Perayaan Cap Go Meh 2018 di Bogor berlangsung meriah. Tak hanya komunitas Tionghoa, namun berbagai elemen masyarakat lain—lintas etnis dan agama— turut bersuka cita merayakan puncak dari tahun baru Imlek ini. Kebersamaan makin kuat, kerukunan makin mantap.
———
Cap Go Meh adalah tradisi masyarakat Tionghoa berupa perayaan budaya sebagai wujud rasa syukur atas rezeki dan berkah dari Yang Maha Kuasa. Cap Go Meh juga menjadi ajang silaturahmi antarwarga demi memperkuat rasa persaudaraan. Dari asal katanya, “cap go meh” berasal dari bahasa Hokkian, “cap go” berarti lima belas, dan “meh” berarti malam. Perayaan ini dilakukan pada hari ke-15 setelah tahun baru Imlek dan menjadi puncak dan hari terakhir dari perayaan tahun baru bagi masyarakat etnis Tionghoa di seluruh dunia.
Di Indonesia, perayaan Cap Go Meh juga dirayakan di berbagai kota, khususnya di wilayah kampung Cina atau biasa disebut Pecinan. Namun di balik segala kemeriahannya, perayaan ini sesungguhnya menyimpan cerita kelam pada masa Orde Baru. Ketika regim Presiden Soeharto berkuasa selama 32 tahun, perayaan sosio-kultural masyarakat Tionghoa—termasuk Imlek dan Cap Go Meh—dilarang dirayakan secara terbuka. Perayaan hanya bisa dilakukan secara tertutup di lingkungan keluarga. Ketentuan ini tertuang dalam Inpres Nomor 14 tahun 1967.
Diskriminasi ini dihapuskan pada masa Reformasi, saat pemerintahan Presiden Gus Dur. Presiden RI ke-4 ini mencabut Inpres tersebut dan sebagai gantinya mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 6 tahun 2000 yang membebaskan masyarakat Tionghoa merayakan Imlek dan Cap Go Meh secara terbuka. Masyarakat Tionghoa menyambut gembira peraturan ini, meskipun sejatinya masih ada lapis-lapis diskriminasi dan prasangka lain yang mereka derita. Sebagai ungkapan rasa terima kasih yang mendalam, mereka menobatkan Gus Dur sebagai Bapak Tionghoa Indonesia. Pada tahun 2013, semasa pemerintahan Presiden Megawati, hari Imlek resmi ditetapkan sebagai hari libur Nasional.
Kini, perayaan Imlek dan Cap Go Meh diadakan di mana-mana dengan bebas dan meriah, tak terkecuali di Bogor. Di kota hujan ini, perayaan Cap Go Meh diadakan pada 2 Maret 2018 di ruang publik, tepatnya di Jl. Suryakencana dan Jl. Siliwangi. Acara yang dihelat bertajuk Bogor Street Festival dengan menampilkan karnaval dan atraksi seni budaya yang diikuti komunitas Tionghoa dan komunitas lintas profesi, etnis, dan agama. Ajang ini menjadi forum temu-budaya untuk memperkuat rasa kebersamaan dan kebangsaan.
Acara perayaan dimulai pukul 15.30, diawali dengan doa bersama lintas agama. Karnaval resmi dibuka oleh Ketua MPR RI, Zulkifli Hasan, ditandai secara simbolis dengan pemukulan bedug bambu milik Pesantren Al Ghazaly. Bedug bambu dipilih sebagai penanda bahwa kebudayaan bisa cair dan hidup di berbagai wilayah, kultur, dan agama. Bedug diyakini berasal dari Tiongkok, namun di Nusantara banyak dipakai di masjid sebagai penanda masuk waktu salat. Dan dalam kesempatan ini, bedug dari pesantren mendapat tempat istimewa untuk membuka Cap Go Meh. Sebuah penghormatan yang dapat memperkuat pilar-pilar kerukunan.
Karnaval budaya sesi pertama digelar pada pukul 16.00-17.30. Dengan mengusung semangat keberagaman, sesi ini menampilkan berbagai kesenian Nusantara antara lain: tari Dayak Sora, tari burung Enggang Kalimantan Barat, tari soya-soya Ambon, tari remo Surabaya, ogoh-ogoh, gendang beleq Lombok, reog, kesenian nyere Purwakarta, ngarak posong Cianjur, dan lain-lain. Yang menarik adalah tampilnya representasi dari kalangan pesantren yaitu, grup bedug bambu dan hadrah dari Pondok Pesantren Al Ghazaly, Bogor, dan grup marawis Ikatan Remaja Syiarul Islam Bogor. Mereka turut pawai dan melantunkan selawat dan lagu puji-pujian. Pesta budaya ini tak menghalangi yang berbeda agama untuk terlibat, karena semua agama, termasuk Islam mencintai keguyuban: rukun dan damai.
Ketika Magrib menjelang, karnaval pun jeda. Peserta dan penonton yang muslim diberikan kesempatan untuk beribadah salat Magrib. Panitia menyediakan sejumlah musala kecil di sepanjang lokasi pawai. Nonton karnaval pun bisa tenang karena tak khawatir meninggalkan ibadah salat.
Sekitar pukul 19.00, karnaval dilanjutkan kembali dengan menampilkan berbagai pertunjukan dan atraksi dari komunitas Tionghoa seperti silat (kungfu), liong (naga), dan barongsai yang atraktif. Selain itu, mereka juga mengarak puluhan joli yang berisi patung para dewa Konghucu. Karnaval malam hari terlihat lebih memukau karena nyala lampion-lampion yang gemerlapan. Indah nian.
Ribuan penonton antusias menyaksikan karnaval meski hujan beberapa kali turun. Mereka datang tak hanya dari Bogor dan sekitarnya, namun dari berbagai kota lain di Indonesia. Cap Go Meh Bogor telah menjadi ikon festival budaya nasional yang diperhitungkan para traveler dan wisatawan.