Di tanggal 8 Maret 2020 penulis mengucapkan Selamat Hari Perempuan Internasional. Hari ini adalah peringatan dimana seluruh orang di dunia, baik perempuan maupun laki-laki yang peduli tentang kesetaraan menyuarakan agar perempuan bisa menjadi manusia yang utuh dan terhindar dari diskriminasi.
Mengapa perempuan yang disuarakan? Karena perempuan yang lebih riskan secara sosial, ekonomi, dan politik dibandingkan laki-laki. Tagar #EachforEqual pada International Women’s Day (IWD) diangkat menjadi semangat perjuangan. Namun, kesetaraan itu belum tercapai utuh, khususnya di Indonesia. Miris ketika mengingat hasil Catatan Tahunan Komnas yang rilis tanggal 6 Maret 2020 lalu, 2 hari sebelum International Women’s Day. Dalam laporan itu, angka kekerasan terhadap anak perempuan melonjak 2.341 kasus dibanding tahun 2018 yang tercatat 1.417 kasus.
Minimnya Pendidikan Seks Berdampak pada Kekerasan Seksual
Darurat kekerasan seksual pada anak membawa salah satu tuntutan pada aksi IWD di Yogyakarta agar pendidikan seksual dapat diwajibkan dan diimplementasikan secara komprehensif. Faktor pelecehan seksual pada anak, yang di dalamnya termasuk kekerasan seksual terjadi salah satunya karena pendidikan seks sejak dini yang rendah (Erlinda, 2014). Pengetahuan seks penting diberikan sejak dini karena pengetahuan anak masih sangat minim tentang seks, hal ini yang sering dimanfaatkan oleh pelaku kekerasan seksual.
Banyak sekolah bahkan orangtua yang khawatir jika pendidikan seksual akan membawa anak mereka kepada pikiran porno atau malah mendorong seks bebas. Padahal, titik tekan pendidikan seksual ada pada “pendidikan”, bukan “seksual”nya, sehingga jauh dari kekhawatiran berdampak porno pada pikiran anak. Selain karena kekhawatiran, keengganan orangtua untuk mengajarkan pendidikan seksual kepada anak juga disebabkan karena tidak ada panduan yang berlaku universal, berbeda dengan sekolah yang memiliki patokan kurikulum.
Langkah Pendidikan Seks Sesuai Umur oleh Orang Tua
Pendidikan seks sejak dini perlu diberikan sejak anak di bawah umur lima tahun. Hal itu bertujuan untuk memberikan citra positif kepada anak tidak malu terhadap tubuhnya. Dr. Laura Berman, American relationship therapist, memberikan pedoman pada orangtua tentang pemberian pendidikan seks sejak dini yang terangkum dalam “The Sex Education Handbook: a Comprehensive Guide for Parents”. Tahapan-tahapannya sebagai berikut:
Pertama, umur 2 hingga 3 tahun. Pada umur tersebut anak sudah mulai memperhatikan dan bertanya tentang apa yang ada pada tubuhnya, termasuk perbedaan perempuan dan laki-laki. Mulailah mengajari anak untuk mengetahui mana bagian tubuh yang boleh dipegang banyak orang (misal pipi) dan mana yang hanya boleh dipegang oleh orang terdekatnya (organ vital). Jelaskan juga tentang bagaimana sentuhan baik dan sentuhan buruk untuk memegang organ vital anak. Jika ada orang lain (selain yang diperbolehkan) memegang organ vital anak, ajarkan untuk berkata tidak atau bersikap menjauh.
Kedua, umur 2 tahun hingga kelas 4. Pada tahap ini anak sudah mulai bertanya tentang hal seksual seperti “Darimana bayi berasal?” Jika ada pertanyaan seperti itu, orangtua jangan tidak menjawab dengan mengalihkan perhatiannya, jawablah dengan bahasa sederhana dan tepat, misal “Dari tempat khusus di dalam tubuh perempuan yang disebut rahim.”
Ketiga, kelas 5-6. Orangtua pada tahap ini sudah mulai menunjukkan anatomi tubuh dengan menggunakan gambar manusia. Sepanjang diskusi seks, utarakan bahwa seluruh hal yang ada dipikiran anak terkait seksual aman dikatakan dengan orangtua dan tidak menghentikan rasa kasih sayang kepada anak. Hal ini perlu dijelaskan untuk menanamkan rasa percaya dan nyaman anak kepada orangtua. Beberapa hal yang perlu dijelaskan di antaranya:
(1) Jelaskan bagian tubuh tersebut secara normal, agar anak yang menerima informasi tersebut juga merasa bahwa hal itu adalah normal. (2) Jelaskan bahwa akan ada fase pubertas dimana perubahan tubuh terjadi pada perempuan sekitar umur 9 tahun dan laki-laki sekitar umur 14 tahun. Pada saat menjelaskan, jangan lupa juga tanyakan apa yang anak ketahui tentang anatomi tersebut. Hal ini perlu ditanyakan untuk membentengi kesalahan pengetahuan yang anak dapatkan dari lingkungan luar;
Keempat, di kelas 6 mulai jelaskan tentang pilihan kontrol kelahiran, seperti jenis alat kontrasepsi. Namun, saat menjelaskan hal ini, perlu ditekankan bahwa tidak melakukan seks bebas adalah hal yang paling tepat dan aman. Memberikan informasi tidak sama dengan izin. Orangtua dapat memberikan umpan balik dengan mengatakan, “Ayah/Ibu ingin kamu memiliki informasi ini sehingga tidak bingung atau disesatkan oleh temanmu, tetapi itubukan berarti Ayah/Ibu membolehkan kamu melakukan seks bebas. Ayah/Ibu ingin kamu menunggu sampai (masukkan nilai disini, bisa nilai agama dan norma setempat).
Kelima, Saat sudah masuk kelas 7-9. Di usia ini hormon anak sedang meningkat karena memasuki masa remaja. Ulangi apa yang sudah orang tua jelaskan sebelumnya. Anak mungkin akan menanyakan hal sama yang sudah ditanyakan sebelumnya, tapi ketahuilah ketika orang tua menjelaskan lagi, anak akan mencerna kembali sesuai dengan kondisinya pada saat itu.
Keenam, saat masuk kelas 9-12. Selalu tanyakan kepada anak apa yang ia pikirkan dan apa yang dilakukan teman sebayanya. Ketika anak mulai bercerita, respon cerita tersebut dengan cara yang tidak menghakimi. Umumnya pada umur tersebut ketertarikan terhadap lawan jenis sudah lebih menggebu dan riskan berlebihan jika pacaran. Jelaskan bahwa relasi seksual itu adalah hubungan terhormat yang bertumpu pada memberi dan menerima kesenangan. Jika perilaku seks dilakukan di waktu yang tidak tepat, justru akan berdampak pada rasa sakit dan kesedihan. Oleh karena seks adalah hubungan terhormat dan memberi serta menerima kesenangan, maka tepat dilakukan ketika sudah menikah seperti ayah atau ibu.
Adanya pendidikan seks yang sudah dijelaskan di atas akan menimbulkan kepercayaan diri anak sekaligus tanggungjawab yang tinggi kepada tubuh. Pendidikan seks membuat anak bisa menerapkan 3L: 1) Latih anak memahami kondisi tubuhnya; 2) Larang jika ada yang berbuat tidak hormat kepada dirinya; dan 3) Lapor kepada orangtua terutama Ibu jika ada yang berbuat tidak hormat kepada dirinya.
Penulis lebih menekankan kepada Ibu karena banyak kasus pelaku kekerasan seksual adalah ayah korban. Adanya pendidikan seks ini merupakan langkah preventif untuk mencegah tingginya tingkat kekerasan seksual pada anak.