Lailatul Qadar merupakan malam lebih baik dari seribu bulan, malam diturunkannya wahyu, malam terindah Nabi dan Sahabat mencapai puncak spiritualitas atau malam membentuk sikap reflektif terhadap makna hakiki teks kewahyuan yang disucikan Allah. Dalam sebuah hadis dapat disarikan, bahwa lailatul qadar pada 10 hari terakhir atau 7 hari sasanya (HR Bukhari 4/221 dan Muslim 1165).
Sehubungan dengan malam mulia ini, telah memunculkan beberapa perspektif yang masih perlu dikaji, yaitu masih banyak yang menggambarkan malam ini penuh imajinasi yang keluar dari makna lailatul qadar. Seolah malam mulia ini dipaksakan sesuai dengan perspektif hal hal yang terkait dengan dunia. Karenanya, mereka yang mendapatkannya akan beruntung bebas meminta, apakah berupa harta, tahta, dan sejuta imajinasi yang di luar prediksi manusia.
Pemaknaan imajinatif tentang lailatul qadar secara hedonistik dan pragmatis ini bertentangan dengan apa yang menjadi kekhawatiran Nabi Muhammad terhadap perkembangan pesat umat Islam di akhir zaman. Misalnya, banyak umat Islam yang justru pada lebih memilih mencintai dunia dan takut akan kematian. Bukankah kisah Nabi melihat keindahan malam lailatul qadar dalam keadaan bersujud meski basah kehujanan. Artinya, pencapaian kesempurnaan keseimbangan psikis merupakan puncak pilihan manusia yang tidak tergantikan oleh hal hal yang bersifat dunia.
Hadis Nabi yang diriwayatkan Abu Dasud ini, telah berbelok bersamaan ceramah keagamaan para “ustadz” yang membuat glamor pada acara tayangan TV. Hal yang sama, juga marak kegiatan keagamaan yang menghabiskan biaya yang tidak sedikit. Tema sedekah pun juga mengarah pada kapitalisasi sedekah dan komersialisasi dakwah keagamaan. Fenomena hedonistik dan pragmatis ini, telah semarak, baik pada saat bulan ramadlan maupun di luar bulan ramadlan.
Oleh karena itu, banyak distorsi pemaknaan terhadap bulan suci Ramadlan. Misalnya, ramadlan yang seharusnya meminimalisir konsumsi dan menghindari kebutuhan berlebihan memanfaatkan sumber daya alam, justru pada bulan ini seperti menjadi bulan mereka para pengikut aliran konsumerisme, pragmatisme, dan hedonisme. Dalam kebutuhan sehari hari, satu keluarga berkebutuhan sedang, yang biasanya membutuhkan kebutuhan satu juta, namun pada bulan Ramadlan menjadi berkebutuhan tiga kali lipat dari kebutuhan hari biasa. Misalnya, kebutuhan satu orang dipenuhi dengan yang seharusnya bisa dua orang.
Aktifitas ramadlan yang seharusnya sama seperti hari biasa, namun pada bulan ramadlan banyak yang mengurangi jam pekerjaan dan menambah waktu tidur atau istirahat. Hal ini berbeda dengan semangat ramadlan. Bulan ramadlan lebih tepat disebut sebagai bulan riyadlah dan bulan perenungan tentang sebuah hakikat kehidupan. Hal ini harus dilalui dengan hidup sederhana, memenuhi makan dan minum yang tidak berlebihan yang harus disesuaikan dengan apa yang dibutuhkan sesuai dengan kebutuhan. Sehubungan dengan ibadah, pada bulan ini harus lebih ditingkatkan. Misalnya, bertahlil, bertasbih, bershalawat, beristighfar, dan selalu bertaqarrub kepada Allah.
Dalam bulan riyadlah ini, mereka yang dapat Lailatur Qadar, adalah mereka yang digambarkan dalam surat al Qadar, hari lebih baik dari seribu bulan, para malaikat dan malaikat Jibril turun dan dengan izin Allah, berdoa untuk keselamatan seseorang yang mendapatkan Lailatul Qadar. Siapakah orang yang beruntung memperoleh lailatul qadar? Mereka yang mencapai pengetahuan, kesadaran, pengertian, dan kesatuan hakiki bersama rahasia rahasia Allah. Mereka ini sudah tidak terpisahkan lagi oleh perasaan dan hijab, antara dirinya dan Allah. Mereka ini sudah tidak bertanya lagi bagaimana dan di mana Allah Azza Wa Jalla. Pencapaian pada puncak inilah yang merupakan kenikmatan hakiki.
Al Qur’an pada malam lailatul qadar, adalah pengetahuan yang membenarkan kebenaran. Sedangkan, lailatul qadar, adalah puncak kesadaran reflektif manusia membangun ketuhanan dan kemanusiaan seperti yang dijelaskan dalam Al Qur’an. []
Ubaidillah Achmad, Penulis Buku Islam Geger Kendeng.