Kantong bolong adalah laku hidup Eyang Sosro. Setelah mendapatkan restu ibundanya, RMP Sosrokartono menetap di Bandung. Awalnya dia tinggal di hotel Pasundan, namun karena statusnya sebagai pimpinan Sekolah Menengah Nasional (Nationale Middlebare School), ia mendapatkan sebuah kamar di gedung Taman Siswa. Yaitu gedung yang didirikan atas prakarsa RM Soerjoadipoetro, Ketua Taman Siswa Jawa Barat, adik Ki Hajar Dewantara. Para pengajar di Sekolah Menengah Nasional tersebut antara lain: Ir. Soekarno, Dr. Samsi, Soenarjo SH, Suwandi, serta para mahasiswa.
Setelah tidak lagi menjadi pengajar, Eyang Sosro sempat berpindah-pindah, tinggal di rumah beberapa orang yang dengan senang hati memberikan tumpangan untuknya. Antara lain adalah keluarga Tomowirjo dan Ibrahim Tirtosapoetro yang waktu itu masih sama-sama melajang. Di rumah yang ditumpanginya tersebut, RMP Sosrokartono fokus melanjutkan memberikan pengobatan kepada siapa saja dengan media air putih.
Tamu-tamu yang datang minta diobati terus bertambah hingga tak tertampung di dalam rumah yang ditinggalinya. Dan semua tamu-tamu yang datang untuk mendapatkan kesembuhan tersebut, sama sekali tidak dipungut bayaran.
Pada tahun 1930, ketika Perguruan Taman Siswa pindah dari Jl. Pungkur ke Jl. Cikakak, atas prakarsa sahabat-sahabatnya yang menjadi pengurus Budi Oetomo Bandung, maka didirikanlah perkumpulan Monosoeko. Ikatan kekeluargaan itulah yang akhirnya berinisiatif menyewa rumah bekas gedung Taman Siswa di Jl. Pungkur No. 7. Sebagai tempat tinggal RMP Sosrokartono dan sekaligus tempat melayani masyarakat yang mengharapkan kesembuhan dari berbagai penyakit yang mereka derita.
Tidak hanya itu, tempat tersebut juga difungsikan sebagai perpustakaan umum. Buku-bukunya merupakan sumbangan dari berbagai kalangan. Antara lain adalah dari dua orang insinyur perusahaan kereta api Staats Spoorwegen, tiga orang partikelir bangsa Belanda, dan beberapa orang lainnya dari Jawa dan Tionghoa. Ia menamai “padepokan”-nya tersebut sebagai Daroes-Salam yang berarti Wisma Keselamatan.
Eyang Sosro tidak sempat menikah sepanjang hayatnya. Sejak tahun 1942 separuh badannya lumpuh, namun tetap melakukan praktik pengobatan kepada orang-orang yang datang kepadanya sampai dengan hari Jumat Paing tanggal 8 Pebruari 1952, dia telah menghembuskan nafas terakhirnya di “padepokan”-nya Daroes-Salam.
Karena itu di kalangan pengkaji sosrokartanan, kantong bolong tidak pernah dianggap hanya sebatas falsafah. Menurut R. Mohammad Ali misalnya, dalam bukunya yang bejudul Ilmu Kantong Bolong; Ilmu Kantong Kosong; Ilmu Sunyi dikatakan bahwa ilmu kantong bolong bukan sebuah falsafah karena ia tidak sekedar daya fikir manusia tetapi adalah rumusan dari sebuah laku, yaitu laku hidup Eyang Sosrokartono.
Menurut Ali, falsafah hanyalah semata-mata rumusan pemikiran ahli filsafat yang terpisah dengan prilaku perumusnya. Ali mencontohkan Arthur Shopenhauer yang melahirkan falsafah pesimistis dalam “memperlakukan” dunia. Menurutnya, sang filsuf menyerukan pengingkaran terhadap kemewahan dunia tetapi kehidupan pribadinya justru bergelimang harta.
“Menolong sesama manusia tanpa memerhatikan waktu, perut, kantong. Bila kantong berisikan sesuatu, isi itu dengan pasti dan senantiasa mengalir kepada sesama manusia.”
Ungkapan Eyang Sosro itulah yang kemudian digunakan oleh para pengkaji kebijakan sosrokartanan menamai laku hidup RMP Sosrokartono sebagai Ilmu Kantong Bolong, Ilmu Kantong Kosong, atau Ilmu Sunyi. Yang sesungguhnya merupakan terjemahan innaa lillaahi wa innaa ilayhi raaji’uwn dalam laku kehidupan sehari-hari.
Wallaahu a’lamu bisshawaab.