Walau tak bisa jadi acuan bahwa nasab itu menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan seseorang, tapi memang hal (nasab) inilah yang sepertinya berlaku pada pribadi K.H. Mufid Mas’ud, Pendiri Pondok Pesantren Sunan Pandanaran (PPSPA) Jalan Kaliurang KM 12,5 dusun Candi kelurahan Sardonoharjo kecamatan Ngaglik kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Secara nasab, beliau merupakan keturunan ke-12 Sunan Pandanaran Bayat Klaten Jawa Tengah. Adapun urutan nasab beliau adalah sebagai berikut:
Mufid Mas’ud bin Ali Mas’ud bin RM Ilhar (RM. Idzhar) bin R. Mindel IV bin Pangeran Mindel III bin Pangeran Mindel II bin Pangeran Mindel I bin Raden Bergala bin Pangeran Gedong Wekasan bin Panembahan Mesjid Wetan bin Panembahan Minangkabul bin Panembahan Jiwo bin Sunan Pandanaran. (Karena Sunan Pandanaran berdakwah dan wafat di Bayat, maka tak heran jika beliau juga mendapat panggilan Sunan Bayat).
Beliau dilahirkan di kampung Sondakan, Kotamadya Surakarta (Solo) pada tanggal 26 Januari 1927 dengan nama Muhammad Mufid, dengan harapan agar beliau bisa menjadi orang yang bermanfaat, baik ilmu maupun hartanya. Ayahnya bernama Ali Mas’ud dan ibunya bernama Syahidah. Beliau adalah anak ketiga dari tujuh bersaudara, 4 putra dan 3 putri.
Ketika beliau masih dalam timangan ibunya, beliau diajak hijrah ke dusun Golo, desa Paseban, kecamatan Tembayat, kabupaten Klaten, Propinsi Jawa Tengah.
Hal ini karena setelah meninggalnya RM. Idzhar (kakek Kyai Mufid), tak ada lagi yang mengurus masjid Golo, masjid keluarga, warisan Sunan Pandanaran. Maka, atas kesepakatan saudara-saudaranya, Ali Mas’ud (ayah kyai Mufid) diminta untuk mengurus masjid tersebut.
Jadi, walaupun lahir di Surakarta, namun bisa dikatan, dari Klatenlah dimulainya kisah hidup KH. Mufid Mas’ud.
Masa Kanak-Kanak Dan Keadaan Keluarga
Mufid Mas’ud dilahirkan dan dibesarkan dari keluarga yang sangat pas-pasan. Sampai sekarang, masih ada satu bukti kemiskinan keluarga Ali Mas’ud yang bisa dilihat: bangunan mushola tua di depan asrama Darurriyadloh (dulu asrama inilah yang menjadi rumah bapak Ali Mas’ud) Bayat Klaten yang berdiri diatas tiang kayu dan temboknya dari ghedek.
Seperti anak kecil pada umumnya, Mufid kecil juga tak segan-segan bermain denga teman-teman sebayanya.
Walaupun hidup layaknya anak kecil di pedesaan saat itu, namun beliau mendapatkan satu kesempatan emas yang jarang didapatkan oleh anak-anak seusianya: kesempatan untuk mengeyam pendidikan di bangku sekolah.
Karena saat itu masih dalam masa penjajahan kolonial Belanda, maka hanya keluarga yang yang berdarah birulah (ningrat) yang diperbolehkan untuk sekolah.
Pada usia 7 tahun, Mufid kecil masuk ke sekolah dasar di Jiwo Wetan Wedi Klaten Jawa Tengah. Dengan sudah resminya Mufid kecil menjadi siswa di suatu sekolah, maka waktu pagi beliau gunakan untuk belajar di sekolah.
Sedangkan sore harinya, beliau belajar ilmu agama Islam kepada ayahnya, Kyai Ali Mas’ud. Dalam didikan ayahnya inilah Mufid kecil mulai dikenalkan dengan bebagai ajaran islam tingkat dasar, misalnya thaharah (bersuci), sholat, dan membaca al-Qur’an.
Setelah meyelesaikan sekolah dasar selama tiga tahun, kemudian beliau meneruskan belajar ke sekolah dasar lanjutan (sejenis SMP). Namun karena kecerdasaan otak beliau, hanya butuh waktu 1 tahun bagi Mufid kecil untuk menyelesaikan program belajar di sekolah tersebut. Padahal, normalnya 2 tahun.
Lantas, setelah menyesaikan sekolah formalnya, atas perintah ayahnya, Mufid muda merantau ke Klaten untuk menempuh ilmu di madrasah Mamba’ul Ulum Sidowayah Klaten cabang Surakarta yang saat itu dikepalai oleh K.H. R. Moh. Sofyan.
Di kota baru tempat tinggalnya sekarang inilah Mufid muda mulai merasakan hidup sendiri dan jauh dari orang tua. Dan karena terbiasa hidup di desa dengan keadaan prihatin, maka ketika hidup di kotapun Mufid muda tak mau tergantung kepada orang lain, termasuk orang tuanya sendiri.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup dan belajar di madrasah barunya tersebut, Mufid muda bekerja di sebuah toko baju. Namun, hal ini tak berlangsung lama. Pasalnya, sang guru, kyai Sofyan kurang merestui Mufid muda belajar sambil bekerja. Dan atas persetujuan ayahnya, kebutuhan hidup Mufid muda ditanggung oleh kyai Sofyan.
Secara umum, pelajaran di madrasah Mamba’ul Ulum harus diselesaikan selama kurun waktu 4 tahun. Namun, karena kelebihan yang dimiliki Mufid muda membuat beliau bisa menyelesaikannya dalam waktu 3 tahun. Yaitu kelas 1, kelas 2, dan langsung kelas 4, tanpa memasuki kelas 3.
Setelah itu, setelah lulus dari madrasah, Mufid muda memperdalam pengajian kitabnya secara intensif dibawah bimbingan langsung Kyai Sofyan.
Dalam masa belajarnya itu, baik yang di madrasah Mamba’ul Ulum maupun di hadapan kyai Sofyan, dalam usia 16 tahun, beliau telah menyelasikan beberap kitab fikih, akidah, dan palajaran tata bahasa arab (nahwu shorof), terutama kitab AlFiyyah Ibnu Malik. Dan inilah yang menjadi bekal hidup kyai Mufid di masa mendatang.
Pada suatu ketika, Mufid muda bersilaturrahim ke Pondok Pesantren Krapyak karena ada acara hataman al-Qur’an disana. Di acara tersebut, beliau melihat orang-orang yang membaca al-Qur’an bil ghaib (dengan tanpa melihat).
Ketika itu, dalam hati, beliau berdecak kagum dan berdoa agar suatu saat nanti mudah-mudahan beliau juga bisa menghafal al-Qur’an, karena saat itu di daerah Klaten belum ada orang yang hafal al-Qur’an. Dan ternyata, doa Mufid muda diamini oleh para malaikat.
Akhirnya, 2 tahun setelah kehadirannya di Pondok Pesantren Krapyak itu, hati Mufid muda benar-benar yakin ingin mengahafalkan al-Qur’an dan Krapyaklah yang beliau pilih sebagai tempatnya.
Berbekal niat ingin menghafal al-Qur’an, dan dengan diantar salah seorang teman, beliau berangkat ke pesantren yang berlamatkan di Sewon Bantul Yogyakarta itu. Ada dua alasan beliau menghafal al-Qur’an: pertama, suatu hadis yang selalu beliau ingat, “sebaik-baiknya kamu adalah yang belajar Al Qur’an dan mengajarkannya”. Kedua, beliau ingin mempelajari ilmu Allah Swt. dari sumbernya langsung (al-Qur’an). Karena saat itu, harga kitab-kitab klasik (kuning) mahalnya bukan main. Ditambah lagi, Mufid muda berasal dari keluarga miskin.
Ketika itu, santri Krapyak sudah terdiri dari kurang lebih 90 santri yang tebagi menjadi empat kamar (A, B, C ,dan D).
Awal mula di Krapyak, untuk masalah perut-sebagaimana aturan pesantren krpayak saat itu- beliau (dan tentunya setiap santri baru) dilayani oleh santri-santri lama, perkamar.
Saat itu, untuk menghafal al-Qur’an di Krapyak, setiap santri baru harus memulainya dari juz 30 (juz ‘amma). Dan Mufid muda, untuk menghafalkannya, hanya membutuhkan waktu lima bulan. Saat itu, sambil menghafalkan juz ‘amma, ternyata Mufid muda juga sedikit-sedikit menghafalkan juz 1 sampai 5.
Namun, ketika Mufid muda sudah mulai kerasan di sana, keamanan bumi Yogyakarta mulai terancam oleh kehadiran Jepang. Akhirnya, demi menyelamatkan diri, Mufid muda dan seluruh santri Krapyak saat itu, satu persatu pulang ke daerahnya masing-masing.
Setelah keadaan aman, Mufid muda ingin meneruskan lagi mondoknya. Namun saat itu, Krapyak belum sepenuhnya aman, karena memang terletak di dekat pusat pemerintahan Yogyakarta. Akhirnya Mufid muda menentukan pilihan untuk nyantri di Pondok Pesantren Kaiwungu Kendal.
Dengan hanya berbekal uang 25 sen, Mufid muda berangkat ke Kaliwungu dengan naik kereta api. Ternyata memang benar, “Manusia hanya bisa berusaha, tuhan yang menetukan.” Untuk ke Kaliwungu, kereta api hanya bisa sampai di Parakan. Dan karena diperkirakan sampai Parakan larut malam dan sulit mencari tempat bermalam, akhirnya beliau memutuskan untuk berhenti di Temanggung saja.
Di Temanggung, beliau bermalam di rumah salah seorang teman ayahnya, K. Ibnu Umar.
Setelah menceritakan maksud dan tujuan perjalanan beliau, kyai Umar menawarkan bagaimana kalau Mufid muda nyantri saja kyai Muntaha, seorang teman kyai Umar yang juga hafal al-Qur’an. Kebetulan, saat itu, Kyai Muntaha belum memiliki santri. Dan dengan berbagai pertimbangan, akhirnya Mufid muda pun menyetujui tawaran tersebut.
Sejak saat itu, jadilah Mufid muda santri pertama Kyai Muntaha yang saat itu masih tinggal di Temanggung. Untuk masalah hidup sehari-sehari, beliau tinggal di rumah Kyai Umar.
Ternyata, metode yang digunakan Kyai Muntaha tak beda jauh dengan yang diterapkan di Krapyak, ngajinya dua kali sehari.
Tanpa terasa, setelah 1 tahun ngaji kepada Kyai Muntaha, Mufid muda telah mendapatkan hafalan yang cukup banyak: diatas duapuluh juz.
Dengan perolehan juz sebanyak itu, dan agar Mufid muda bisa ngaji secara intensif, akhirnya kyai Muntaha menyarankan agar Mufid muda ikut tinggal saja bersama beliau. Mufid mudapun hanya sami’na wa atho’na.
Setahun setelah itu, akhirnya Mufid muda telah berhasil menyelesaikan hafalan Qur’annya secara sempurna.
Dan atas saran kyai Muntaha, Mufid muda berangkat tabarukan kepada kyai Dimyati Comal Pemalang Jawa Tengah.
Selang beberapa waktu, akhirnya, ‘misi’ tabarukan Mufid mudapun selesai juga. Kemudian, setelah republik ini merdeka, beliau meminta izin kepada kyai Dimyati untuk kembali nyantri di pesantren Krapyak. Dari seluruh guru Al Qur’an kyai Mufid, sanadnya muttasil sampai pada K.H. Munawir Krapyak.
Oleh: M. Nurul Huda