Jakarta – Wacana mengenai pemulangan Warga Negara Indonesia (WNI) yang terlibat dalam konflik di Suriah dan Irak telah memicu pro dan kontra, bahkan mengeras pada opsi penolakan dari rakyat Indonesia. Namun, belakangan pemerintah mewacanakan pemulangan pada anak simpatisan ISIS. Perlu langkah taktis terkait hal ini.
Langkah itu, menurut salah satu steering committee (SC) Working Group on Women and P/CVE (WGWC) Ruby Kholifah, yakni penting melakukan kajian tentang risiko-risiko yang kemungkinan akan muncul sebagai konsekuensi pilihan pemerintah, serta pentingnya menyiapkan langkah-langkah mitigasi risiko untuk penyiapan aktor dan institusi pemerintah dan non pemerintah.
”WGWC dan AMAN Indonesia telah melakukan menganalisis risiko keputusan pemerintah dan menentukan tindakan mitigasinya, termasuk dalam merespon rencana pemulangan kelompok rentan yaitu anak-anak dan perempuan. Ada banyak resiko yang rentan diterima oleh anak-anak simpatisan ISIS ini,” ungkapnya, Rabu (19/2/2020).
Menurut perempuan yang juga menjabat sebagai direktur AMAN Indonesia, anak yang mengikuti pelatihan paramiliter akan sangat rentan mengalami trafficking. Misalkan, dijual untuk dinikahkan dengan kombatan.
Selanjutnya, doktrin kekerasan yang dilakukan pada anak-anak pada masa pertumbuhan maka bisa sangat menginternalisasi ke dalam karakter anak-anak. pihaknya pun mempertanyaan dengan kondisi anak yang sudah tidak memiliki orangtua. Hal yang paling mendasar, bagaimana dengan rehabilitasi untuk anak-anak tersebut.
Risiko lainnya yang perlu diperhatikan adalah jika deportasi pengungsi dilakukan oleh pihak Suriah tanpa meminta persetujuan dari negara asal. Keadaan ini akan menjadi ancaman di internal Indonesia jika tidak disiapkan mitigasnya. Di saat yang bersamaan, Indonesia masih memiliki kelemahan tata kelolah perbatasan dan migrasi. Keadaan ini menyebabkan mobilitas orang-orang (termasuk teroris) mudah berpindah tanpa kontrol yang ketat.
Dari analisis tersebut, 24 lembaga yang tergabung dalam WGWC merekomenasikan hal-hal yang harus pemerintah ambil dalam penanganan eks WNI ISIS.
Pertama, Densus dan Satgas FTF melakukan pendataan terhadap eks WNI yang di pengungsian Suriah dengan mempertimbangkan kedalaman informasi seperti pemilihan jenis kelamin, usia, propinsi, kelengkapan keluarga, motivasi ke Suriah, keterlibatan selama di Suriah, dan keberadaan keluarga di Indonesia.
“Selanjutnya, Unit Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial melakukan upgrading pada kualitas layanan rehabsos melalui kelengkapan regulasi yang dibutuhkan untuk rehabilitasi dan reintegrasi dari hulu ke hilir, peningkatan jumlah dan kapasitas sumber daya manusia, fasilitas rehabsos memadai, termasuk menyesuaikan lama rehabilitasi,” tegasnya.
Hal lainnya, dirjend Lapas memastikan regulasi dan layanan lapas memadai dengan mempertimbangkan sangat serius over-crowded penjara, memastikan SOP pengelolaan Lapas memiliki perspektif gender dan mengadopsi prinsip-prinsip HAM.
Menurutnya, persoalan ini merupakan isu internasional, Kementerian luar negeri mendorong Dewan Keamanan PBB dan Dewan HAM penyelesaian Eks ISIS di tingkat PBB.
Perhatian lainnya, Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Kemenkopolhukam) melakukan kordinasi wilayah perbatasan dengan negara-negara lain untuk memperketat keamanan di perbatasan. Yakni, memberikan perhatian khusus pada gelombang balik buruh migran dari negara-negara timur tengah yang berpotensi disusupi oleh returni. Lembaga lainnya, seperti BNPT memastikan proses pemulangan kelompok rentan (perempuan dan anak-anak) yang telah lulus uji dengan bertahan dan menghindari ekspose media untuk menjaga perlindungan anak-anak dan masa depan mereka.
“Kementerian hukum dan HAM memastikan agenda penegakan hukum yang fair dan adil terhadap mereka yang berafiliasi dengan ISIS, memberikan efek jerah,memperbaiki sistem Lapas, membuka peluang diberlakukan Restorative Justice untuk kasus anak-anak, serta sedemikian rupa menghindari impunitas,” pungkasnya.