban dalam Shahihnya; Ibnu ‘Ady dalam al-Kamil fi ad-Dhu’afa dan masih ada beberapa lagi ulama’ hadis lain yang meriwayatkan dari jalur ini.

Kedua, dari jalur Abu Hurairah diriwayatkan oleh al-Faqihi dalam Akbar Makkah; al-‘Uqaili dalam ad-Dhu’afa dan Ibnu ‘Asyaqir dalam Tarikh Dimasyq.

Ketiga, dari jalur Khabbab bin al-‘Arat diriwayatkan oleh Abu Ya’la tanpa disebutkan sanadnya.

Kesimpulannya, ada beberapa rawi dalam sanad di atas yang masih diperselisihkan. Pertama adalah al-‘Ala bin al-Musayyab yang diperselisihkan (ukhtulifa fih al-a’la’) oleh Ibnu Hajar al-asyqolani dalam al-Matholib al-‘aliyah-nya.­ Berikutnya adalah Khalf bin Khalifah dalam riwayat Abu Said al-Khudri. Beliau adalah orang yang melemah ingatannya seiring bertambahnya usia (Ikhtalatha/taghoyyar fi al-akhir). Selanjutnya adalah Shadaqah bin Yazid al-Khurasany. Imam al-Bukhory dan Ibn ‘Ady menilai bahwa hadisnya munkar (munkarul hadis). Ibnu Hibban berkata, hadisnya tidak boleh diamalkan.

Di sisi lain al-Minawi menyimpulkan bahwa dampak hadis tersebut tidak baik (‘atsaruhu Ghoiru Jayyid).

 

Monopoli Haji

Bisa kita lihat berapa banyak masyarakat indonesia yang sudah berhaji, namun masih saja mendaftarkan dirinnya agar bisa berhaji kembali di tahun selanjutnya. Hal inilah yang menjadikan antrian jama’ah haji melonjak karena jumlahnya meluber melebihi kuota yang telah disediakan. Hal ini berdampak pada masyarakat yang baru akan menunaikan hajinya yang pertama kali menjadi terkatung-katung karena harus menunggu sepuluh sampai tiga belas tahun lamanya.

Di sisi lain, masyarakat yang bisa dikatakan tidak memenuhi standar kehidupan masih saja sengsara dalam keadaannya. Yang tidak bisa makan masih saja tidak bisa makan. Anak-anak yatim masih banyak yang terlantar.

Secara historis fakta yang terjadi pada masa Rasulullah Saw berbeda jauh dengan keadaan tersebut. Bisa kita cek bersama-sama dalam Sirah an-Nabawy, semenjak ibadah haji diwajibkan pada tahun 6 H, Rasullah Saw. hanya melaksanakan ibadah haji satu kali yaitu pada tahun 10 H. Sedangkan dalam ibadah umroh, Rasulullah hanya melakukan umroh sunnah tiga kali dan umroh wajib satu kali. Itu pun (umroh wajib) dilaksanakan bersamaan dengan haji pada 10 H.

Dengan melihat kondisi Rasul saat itu, Rasul sebenarnya memiliki banyak kesempatan untuk melaksanakan haji berkali-kali dan umroh berates-ratus kali. Namun Rasulullah tidak pernah mencontokan haji berulang-ulang walaupun kesempatan beliau terbuka lebar. Apa yang dilakukanNabi? Nabi lebih suka beribadah sosial; menyantuni anak yatim, menolong parajanda-janda miskin, menginfakkan hartanya untuk jihad fi sabilillah.

Jika kita klasifikasi secara herarki berdasarkan tingkat kesulitannya, haji adalah salah satu ibadah tersulit dan rentan sekali gagal. Gagal yang penulis maksud dalam hal ini adalah mardud alias haji tersebut tidak mabrur. Karena orang yang mendapatkan pahala dalam haji adalah ketika orang tersebut mabrur. Setelah itu, ia akan mendapatkan balasan atas ibadah haji yang telah ia lakukan (al-hajju al-mabruru laisa lahu jaza’aun illaal-jannah).

 

Ibadah Sosial Pengganti Haji Ulang

Menurut K.H. Ali Mustafa Yaqub, sebenarnya ada ibadah yang lebih mudah daripada ibadah haji yaitu ibadah sosial. Salah satunya adalah menyantuni anak yatim. Sebagaimana yang telah disabdakan nabi muhammad Saw. “ana wa kaafilul yatim hakadza (seraya mensejajarkan kedua jari tangannya, yaitu jari telunjuk danjari tengah”.

Kemudian ibadah selanjutnya yang lebih mudah adalah menyantuni fakir miskin dan para janda. Sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim: “As-Sa’iy ala al-armalati wal miskini kal mujahidi fi sabilillah aw al-qoimi al-laila as-shoimi an-naharo”.

Sebenarnya apa keunggulan dari ibadah sosial tersebut sehingga dikatakan lebih mudah dan lebih baik dari ibadah haji (Haji ulang)? Seperti apa yang diuraikan diatas, Jika seorang mau ibadah haji mereka diberi pahala surga oleh Allah maka orang tersebut harus menjadi haji yang mabrur. Dan ketika mendapatkan predikat sebagai haji yang mabrur, kita masih belum mengetahui surga manakah yang akan kita tempati setelah mendapatkan predikat haji mabrur, karena al-Qur’an dan hadis tidak menyebutkan secara rinci tentang surga yang akan ditempati oleh mabrurin.

Namun perihal menyantuni anak yatim, sebagaimana diungkapkan K.H. Ali Mustafa Yaqub, Rasulullah telah menjanjikan surga bersama Nabi. Bahkan Nabi mengibaratkan dengan dua jarinya yang berdempetan karena saking dekatnya. Dan surga yang akan didapatkan Nabi, jelas merupakan surga yang sangat tinggi derajatnya di antara surga-surga yang telah dijanjikan-Nya.

Adapun menyantuni fakir miskin dan janda, Nabi Muhammad menyejajarkanya dengan mujahidiin fi sabilillah serta orang yang puasa di siang hari dan beribadah malam hari. Sedangkan dalam bagian amal yang paling afdhol menurut nabi, jihad fi sabilillah menempati urutan kedua setelah iman kepada Allah Swtdan Rasulnya. Baru disusul amal paling afdhol yang terakhir adalah Haji yang mabrur. Secara otomatis dari redaksi tersebut kita bisa simpulkan bahwa menyantuni fakir miskin dan para janda adalah lebih utama daripada haji ulang.

Sekali lagi yang kami tekankan dalam hal ini adalah haji ulang. Bukan haji permulaan. Karena sudah menjadi konsesus ulama’ bahwa haji pertama adalah wajib. Itupun bagi yang mampu. Baik secara fisik maupun finansial.

Kita tidak menyadari bahwa secara substansi, Islam lebih mengedepankan asas sosial daripada individual. Hal inilah yang seharusnya membuat kita lebih sadar dan lebih terbuka dengan kehidupan bermasyarakat dan bersosial.