Sebagai sumber hukum dan aturan kehidupan bagi umat Islam, al-Quran telah memberikan penjelasan bahwa Allah SWT. menjadikan umat manusia dalam berbagai suku, etnik, agama, bahasa, ras dan lain sebagainya. Heterogenitas umat manusia ini mestinya menjadi inspirasi bagi umat manusia untuk saling berbagi, saling menolong dan membantu antar sesamanya. Bukan malah saling bertengkar. Allah SWT berfirman:
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُمْ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ
Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, Yaitu Kitab-Kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap Kitab-Kitab yang lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu (QS, Al-Maidah; 48)
Ayat di atas menunjukkan bahwa Allah SWT sendiri menghendaki adanya heterogenitas umat manusia. Andaikan Allah SWT menghendaki, homogenitas adalah suatu keniscayaan. Akan tetapi Dia justru menjadikan umat manusia beragam. Di sisi lain, Allah juga menegaskan bahwa heterogenitas umat manusia ini mestinya dijadikan sebagai motivasi untuk berlomba-lomba dalam kebaikan.
Nabi Muhammad SAW sebagai teladan umat Islam dalam sejarahnya telah mengajarkan kepada umatnya dalam memperlakukan umat agama lain. Nabi Muhammad SAW tidak pernah melakukan pemaksaan atas keragaman ideologi dan agama yang dianut oleh masyarakat Madinah.
Pun demikian, kita juga harus meneladani dakwah yang telah ditempuh oleh para penyebar ajaran Islam di negeri ini; wali songo. Para wali penyebar agama Islam di tanah Jawa ini dalam sejarah dakwahnya dikenal menggunakan pendekatan budaya lokal. Strategi kebudayaan yang digunakan oleh para walisongo dalam mendakwahkan ajaran Islam ini justru mendapatkan tempat di hati masyarakat Jawa. Secara perlahan masyarakat Jawa meninggalkan agama lamanya untuk kemudian memeluk agama Islam.
Pada titik ini jelas terlihat bahwa Islam sebagaimana dicontohkan oleh pembawa risalahnya, Nabi Muhammad SAW, mengajarkan untuk bersikap menghargai atas keragaman masyarakat. Hal yang sama juga dapat kita tiru dari para wali yang mendakwahkan agama Islam di tanah Jawa dengan menggunakan budaya sebagai pendekatan dakwahnya.
Salah satu hadis yang dijadikan pijakan utama oleh pelaku kekerasan yang mengatasnamakan agama adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim. Hadis tersebut memang secara sanad shahih, terlebih diriwayatkan oleh dua ahli hadis dalam kitabnya yang sudah diakui secara konsensus akan kesahihannya.
عن ابن عمر رضي الله عنهما ، أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : ( أمرت أن أقاتل الناس ، حتى يشهدوا أن لا إله إلا الله ، وأن محمدا رسول الله ، ويقيموا الصلاة ، ويؤتوا الزكاة ، فإذا فعلوا ذلك عصموا مني دماءهم وأموالهم إلا بحق الإسلام ، وحسابهم على الله تعالى ) رواه البخاري ومسلم (
Diriwayatkan dari Ibnu Umar RA bahwa Rasulullah SAW telah bersabda: Aku diperintahkan (Allah SWT) untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan salat, menunaikan zakat. maka jika mereka melakukan semua itu akan terselamatlah darah dan harta benda mereka dariku, kecuali yang mana ada hak Islam padanya dan perkiraan mereka terserahlah kepada Allah Ta’ala. (HR: Bukhari dan Muslim)
Untuk dapat memahami hadis di atas diperlukan pemahaman dasar atas bahasa Arab. Hal ini penting, sebab tidaklah mungkin kita dapat memahami teks-teks al-Quran dan hadis tanpa pengetahuan yang memadai atas bahasa yang digunakan oleh keduanya.
Hadis di atas jika dipahami secara buru-buru akan berakibat fatal. Sebab, kesan pertama dari hadis di atas bermakna bahwa Nabi diperintah untuk memerangi umat manusia sampai ia masuk Islam. Namun, jika diteliti lebih hati-hati, maka pemahaman atas hadis tersebut tidaklah demikian. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal:
- Redaksi (اقاتل) yang dipakai oleh Nabi dalam hadis di atas dalam bahasa Arab merupakan derivasi dari (قاتل) yang bermakna “musyarakah” yang dalam bahasa Indonesia bermakna “saling”. Dalam hal ini berarti saling membunuh alias berperang. Jadi, hadis ini menunjukkan makna dalam kondisi perang. Bukan dalam keadaan aman atau menyerang tanpa sebab.
- Redaksi (الناس) dalam matan hadis di atas adalah kalimat umum yang bermakna khusus. Artinya bahwa maksud kata “an-nas” dalam hadis di atas adalah kaum musyrik yang memerangi Nabi Muhammad SAW. (as-Sindi, Hasyiyah al-Sindi ‘Ala Sunan Ibn Majah, vol.2, hal.457)Dari sini dapat dipahami dengan jelas bahwa hadis di atas hanya dapat dilakukan dalam kondisi-kondisi tertentu sebagaimana misalnya terbatas pada kelompok yang memerangi Nabi Muhammad SAW. bukan secara mutlak kepada kalangan non-Islam secara membabi buta.
Kesalahpahaman kelompok-kelompok yang melakukan kekerasan atas nama agama dalam menjadikan hadis di atas sebagai legitimasi perbuatan mereka disebabkan oleh beberapa faktor lain yang di antaranya adalah mereka tidak memahami prinsip-prinsip universal dalam syariat Islam (maqashid al-Syariah); hifdz al-din, hifdz al-nafs, hifdz al-aql, hifdz al-nasl dan hifdz al-mal, yang dimana kelima prinsip tersebut merupakan inti dari syariat Islam. Penjagaan atau melindungi jiwa orang lain ini sebagaimana difirmankan oleh Allah SWT:
مَن قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا ۚ وَلَقَدْ جَاءَتْهُمْ رُسُلُنَا بِالْبَيِّنَاتِ ثُمَّ إِنَّ كَثِيرًا مِّنْهُم بَعْدَ ذَٰلِكَ فِي الْأَرْضِ لَمُسْرِفُونَ
Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, Maka seakan-akan Dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolah-olah Dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. dan Sesungguhnya telah datang kepada mereka Rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi.(QS: al-Maidah: 37)
Ayat di atas menunjukkan bahwa Islam melalui al-Quran menegaskan atas pelarangan membunuh orang lain dan membuat kerusakan di atas muka bumi. Bahkan dalam ayat lain jiwa manusia bukan hanya wajib dijaga melainkan juga wajib dihormati, Allah SWT berfirman:
ولقد كرمنا بني آدم وحملناهم في البر والبحر ورزقناهم من الطيبات وفضلناهم على كثير ممن خلقنا تفضيلا
Dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.(QS, al-Isra’: 70)