Tak lama setelah nyantri lagi di Krapyak, oleh K.H Abdullah dan K.H. Abdul Qodir (keduanya adalah putra K.H. Munawir) Mufid muda diminta untuk menikahi adiknya yang bernama Jauharoh binti K.H. Munawir yang saat itu masih baru 14 tahun.
Mendapat tawaran itu, Mufid muda seolah “terkena durian jatuh”. Dengan penuh ketawadu’an, Mufid muda merasa tak pantas mendapatkan istri seorang putri ulama besar. Padahal, saat itu, banyak putra-putra kyai yang nyantri di Krapyak. Tapi, mengapa malah Mufid yang terpilih. Itulah jodoh, sudah ada yang mengatur.
Dengan telah menjadi seorang suami-dan menjadi bagian keluarga Krapyak-kini tugas Mufid muda bertambah: mengajar ngaji para santri putri dan mengurus istri.
Karena istri sepenuhnya menjadi tugas suaminya, akhirnya apapun yang menjadi kebutuhan istri, suamilah yang memenuhi, termasuk kebutuhan ilmu perngetahuan.
Dalam bimbingan Kyai Mufid, Jauharoh diajari berbagai macam bidang ilmu, baik al-Qur’an maupun kutubutturost (kitab kuning).
Dengan dukungan dan kedisiplinan yang diajarkan kyai Mufid, kiprah ibu Jauharoh semakin lama semakin berkembang. Dengan ibu Jauharoh ini, kyai Mufid dikaruniai 10 putra: 2 laki-laki dan 8 perempuan.
Mendirikan Pondok Pesantren Sunan Pandanaran (PPSPA)
Suatu hari pada tahun 1965, untuk pertama kalinya Kyai Mufid sowan kepada K.H. Abdul Hamid Pasuruan Jawa Timur. Saat itu, beliau di antar H. Abdul Kholiq Singosari Malang.
Kedatangan Kyai Mufid itu ternyata disambut hangat oleh kyai Hamid. Sebagai pembuka, H. Kholiq matur kepada Kyai Hamid:
“Meniko bapak Mufid, mantu mbah Munawir Krpayak. Ugi khidmah datang K.H. Ali Ma’shum” (Ini bapak Mufid, menantu mbah Munawir Krapyak, yang juga mengabdi kepada K.H. Ali Ma’shum).
Mendengar ucapan itu, lantas Kyai Hamid masuk ke kamar dan keluar lagi dengan membawa handuk dan sabun. Beliau berkata:
“Mas mufid, kulo ndamel kulah enggal, monggo kulo aturi siram” (Mas Mufid, saya mempunyai kamar mandi baru, mari saya persilahkan mandi).
Dengan mendapat tawaran seperti itu, Kyai Mufid merasa mendapat suatu kehormatan yang tiada tara. Pasalanya saat itu, juga banyak tamu yang hadir, namun hanya Kyai Mufid dan H. Kholiq yang dipersilahkan mandi.
Mulai saat itu, Kyai Mufid yang masih tinggal di Krapyak dan belum mempunyai pesantren, sering sowan kepada Kyai Hamid. Hingga pada kesekaian kalinya, Kyai Hamid memberikan isyaroh kepada kyai Mufid untuk pindah dari Krapyak. Isyaroh itu beliau sampaikan melalui bait-bait Alfiyyah:
وَفِى اتّـِحَادِ الرُّتْبَةِ الْزَمْ فَصْلَا # وَقَدْ يُبِيْحُ الْغَــيْبُ فِيْهِ وَصْـــلاَ
Secara tekstual nahwiyyah, terjemah dari nadlom di atas adalah sebagai berikut:
“Wajib memisah salah satu (dari dua) dhomir manshub yang bertemu dan dalam satu tingkatan, tetapi terkadang boleh menyambung dua dhomir ghaib yang berbeda lafadznya”.
Dan yang jelas, bukan makna letterlijk seperti itu yang Kyai Hamid kehendaki, akan tetapi makna filosofinya. Yaitu, dengan tujuan syi’ar islam, Kyai Mufid supaya pindah dari Krapyak, karena di sana sudah ada Kyai Ali Maksum.
Suatu ketika, Kyai Hamid juga memberikan tanda lagi agar Kyai Mufid mau pindah dari Krapyak. Ketika itu, saat Kyai Hamid sedang menerima banyak tamu-dan Kyai Mufid sebagai salah satu diantaranya-tamu-tamu yang hadir itu diminta untuk berdiri dan membaca salawat.
Setelah selesai dan semuanya duduk seperti sediakala, kyai Hamid ngendiko: “Mas Mufid, kanjeng nabi itu hijrah dari Makkah ke Madinah. Para sahabat senang. Agama Islam semubyar, dan bahagia-bahagia lainnya”.
Lain waktu, ketika beliau sowan lagi ke ndalem Kyai Hamid, beliau mendapat satu tanda lagi. Saat itu, selain Kyai Mufid yang bertamu, juga ada seorang laki-laki yang membawa anaknya. Dalam pertemuan itu, Kyai Hamid berbicara kepada anak kecil itu:
“Besok yen kowe wes gedhe, mondok neng gene pak kyai iki (sambil menunjuk Kyai Mufid). Pondoke bapak kyai iki nggone wong ngapalake Qur’an. Rejekine gembrojok seko kiwo, seko tengen, seko ngarep, seko mburi”.
Satu hal yang membuat kyai Mufid merasa agak aneh: saat itu beliau belum memiliki pesantren.
Tanda lain juga Kyai Hamid sampaikan suatu saat ketika kyai Mufid sowan lagi. Saat itu, kyai Hamid memberi isyaroh agar kyai Mufid berhijrah ke Yogyakarta bagian utara.
Sebenarnya, saat itu Kyai Mufid juga sudah mendapatkan tawaran tanah wakaf di Yogyakarta bagian utara, yang nantinya menjadi PPSPA (Pondok Pesantren Sunan Pandanaran). Namun kyai Mufid belum mengatakannya kepada Kyai Hamid.
Saat itu, Kyai Mufid disuruh masuh ke kamar dan makan pisang. “iki gedhange wes mateng-mateng, ora rekoso, kari mangan”. Ungkapan itu, dipahami Kyai Mufid sebagai perintah agar beliau segera melakukan hijrah.
Suatu saat, Kyai Mufid sowan lagi kepada Kyai Hamid Pasuruan, dan beliau diberi 2 buah sarung oleh Kyai Hamid: satu untuk beliau (Kyai Mufid) sendiri dan satu lagi untuk Kyai Ali Ma’shum.
Dan mulai saat itulah, Kyai Mufid hijrah dari Krapyak menuju Yogyakarta bagian utara seperti halnya yang diperintahkan oleh Kyai Hamid.
Sejak saat itu, Kyai Mufid hidup dan menetap di Jalan Kaliurang KM 12,5 Dusun Candi Kelurahan Sardonoharjo Kecamatan Ngaglik Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta. Awalnya, beliau hanya menempati tanah wakaf seluas 2400 m2 dengan bangunan masjid dan rumah kecil di atasnya.
Kini, dengan jerih payah, usaha dan doa kyai Mufid, PPSPA menjadi salah satu pondok pesantren terbesar di bumi Yogyakarta.
Jadi, memang pendirian PPSPA tak bisa dipisahkan dengan pribadi Kyai Hamid Pasuruan Jawa Timur.
Wafatnya Sang Kyai
Tanggal 19 Maret 2007 seolah menjadi hari-hari terkahir Kyai Mufid. Saat itu, seusai pulang dari Jawa Tengah, Kyai Mufid merasakan sakit pada tulang bagian belakang dan setelah itu, sebagian besar waktunya beliau gunakan untuk beristirahat.
Hingga keesesokan harinya, keadaan seperti itu masih beliau rasakan. Akhirnya, beliau meminta putranya, KH. Mu’tashim Billah untuk membawanya ke Rumah Sakit Harapan Insani (RS. HI) milik Prof. Dr. H. Gunadi, M.Sc yang merupakan teman baik kyai Mufid.
Berulang kali masuk rumah sakit, keadaan beliau semakin lama semakin memburuk. Dan pada hari Jum’at, 30 Maret beliau merasakan sedikti sakit pada bagian perut. Namun setelah itu, alhamdulillah, kesehatan Kyai Mufid semakin membaik.
Sayangnya, hari itu, selasa kliwon 2 April 2007 (17 rabiul awal 1428), dengan dituntun membaca kalimat tayyibah oleh KH. Mu’tashim Billah dan beberapa anggota keluarganya, beliau menghembuskan nafas terakhir. Innalillahi wa inna ilaihi raji’un.
Hari itu seolah menjadi hari paling bersejarah bagi umat islam Yogyakarta umumnya dan keluarga Pondok Pesantren Sunan Pandanaran khususnya. Hari itu, sang pendiri, K.H. Mufid Mas’ud kembali ke hadapan Allah SWT, tuhan semesata alam.
Oleh: M. Nurul Huda