Fenomena hijrah sudah menjadi trend di kalangan muda. Trend hijrah banyak kita jumpai di muslim kelas menengah perkotaan. Di satu sisi ini menjadi trend positif bagi kalangan muda karena akan lebih dekat dengan agama, di sisi lain trend positif ini justru menjadi negatif tatkala hijrahnya justru keliru. Yang terakhir ini kemudian menjadi persoalan tersendiri, akan tetapi bagi anak muda yang sedang mencari jati dirinya tidak salah jika mengambil tindakan demikian.
Secara kultural, anak muda muslim perkotaan ini sebenarnya masih memiliki identitas nasionalis. Selama ini mereka berkembang dalam lingkungan yang “sekuler”, sekolah negeri dan lingkungan yang memiliki basis agama minim, sehingga hal itu membentuk identitas mereka. Identitas diri ini lama kelamaan akan terjadi konstruksi dengan sendiri dengan kultur dalam kehidupannya. Baik kultur dalam keluarga maupun dalam lingkungan sekawannya. Bisa dikatakan untuk persoalan spiritual terasa sangat kurang.
Kurangnya dunia spiritualitas dalam lingkungannya dijawab oleh sekolahannya dengan mengadakan bimbingan kerohanian. Bagi anak muda yang berkeinginan kuat untuk mendalami ilmu agama lebih lanjut, maka selepas dari sekolahan ia akan mencari guru spiritualitas baru. Keinginan kuat ini kemudian yang menjadikan anak muda untuk mencari siapa ustadz atau guru agama yang cocok untuk diikuti. Para ustadz-ustadz yang terkenal akhir-akhir ini pun bisa jadi beliau-beliau itu sudah mengetahui bahwa anak-anak muda milenial merasa dunia spiritualitasnya kering. Asupan-asupan ajaran agama yang selama ini hanya sebatas pengenalan saja dirasa kurang oleh anak muda, sehingga kesempatan ini dimanfaatkan oleh para ustadz untuk mengenalkan islam lebih dalam lagi.
Meskipun durasi waktunya singkat, mungkin hanya beberapa jam dalam sehari dan juga memanfaatkan chanel youtube atau media sosial lainnya, sudah membuat jiwa spiritualitasnya tercukupi. Anak muda milenial akan berusaha mencari video-video terbaru dari para ustadz untuk didengarkan, dipahami, sesekali dipraktekkan secara langsung. Dari sinilah kemudian identitas keagamaan mereka akan terbentuk secara perlahan-lahan. Secara tidak sadar identitas mereka menjadi ganda. Pertama, mereka akan sadar bahwa ia adalah anak Indonesia dan segala konsekuensinya; kedua, mereka adalah umat beragama yang memiliki keunikan tersendiri dalam beragama.
Untuk yang kedua biasanya anak muda milenial akan menunjukkan berbusana secara “Islami”. Bagi perempuan akan mengenakan pakaian yang bisa menutupi seluruh lekuk tubuhnya, sedangkan laki-laki mengenakan busana yang identik dengan ke-Araban. Bagi sebagian kalangan, dengan model berbusana seperti itu akan memperlihatkan cara beragama yang lebih Islami. Dan, model berpakaian seperti itu merupakan wujud dari pencarian identitas keagamaan yang lebih lanjut.
Berbeda halnya jika kita bandingkan dengan anak muda jebolan pesantren. Baik perempuan maupun laki-laki, mereka masih kuat untuk memegang prinsip tradisionalismenya. Hal ini karena selama di pondok pesantren mereka belajar kitab kuning secara utuh dan dari berbagai disiplin ilmu. Pesanten juga memiliki tradisi yang sangat kuat sehingga hal itu membentuk kepribadian santri. Dan bahkan menurut Gus Dur pesantren merupakan subkultur dalam masyarakat. Oleh karenanya, selepas dari pesantren banyak dari mereka yang tidak menggunakan pakaian secara “Islami”, sebagaimana yang dilakukan oleh anak muda muslim di atas.
Bahkan ketika mereka selesai belajar pesantren, anak muda pesantren justru mempelajari ilmu-ilmu “sekuler” dan aktif beberapa LSM yang bergerak di bidang sosial. Jika selama pesantren mereka hanya berteman dengan kitab-kitab kuning dan tradisi pesantren, akan tetapi saat ini, banyak santri jebolan pesantren yang menggeluti ilmu-ilmu sosial, dan bahkan mereka memadukan keilmuan sosial dengan Islam, maka dari situ lahirnya apa yang disebut dengan para pemikir post-tradisionalisme Islam. Jika di Maroko ada Abd Al-Jabiri yang terkenal dengan post-tradisionalismenya maka di Indonesia ada Ahmad Baso. Kedua orang ini sama-sama menggeluti bidang post-strukturalis, salah satu ilmu yang terdapat dalam keilmuan sosial.
Perbedaan kultur hibrida kedua kelompok anak muda di atas bisa dilihat dari cara pandang agama itu sendiri. Jika yang pertama kultur hibridanya berawal dari lingkungan sekuler kemudian belajar agama Islam di luar lingkungannya, maka cara beragama mereka bisa dikatakan secara legal-formal. Upaya ini merupakan pencarian identitas mereka ke ruang publik. Sedangkan kelompok yang kedua berawal dari tradisi pesantren kemudian mempelajari ilmu-ilmu sekuler, maka bukan pencarian identitas lagi yang ingin mereka kejar akan tetapi kapasitas keilmuan. Wallahhu a’lam.
M. Mujibuddin, penulis adalah pegiat di Islami Institute Jogja.