Saat kita mendengar kata perempuan kritis, apa yang muncul di benak kamu? Pasti kata feminis, yang dianggap sebelah mata. Bahkan beberapa waktu yang lalu kita melihat beberapa perempuan yang secara langsung menolak feminisme karena dianggap bertentangan dengan ajaran Islam. kritik aisyah
Beberapa orang yang mengatasnamakan dirinya sebagai anggota Indonesia Tanpa Feminisme itu tanpa tedeng aling-aling menyuarakan dengan lantang bahwa feminisme adalah bagian dari liberalisme. Lah, kok bisa? Padahal istri Rasulullah SAW, Aisyah RA merupakan aktifis feminisme yang sangat kritis dengan isu-isu patriarkhis di masanya. Tidak percaya?
Zainuddin al-Zarkasyi dalam salah satu karyanya yang berjudul “al-Ijabah li Iradi ma Istadrakathu Aisyah alas Sahabah mencoba mengumpulkan seluruh kritik Aisyah atas para sahabat. Bahkan beberapa di antaranya merupakan bantahan Aisyah atas pemahaman patriarkhis para sahabat atas sabda Rasulullah SAW. Aisyah pun dengan tegas dan argumentative membantah pendapat-pendapat sahabat tersebut. Bahkan bisa dibilang, jika tidak terlalu berlebihan, Aisyah adalah seorang feminis yang membela hak-hak perempuan di masanya.
Ada sekitar kurang lebih tigapuluhan kritik Aisyah atas pendapat-pendapat para sahabat yang berhasil dikurasi dan dielaborasi oleh Zainuddin al Zarkasyi. Salah satunya adalah kritik Aisyah atas hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah RA. Hadis tersebut berkaitan dengan Qath’u al-Shalat, atau hal-hal yang dapat menganggu kekhusyuan shalat.
عن أبي هريرة رضي الله عنه. قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: يقطع الصلاة المرأة والحمار والكلب
“Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda: Shalat bisa terputus karena perempuan, keledai, dan anjing. “
Hadis di atas, selain diriwayatkan oleh Abu Hurairah juga diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, dan Abu Dzar. Dalam riwayat Ibnu Abbas ditambahkan kata “haid”, yakni perempuan yang sedang haid.
Namun riwayat ketiga sahabat ini dibantah keras oleh Aisyah yang juga diriwayatkan oleh kedua kitab Sahih, yaitu Sahih Bukhari dan Sahih Muslim. Dalam kritiknya tersebut Aisyah menyanggah dengan keras dan menuduh beberapa sahabat menyamakan perempuan seperti Aisyah dengan himar (keledai) dan kalb (anjing).
قد شبهتمونا بالحمير والكلاب. والله ! لقد رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم يصلي وإني على السرير بينه وبين القبلة مضطجعة . فتبدو لي الحاجة. فأكره أن أجلس فأوذي رسول الله صلى الله عليه وسلم . فأنسل من عند رجليه.
“Kalian menyamakan kami dengan keledai dan anjing? Demi Allah aku telah melihat Rasulullah SAW melakukan shalat sedangkan aku berbaring di atas tempat tidur di depan Rasulullah SAW. Sehingga ketika aku ada suatu keperluan dan aku tidak ingin duduk hingga menyebabkan Nabi SAW terganggu, maka aku pun pergi diam-diam dari dekat kedua kakinya.”
Dalam bantahannya di atas, Aisyah mencoba menunjukkan bahwa perempuan tidaklah sama seperti anjing dan keledai sebagaimana yang disebut di atas. Jika perempuan disamakan dengan keduanya, otomatis Rasulullah SAW sudah berpindah dari tempat shalatnya, atau meminta Aisyah pindah.
Atas kritik tajam Aisyah di atas, para ulama kemudian silang pendapat memaknai hadis tersebut dan mencoba mendamaikannya dengan pendapat Aisyah. Penjelasan lebih lengkap terkait hal ini akan kami tulis dalam penjelasan selanjutnya dengan pembahasan yang lebih dalam.
Selain hadis di atas, Aisyah juga pernah mengkritik tentang nikah mut’ah. Suatu hari Aisyah ditanya Abdullah bin Ubaidillah bin Abi Malikah terkait mut’ah. Aisyah kemudian menjawab dengan tegas bahwa yang dibolehkan hanyalah pernikahan yang disahkan sesuai ketentuan agama, bukanlah pernikahan mutah. Bahkan Aisyah menganggap bahwa hal tersebut termasuk penyimpangan.
قالت عائشة: بيني وبينكم كتاب الله قال وقرأت هذه الآية والذينهم لفروجهم حافظون إلا على أزواجهم أو ما ملكت أيمانهم فإنهم غير ملومين فمن ابتغي ورآء ما زوجه الله، أو ما ملكه فقد عدا
“Aisyah berkata, “Antara aku dan engkau ada ketetapan Allah.” Kemudian Aisyah membaca surat al-Mukminun ayat 5. Barangsiapa mencari hal yang selain itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.”
Pendapat Aisyah ini bisa dilacak dalam karya al-Hakim melalui kitab al-Mustadrak-nya. Al-Hakim menyebutkan bahwa pendapat Aisyah ini memenuhi kriteria sahih menurut Bukhari dan Muslim walaupun keduanya tidak meriwayatkannya.
Dua kritik Aisyah di atas adalah sekelumit kecil kritik Aisyah kepada para sahabat yang lain, bahkan beberapa di antaranya merupakan kritik tajam Aisyah berkaitan dengan perlawanan terhadap upaya subordinasi perempuan yang dilakukan oleh para sahabat lain di masanya. Aisyah bisa disebut sebagai aktifis feminis di masanya.
Hal ini menunjukkan bahwa saat kita melihat Aisyah, jangan hanya melihatnya sebagai istri Rasulullah SAW saja, tapi lihatlah ia sebagai perempuan cerdas di masanya dan juga upayanya dalam menolak budaya patriarkhis di masanya.
Dalam seri-seri tulisan selanjutnya, kami akan menulis satu persatu kritik Aisyah tersebut secara lebih dalam. Insya Allah. (AN)