Keterangan mencabut alat kelamin suami saat bersetubuh dengan istrinya itu terdapat dalam kitab al-Syamil, bahwa seorang suami yang melakukan hubungan seksual dengan istrinya dari perempuan yang bukan hamba sahaya, maka ia tidak boleh mencabut alat kelaminnya dari lubang vagina istrinya tersebut, terkecuali istrinya member izin.
Demikian pula apabila istrinya adalah seorang hamba sahaya, suami juga tidak boleh mencabut alat kelaminnya kecuali minta izin kepada yang memiliki hamba sahaya tersebut, atau -menurut salah satu pendapat- izin hamba sahaya itu sendiri. Berbeda dengan hamba sahaya milik pribadi.
Ada pun menurut Imam Malik, seorang suami yang mencabut alat kelaminnya saat sedang bersetubuh hukumnya makruh secara mutlak. Juga tidak boleh bagi wanita yang disetubuhi menerima uang imbalan, agar suaminya diperkenankan olehnya mencabut alat kelaminnya, lalu sewaktu-waktu dimasukkan kembali ke lubang vagina istri dengan keinginan suaminya.
Syaikh Umar bin Abdul Wahab al-Husaini berkata, bagi orang yang bersetubuh dengan istrinya yang masih perawan (gadis tinting), seharusnya ia tidak mencabut alat kelaminnya dari lubang vagina istrinya (sebelum proses persetubuhan itu benar-benar selesai), jangan seperti kebiasaan yang doilakukan oleh orang-orang bodoh.
Tetapi sebaiknya sperma yang keluar dibiarkan saja cepat-cepat masuk kerahim istrinya, siapa tahu Allah akan mentakdirkan dia seorang anak dari hasil bersetubuhtersebut, sehingga keturunan yang dikaruniakan kepadanya itu dapat bermanfaat bagi dirinya. Kemungkinan selain itu adalah bersetubuh yang dialkukan dengan istrinya merupakan akhir pertemuannya dnegan istrinya, sebab tiada sseorang pun yang mampu mengelak dari datangnya maut.
Sumber: K. H. Misbah Musthofa, terjemah quratu al-‘uyun, hal113-114, Al-Balagh. 1993.