Bersama Cua Beng Huat dan sebelumnya Arena (Asian Regional Exchange for New Alternatives), termasuk didalamnya Hilmar Farid, Melani Budianta, dan Noer Fauzi Rachman), Kuan Hsing Chen membangun Gerakan Intelektual di Asia, yang berusaha untuk mengecek dan membongkar kembali asumsi Barat mengenai Asia. Tidak hanya sekedar menciptakan slogan dan mengkritik bangunan Pengetahuan Barat, mereka membangun sendiri jalur intelektual dan akademiknya dengan membuat Inter-Asia Cultural Studies Society. Dalam komunitas ini, mereka melakukan pelatihan, workshop sekaligus juga pertemuan dua tahunan yang dikenal dengan IACS (Inter-Asia Cultural Studies Society). Hasil dari konferensi ini, kemudian diterbitkan oleh sebuah jurnal yang mereka kelola sendiri dengan nama Inter-Asia Cultural Studies Journal, yang berada dalam ranking Q1.
Saat konferensi dua tahunan di Seoul, Korea Selatan (2017), saya sempat ngobrol dengannya. Orangnya sangat ramah dan baik sekali. Ia, bahkan, yang mengeluarkan terlebih dahulu kartu namanya dan kemudian mengirimkan beberapa artikel jurnalnya yang akan terbit kepada saya setelah kami bertukar informasi. Dalam hati saya berpikir, “Ini intelektual macam apa? Namanya begitu besar, tapi orangnya sangat rendah hati dan ramah”. Selama sesi, konferensi, saya mengamatinya, betapa ia tidak berjarak kepada siapapun yang ditemuinya. Bertolak dari sini, saya bertekad untuk kuliah S3 di kampusnya, tepatnya di Social Research and Cultural Studies, National Chiao Tung University, Taiwan, dengan skema beasiswa RISET Pro. LOA sudah didapatkan, tapi sayang beasiswa untuk S3 tersebut dihentikan. Niat untuk berguru langsung terhenti.
Meskipun demikian, bukunya yang berpengaruh dengan judul “Asia As Method: Toward Deimperialization” (2010) tetap saya baca. Artikel-artikel jurnalnya saya nantikan, dan sejumlah video kuliahnya di Youtube saya simak dengan seksama. Bahkan, saya seringkali bertanya kepada Ibnu Nadzir, kolega di LIPI yang selalu tampil keren maksimal di segala cuaca, terkait dengan gaya berpakaiannya.
Ia bernampilan terlihat urakan, dengan kemeja kancing atas terbuka, tapi terlihat pas dan asyik dilihat. Selain itu, apapun aktivitas yang terkait dengan Inter-Asia Cultural Studies, jika ada dana tentunya, sebisa mungkin akan saya ikuti. Hampir semua tulisan yang terbit di jurnal Inter-Asia Cultural Studies, apapun temanya, selalu saya sempatkan untuk membacanya. Ini karena, jurnal tersebut menjadi semacam bangunan cita-cita saya untuk menjadi akademisi sepertinya.
Bagi saya, tipikal dan model seperti beliau, juga gerakan Inter-Asia Cultural Studies, sangat mungkin untuk diikuti di Indonesia; memiliki daya lentur antara akademisi-intelektual publik, sekaligus dimensi advokasi yang kental dengan tidak kehilangan nalar akademik untuk bertarung dengan para sarjana lain di level internasional. Sayangnya, hal ini tampaknya sulit dilakukan. Atas nama anti-barat dan kolonialisasi dengan dalih nasionalisme, tidak sedikit sarjana dan intelektual Indonesia hanya melawannya dengan slogan; ngejek sana-sini, nyinyir gini-gitu.
Akibatnya, alih-alih melawan, hal tersebut sekedar menunjukkan kuatnya mental inferioritas sambil membangun narasi besar mengenai kekokohan dirinya di publik. Ironisnya, kondisi tidak sedikit, tapi banyak di Indonesia. Tawaran-tawaran mengenai produksi pengetahuan Indonesia akhirnya hanya berhenti sebagai cita-cita akademik ketimbang menjadi gerakan. Akibatnya, ide indigeunisasi ilmu sosial Indonesia, justru diartikulasikan oleh para sarjana non-Indonesia.
Padahal, dalam level akademik, cara melawan itu tidak lain dengan tulisan. Jikalaupun medan pertempurannya adalah bahasa Inggris, ya harus mengikuti lapangan pertempuran tersebut. Ini karena, daya melawan tapi bangunan fondasi yang lemah hanyalah bentuk kesia-siaan.
Apalagi, apabila kita bercermin ingin seperti India yang memiliki geng tersendiri yang disebut dengan geng Subaltern Studies. Sebaliknya, posisi ini justru yang sedang diambil Singapura, khususnya di National University of Singapore (NUS), melalui sejumlah jurusan kuliah yang dibangun. Studi-studi ilmu sosial yang dibangun oleh NUS, khususnya bidang Malay Studies, Southeast Asian Studies, dan Cultural Studies, mengambil posisi ini; kritis terhadap pengetahuan barat dengan menempatkan diri sebagai masyarakat berkembang.
Meskipun secara ekonomi mereka ini adalah negara maju. Ruang antara ini yang selalu mereka mainkan sehingga mendapatkan tempat dalam publik internasional. Ruang antara ini seharusnya yang ditempatkan oleh Indonesia yang secara kemampuan dan kapital memiliki daya artikulasi tajam tersebut.
Ya, harus diakui, secara pendanaan, baik riset maupun penghargaan terhadap dunia akademisi, Singapura tidak bisa dibandingkan dengan Indonesia. Meskipun demikian, bukan berarti kita tidak bisa bercermin dari kerja-kerja negara-kota tersebut. Ini karena, perihal itu sebenarnya sudah dirintis oleh para pengkaji Islam Indonesia dengan mengartikulasikan gagasan pengetahuan lokal. Di antara mereka adalah Dina Afrianty, Euis Nurlaelawati, Noorhaidi Hasan, Moch Nor Ichwan, Al-Makin, Azyumardi Azra, Najib Burhani, Arskal Salim, Nadirsyah Hosein, Mun’im Sirri dan Sumanto Al-Qurtubi.
Para intelektual ini tidak hanya menuliskan gagasan Islam Indonesia yang dibenturkan dengan studi-studi terbaru, melainkan juga menjadi sarjana yang dikutip namanya dalam studi-studi tertentu dalam Islam dalam level internasional. Bahkan, melalui inisiasi dan kerja keras para sarjana Islam di perguruan tinggi Islam, setidaknya ada empat jurnal mereka yang terindeks scopus, seperti Al-Jamiah (UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta), Studia Islamika (UIN Syarif Hidayatullah), International Journal of Islam and Muslim Societies (IJIMS/IAIN Salatiga), dan Journal of Indonesian Islam (JII/UIN Sunan Ampel Surabaya). Namun, rintisan ini memerlukan waktu dan jalan panjang untuk mempengaruhi diskursus publik internasional.