Ketika memasuki bulan Ramadhan dan Lebaran, handphone kita biasanya berdering lebih kencang. Pesan dari sanak keluarga, sahabat dan teman-teman grup WhatsApp saling sahut menyahut berdering yang intinya ucapan selamat melaksanakan ibadah suci Ramadhan. Ada berbagai macam jenisnya. Ada yang panjang lebar kali tinggi, ada yang singkat, ada yang puitis hingga ada yang hanya berupa gambar saja.
Kemajuan teknologi pada hakikatnya untuk mempermudah komunikasi antar manusia. Seperti halnya facebook dengan sistem algoritmanya mampu mempertemukan teman-teman lama yang mungkin akan sulit jika dicari secara langsung dengan alasan sudah pindah rumah, bekerja di kota dan sebab lainnya.
Disadari atau tidak, kemajuan teknologi tersebut telah mengikis nilai-nilai humanis. membuat yang jauh menjadi dekat dan yang dekat menjadi jauh. Jempol kita berselancar ria di gatgets menekan tombol like, komentar, membalas tweet hingga saling membalas pesan bahkan kepada orang yang belum kita temui sebelumnya. Tentu ada hal positif, namun di sisi lain, ruang kebersamaan ketika sedang berkumpul langsung bersama teman-teman terasa hampa gara-gara semuanya tidak lagi berkomunikasi face to face, melainkan sibuk dengan gadgetsnya masing-masing. Saya pernah membaca sebuah quote di warung kopi bertuliskan “We Don’t Have Wifi, Talk to Each Other”. Quote ini merupakan tamparan keras bagi kita yang saat ini mulai kehilangan ruang kebersamaan.
Ucapan Gambar
Begitu juga dengan ucapan selamat yang hanya berupa gambar yang disampaikan melalui Whatsapp. Tidak ada satupun huruf yang dituliskan sebagai pengantar, sapaan bahkan basa-basi. Sang penerima dipaksa untuk mengklik gambar tersebut yang sudah bisa ditebak isinya yaitu berupa ucapan selamat Ramadhan lengkap dengan nama si pengirim dan keluarga. Pesan-pesan gambar tersebut saya rasa dikirimkan agar cepat tersebar dan hemat energi. Cukup pakai jurus forward.
Apakah salah cara-cara seperti itu? Tentu saja tidak. Tidak ada dalil, dasar hukum dan kaidah yang menjadi dasar untuk menyalahkan hal tersebut. Namun secara etika kok rasanya kurang bagaimana begitu. Setidaknya ada tiga alasan mengapa hal tersebut terasa ganjil.
Pertama, etika. Kita semua paham ketika hendak bertamu, kita tidak bisa ujuk-ujuk langsung membuka pintu memasuki rumahnya. Kita diajarkan tatakrama untuk memencet bel atau mengetuk pintu terlebih dahulu ketika hendak bertamu. Jika diizinkan dan dibukakan pintu barulah kita boleh masuk. Mereka yang langsung mengirimkan pesan gambar tanpa satu hurufpun yang ditulis kok rasanya seperti orang yang nyelonong masuk tanpa izin. Lebih-lebih orang yang kita kirimi gambar tersebut lebih tua dari kita.
Kedua, keakraban. Kesibukan pekerjaan dan jarak yang jauh membuat kita tak bisa lagi intens berkomunikasi satu sama lain. Seharusnya dengan momentum seperti puasa dan lebaran ini menjadi waktu yang tepat bagi kita untuk peduli satu sama lain. Misalnya dengan menanyakan apakah mudik atau tidak. Dari situ komunikasi menjadi dua arah hingga hadirlah keakraban.
Ketiga, rasa persaudaraan. Saya pibadi, di awal ramadhan ini juga ikut meramaikan ucapan selamat ramadhan. Tapi tidak hanya sekedar pesan gambar saja. Ketika mengirim ucapan selamat ramadhan kepada teman-teman, minimal saya menyapa dengan menuliskan nama teman tersebut. Misalnya ketika saya menyapa teman saya di Jogja, saya bertanya kabar dan keluarganya hingga saya akhiri dengan “matur nuwun”. Ketika menyapa teman yang masih kuliah di Jerman saya bertanya sedang musim apa dan bagaimana situasi puasa di sana hingga mengakhiri dengan “Danke Schoen”. Dengan begitu saya merasa kemajuan teknologi tetap humanis.
Lebaran Digital dari waktu ke waktu
Ketika saya berumur 10 tahun. Saat itu kami memiliki telepon rumah yang terletak di ruang tengah. Ayah dan Ibuku biasanya menelepon sanak famili dengan kehangatan yang luar biasa. Mereka saling bertegur sapa, curhat hingga tertawa bersama. Selepas menelepon saya melihat wajah mereka legah dan bahagia. Biasanya disusul dengan hadirnya kartu ucapan selamat lebaran lengkap dengan nama dan tanda tangan pengirim. Salah satu budaya yang mulai tergerus saat ini.
Begitu juga ketika memasuki era handphone monophonic yang hanya bisa digunakan untuk menelepon atau mengirim pesan text. Tidak bisa mengirimkan gambar. Saat itu tingkat kesibukan masih dalam tahap normal. Namun ketika era smartphone hadir, tingkat kesibukan benar-benar meningkat drastis, berubah 180 derajat. Kecepatan mengirimkan gambar, berita bahkan hoaks bisa mengalahkan kecepatan cahaya. Belum lagi kesibukan membuka aplikasi lainnya. Setelah membalas WhatsApp, pindah ke facebook, kemudian lanjut ngetweet dan tak lupa instastory di Instagram. Jika filsuf ternama dari Prancis Rene Descartes dalam bahasa latin berkata: “COGITO ERGO SUM, Aku berpikir maka aku ada”, maka saat ini: “Aku nyetatus maka aku ada”.
Lebaran sudah tiba. Bahkan telah berlalu beberapa hari. Mari kita jadikan momentum lebaran ini untuk menjadi manusia seutuhnya, bertemu dan saling maaf memaafkan secara langsung. Mata bertemu mata, senyum bertemu senyum. Tanpa harus mengunakan emoji di layar berbentuk kotak.
Saya berdo’a semoga ibadah puasa kita kali ini diterima oleh Allah SWT. Dan bagi kaum yang tidak bisa mudik baik dengan alasan pekerjaan atau takut mendapatkan pertanyaan paling seram sedunia “kapan” atau sedang kuliah di luar negeri seperti saya, maka tidak perlu bersedih hati. Kita bisa memanfaatkan smartphone kita untuk menelepon, video call dan mengucapkan selamat lebaran kepada keluarga dan para sahabat di tanah air dengan niat tulus. Beri kesempatan jempol minimal untuk menulis “Hi”. Tidak sekedar gambar doang. Agar lebaran digital kita tetap humanis.
*) Budy Sugandi; PhD Candidate Southwest University Tiongkok, Menyelesaikan Master di Turki dan Jerman & Wakil Katib Syuriah PCINU Tiongkok