La Vie Scolaire: Guru di Ambang Ego dan Profesionalitas

La Vie Scolaire: Guru di Ambang Ego dan Profesionalitas

La Vie Scolaire: Guru di Ambang Ego dan Profesionalitas

Saya banyak memantengi sinema-sinema Prancis sepanjang dua bulan awal 2021. Rasanya sayang sekali melewatkan #FrenchFest2021 yang dihelat 15 Januari-15 Februari kemarin. Festival film daring itu menyediakan 100 film Prancis yang sudah dikurasi dan disajikan di platform KlikFilm.

Di bulan Januari saya menonton lima belas film. Harus saya akui, di antara semuanya, La Vie Scolaire adalah yang terbaik. Judul versi internasionalnya: School Life. Rilis tahun 2019, bergenre drama-komedi (juga sedikit sentuhan coming-of-age), dan digarap oleh kolaborasi penyutradaraan Fabien Marsaud dan Mehdi Idir.

Tapi sebenarnya La Vie Scolaire saya temukan tanpa sengaja di Netflix. Saya tonton karena penasaran. Tanpa rekomendasi dari seseorang atau mengecek trailer. Premisnya berkisah tentang kehidupan guru dan murid di Collège de Francs-Moisins, sebuah SMP di daerah Seine-Saint-Denis, pinggiran Kota Paris.

SMP Francs-Moisins ini agak spesial. Dia masuk dalam zona pendidikan prioritas (zone d’éducation prioritaire). “Pendidikan prioritas” adalah salah satu kebijakan yang ada di Prancis sejak tahun 1981. Biasanya, zona atau wilayah yang masuk kebijakan ini kebanyakan warganya adalah kelas pekerja yang hidup pas-pasan, bahkan sebagian masih terkendala masalah ekonomi.

Anak-anak yang berasal dari latar belakang ini seringkali mengalami kesulitan sosial yang bermacam-macam. Pendidikan prioritas diberikan untuk memberi peluang dan masa depan yang setara bagi semua anak-anak Prancis. Tapi, tentu saja, dalam praktiknya tidak akan semudah itu.

La Vie Scolaire menggambarkan betapa sulitnya mengatur murid-murid yang tidak disiplin, slengean, minim hormat, hiperaktif, hingga pembangkang. Namun demikian, bukan berarti para murid di SMP Francs-Moisins berperan sebagai antagonis. Film ini, dengan sangat manusiawi, menunjukkan bahwa anak-anak itu juga punya alasannya sendiri. Kehidupan yang sulit, lingkungan yang tak mendukung, emosi yang kompleks, gejolak remaja di masa puber: semua bercampur menjadi satu. Di sini, penonton diajak berefleksi tentang situasi pelik guru yang kadang dihadapkan pada pilihan antara ego, harga diri, dan kerja profesional.

Film ini berfokus pada sosok Samia Zibra, guru bimbingan konseling (BK) yang baru saja pindah ke sekolah tersebut. Sebagai kepala guru BK yang baru, dia mengorganisir lima guru lain di bawah koordinasinya. Lima guru BK lainnya adalah guru lama. Sejak awal datang, Samia banyak bertanya pada timnya itu tentang perilaku murid-murid SMP Francs-Moisins.

“Apakah normal aku menghukum dua anak di hari pertama?” kata Samia pada rekannya, setelah melerai dua murid yang berkelahi. Selanjutnya, sepanjang film berlangsung, perempuan keturunan Karibia-Aljazair itu menghadapi satu per satu murid, yang kadang lucu, tapi seringkali menjengkelkan.

Di sisi bersebarangan, Yanis Bensaadi adalah karakter murid yang menjadi sorotan utama dalam film ini. Yanis adalah keturunan Arab berkewarganegaraan Prancis. Dia tinggal di sebuah flat kecil bersama ibu dan adik perempuannya. Ayahnya dipenjara.

Yanis sering dapat masalah di sekolah. Namun dari sanalah pertemuannya dengan Samia mulai intens. Samia seperti punya ikatan emosional dengan Yanis. Dia tahu bahwa Yanis adalah anak yang cerdas dan berbakat, tapi juga suka berulah. Yanis sering berdebat dengan guru, memakinya, atau bahkan menjailinya.

Secara garis besar, film ini memotret kehidupan para guru, dengan Samia sebagai sentranya. Di sisi bersamaan mengeksplorasi kehidupan para murid, dengan Yanis sebagai pusatnya. Melihat banyaknya karakter yang disorot, saya kagum dengan karakterisasi dalam La Vie Scolaire. Begitu kuat dan adil secara proporsi.

Sebut saja karakter Farid, salah satu murid SMP Francs-Moisins yang paling mahir berbohong. Teman-temannya menjulukinya Farid “si mitos”. Bocah berambut ikal itu punya masalah serius dengan keterlambatan. Saat Samia menginterogasinya, Farid seperti tak pernah kehabisan akal. Di hari itu, Farid mengaku disergap orang asing di jalan. Dalam riwayat terlambatnya, dia juga pernah mengaku dihadang anjing sebesar antelop, terjebak di rumah bibinya yang mengidap tumor otak, atau tak bisa tidur semalaman karena ada hantu yang menjerit, “Oohlooloo.”

Selain karakterisasi yang kuat dan humor jitu yang bertebaran di mana-mana, aspek akting yang melibatkan bocah-bocah remaja ini saya akui luar biasa. Nyaris tak ada yang terlihat kaku. Semua tampak natural. Film ini bahkan berani mengambil long take (adegan tanpa putus) dengan dialog cukup panjang dan berakhir sempurna.

Di Indonesia, salah satu film (pendek) dengan long take terbaik adalah Anak Lanang (2017). Diproduksi oleh Ravacana Films dan disutradarai oleh Wahyu Agung Prasetyo. Saya belum menemukan yang lebih baik dari itu.

La Vie Scolaire juga lekat dengan isu identitas. Heterogenitas karakter dalam film ini secara langsung menunjukkan multikulturalisme Prancis. Di sini, semua kaukasian, keturunan Arab, hingga orang kulit hitam berpadu tanpa sekat. Bahkan, humor identitas yang berpotensi melukai hati menjadi sangat lucu ketika berada dalam konteks persahabatan yang hangat. Seperti dalam adegan ketika Yanis dan Fodé saling mengolok-olok:

Fodé, pemakan jagung. Hei, apakah kau mau ayam?” kata Yanis berteriak di jendela.

Kau sendiri, Arab jorok, ISIS sudah meneleponmu?” sahut Fodé.

Saat adik Yanis muncul, Fodé bertanya, “Kenza, pacarku, apa kabar?

Hei, Fodé, kulit hitam bodoh!” balas Kenza.

Pakai saja kerudungmu. Mana burka itu?

Lalu ibu Yanis ikut muncul di jendela dan meneriaki Fodé, dia pun menjawab, “Maaf, Bu. Demi ibuku, anak-anakmu menghinaku dahulu. Mereka tak dibesarkan dengan benar.

Fodé lebih tua dari Yanis. Dia adalah anak jalanan pengedar narkoba. Dialog-dialog yang tercipta dalam persahabatan Yanis dan Fodé mencerminkan dunia anak-anak remaja di pinggiran kota yang bimbang antara melanjutkan sekolah atau bekerja.

Saya tak punya minat besar pada dunia pendidikan. Tapi saya sangat menikmati film ini. La Vie Scolaire mengajarkan lebih dari sekadar dunia pedagogi, meski saya dapat banyak pelajaran juga di sana. Setidaknya film ini tidak kalah bagus dari dua film bertema pendidikan yang terakhir saya tonton, Sokola Rimba (2013) dan Bad Education (2019).